Pengembalian Utang Yang Lebih Baik
Soal:
Jika orang berutang satu ton besi, misalnya, lalu ia mengembalikan satu ton dengan ada tambahan karena keinginannya secara sukarela tanpa permintaan atau tekanan dari kreditur. Bukankah hal itu termasuk pengembalian yang lebih baik (husnu al-qadhâ’)?
Seperti yang disebutkan, tidak halal berutang sesuatu untuk dikembalikan kepada Anda lebih sedikit atau lebih banyak, tetapi harus sama dengan yang Anda utangkan dalam hal jenis dan jumlahnya. Semoga Allah memberi Anda balasan yang lebih baik. Akan tetapi, terjadi pada saya, kerancuan kalimat “husnu al-qadhâ”. Mengapa tidak dinilai sebagai riba? (Sebaliknya) jika tambahan itu dalam jenis dan kadar seperti yang disebutkan di dalam jawaban sebelumnya, dinilai termasuk riba? Tidakkah Anda menjelaskan mengapa kita menganggap hadis Rasul saw.—ketika beliau berutang seekor anak unta (umur dua tahun) dan beliau mengembalikannya lebih baik berupa rubâ’iy (umur empat tahun)—sebagai pengembalian yang lebih baik (husnu al-qadha’), sementara kita menganggap orang berutang satu ton besi dan mengeembalikannnya dengan satu setengah ton sebagai riba? Tidakkah disebutkan bahwa tidak boleh ada tambahan dalam hal jenis dan jumlah?
Di dalam jawaban terdahulu disebutkan, al-qardhu (utang) wajib dikembalikan kepada pemiliknya tanpa tambahan “manfaat”. Jika tidak demikian maka itu merupakan riba. Apakah yang dimaksud dengan tambahan itu, yakni tambahan yang dipersyaratkan oleh kreditur ketika utang-piutang? Ataukah tanpa disebutkan pensyaratan tetap tidak boleh ada tambahan?
Jawab:
Jawaban untuk tiga pertanyaan di atas yang topiknya sama adalah sebagai berikut:
Terkait dengan apa yang dinyatakan di dalam hadis Rasul saw tentang pengembalian yang lebih baik (husnu al-qadhâ’), itu tidak berarti tambahan dalam hal jumlah atau berat atau takaran, melainkan pengembalian dengan jumlah yang sama, timbangan yang sama dan takaran yang sama, tetapi boleh dengan yang lebih baik. Karena itu jika seseorang berutang gandum seberat 10 kilogram, misalnya, ia boleh mengembalikannya dengan gandum yang lebih baik, tetapi dengan berat yang sama 10 kilogram. Jika dia berutang sepuluh sha’ beras, misalnya, ia boleh mengembalikannya dengan beras yang lebih baik, tetapi dengan takaran yang sama 10 sha’. Jika ia berutang seekor kambing, ia boleh mengembalikannya dengan seekor kambing yang lebih baik, tetapi bukan dua ekor kambing. Inilah pengembalian yang lebih baik, tetapi bukan dengan tambahan dalam hal timbangan, takaran atau jumlah.
Atas dasar itulah dipahami hadis Rasul saw yang dinyatakan di dalam jawaban kami terdahulu. Berikut teksnya: Abu Rafi’ berkata:
اسْتَسْلَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَكْرًا فَجَاءَتْهُ إِبِلٌ مِنَ الصَّدَقَةِ فَأَمَرَنِي أَنْ أَقْضِيَ الرَّجُلَ بَكْرَهُ فَقُلْتُ لَمْ أَجِدْ فِي الْإِبِلِ إِلَّا جَمَلًا خِيَارًا رَبَاعِيًا فَقَالَ النَّبِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطَهُ إِيَّاهُ فَإِنَّ خِيَارَ النَّاسِ أَحْسَنُهُمْ قَضَاء
Rasulullah saw.pernah berutang seekor anak unta. Lalu datang kepada beliau unta sedekah. Kemudian beliau menyuruh untuk membayarkan kepada laki-laki itu anak untanya. Aku berkata, “Tidak aku temukan di dalam unta-unta itu kecuali unta yang lebih baik, unta umur empat tahun.” Lalu Rasul saw. bersabda, “Berikan unta itu kepada dia karena sungguh orang yang paling baik adalah yang paling baik pengembalian-nya.” (HR Abu Dawud dan lainnya).
Artinya, beliau mengembalikan kepada orang itu seekor unta yang lebih baik dan lebih berkualitas dari unta yang beliau utangi. Akan tetapi, dengan jumlah yang sama, yakni beliau mengembalikannya tetap dengan satu ekor.
Ini yang ada di dalam jawaban kami tentang utang satu ton besi dan dikembalikan satu setengah ton besi, misalnya. Ini tidak boleh, tetapi harus dengan timbangan yang sama.
Ringkasnya, pengembalian yang lebih baik itu tidak berarti tambahan dalam hal timbangan, takaran atau jumlah; tetapi dengan timbangan, takaran dan jumlah yang sama. Hanya saja, pengembalian itu boleh dengan jenis yang lebih baik jika debitur ingin membayar dengan yang lebih baik tanpa disyaratkan oleh kreditur. Pasalnya, Rasul saw. membayar dengan yang lebih berkualitas dan lebih baik tanpa disyaratkan oleh kreditur.
Di dalam An-Nizhâm al-Iqtishâdi dalam bab ar-Ribâ dinyatakan:
Adapun al-qardhu boleh dalam keenam jenis ini dan jenis yang lain dan apa saja yang bisa dimiliki dan boleh dikeluarkan dari kepemilikan. Riba tidak masuk di dalamnya kecuali jika menarik manfaat. Hal itu karena apa yang diriwayatkan oleh Harits bin Abu Usamah dari hadis Ali ra dengan redaksi:
أَنَّ النَّبِي صَلَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً, وَفِيْ رِوَايَةٍ, كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا
“Sungguh Nabi saw. telah melarang qardh[un] yang menarik manfaat.” Dalam satu riwayat dinyatakan, “setiap qardh[un] yang menarik manfaat adalah riba.”
Dikecualikan dari hal itu apa yang termasuk dari sisi pengembalian yang lebih baik (husnu al-qadhâ’) tanpa tambahan karena apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Rafi’, sebagaimana telah dinyatakan di atas.
Tidak dikatakan bahwa hibah dan hadiah adalah boleh. Karena itu jika qardh[un] dibayar dengan lebih banyak timbangannya, jumlahnya atau takarannya yang menyenangkan hati tanpa disyaratkan, maka itu boleh. Tentu tidak dikatakan demikian. Sebabnya, boleh itu jika tidak terkait dengan topik al-qardhu. Padahal adanya tambahan di sini tidak lain terjadi karena al-qardhu (utang). Artinya, itu merupakan manfaat dari utang yang tercakup oleh apa yang diriwayatkan oleh Harits bin Abi Usamah dari hadis ‘Ali ra. dengan redaksi:
أَنَّ النَّبِي صَلَّ للهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً, وَفِيْ رِوَايَةٍ, كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَة فَهُوَ رِبًا
“Sungguh Nabi saw. telah melarang qardh[un] yang menarik manfaat.” Dalam satu riwayat dinyatakan, “setiap qardh[un] yang menarik manfaat adalah riba.”
Dalam hal ini tidak dikatakan bahwa yang lebih berkualitas dalam jenisnya adalah manfaat. Tidak dikatakan demikian. Sebabnya, Rasul saw. membolehkan hal demikian dan menilainya sebagai pengembalian yang lebih baik (husnu al-qadhâ’) seperti yang ada di dalam hadis Abu Rafi’ yang telah disebutkan di atas.
Saya berharap di dalam penjelasan ini ada kecukupan, insya Allah. [Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, 5 Sya’ban 1439 H/21 April 2018 M]
http://hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/51502.html
https://web.facebook.com/AmeerhtAtabinKhalil/photos/pb.122848424578904.-2207520000.1524306190./801740116689728/%D8%9Ftype=3&theater
https://plus.google.com/u/0/b/100431756357007517653/100431756357007517653/posts/1JzANDgb3yy
https://twitter.com/ataabualrashtah/status/987637456420794369
http://archive.hizb-ut-tahrir.info/arabic/index.php/HTAmeer/QAsingle/3867
0 Comments