Khilafahisme: Bodoh dan Menghina!

Pernyataan Sekjen PDI-P yang menyatakan partainya setuju dengan penambahan klausul larangan terhadap ideolog yang bertentangan dengan Pancasila, patut dicermati. Pasalnya, Hasto Kristiyanto menyandingkan marxisme-komunisme, kapitalisme-liberalisme dengan radikalisme-khilafahisme. Pernyataan ini menunjukkan kebodohannya sekaligus merupakan penghinaan terhadap Islam. Patut diduga pernyataan ini menunjukkan kebencian yang nyata terhadap Islam.

Bodoh, karena Khilafah bukanlah ideologi. Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam yang mulia. Khilafah merupakan sistem pemerintahan Islam. Imam ar-Ramli dalam Nihayat al-Muhtaaj ila Syarh al-Minhaj fi al-Fiqhi ‘ala Madzhab al-Imam asy-Syafi’i menulis, “Khalifah adalah imam agung yang menduduki jabatan khilafah nubuwwah dalam melindungi agama serta pengaturan urusan dunia.”

Hal yang sama dijelaskan Imam Ibnu Khaldun dalam Al-Muqaddimah, “Telah kami jelaskan hakikat kedudukan ini (khalifah) dan bahwa ia adalah pengganti dari Pemilik Syariah (Rasulullah saw.) dalam menjaga agama dan mengatur dunia dengan agama. (Kedudukan ini) dinamakan Khilafah dan Imamah. Pemangkunya (dinamakan) khalifah dan imam.”

Di kalangan ulama Nusantara, Khilafah pun bukan sesuatu yang asing. Ulama terkemuka Indonesia, KH Sulaiman Rasjid, yang terkenal dengan bukunya, Fiqh Islam, yang pernah menjadi rujukan resmi berbagai sekolah agama di Indonesia, menulis, “Khilafah ialah suatu susunan pemerintahan yang diatur menurut ajaran agama Islam, sebagaimana yang dibawa dan dijalankan oleh Nabi Muhammad saw. semasa beliau hidup, dan kemudian dijalankan oleh Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abu Talib, Khilafah Umawiyah, Khilafah Abbasyiyah). Kepala negaranya dinamakan khalifah.”

Para ulama pun bersepakat tentang kewajiban penegakan Khilafah ini. Seperti yang ditulis Imam Nawawi (w. 676 H), “Mereka (para Sahabat) telah sepakat bahwa wajib atas kaum Muslim mengangkat seorang khalifah.” (An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, 12/205).

Imam al-Qurtubi, seorang ulama dan mufassir mazhab Maliki, ketika menakwilkan QS al-Baqarah ayat 30, berkata, “Ayat ini adalah pokok (yang menegaskan) keharusan mengangkat imam atau khalifah untuk didengar dan ditaati…Tidak ada perbedaan tentang kewajiban ini di antara umat; tidak pula di antara para imam, kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-‘Asham.”

Pernyataan Sekjen PDI-P ini jelas menghina Islam. Sebab Khilafah merupakan ajaran Islam yang mulia. Bagaimana mungkin Khilafah disamakan dengan ideologi komunis yang jelas-jelas anti Tuhan, anti agama, bahkan memerangi ulama. Khilafah Islam justru merupakan institusi yang akan menerapkan seluruh syariah Islam, menjaga kehormatan Islam dan kaum Muslim. Sebaliknya, Kapitalisme adalah ideologi sekular, yang meminggirkan agama hanya untuk urusan individual, moral dan ritual. Ideologi sekular juga memerangi umat Islam yang memiliki aspirasi untuk menerapkan syariah Islam secara total.

Pandangan hukum Chandra Purna Irawan, SH, MH (Ketua LBH PELITA UMAT), dalam hal ini juga patut kita perhatikan. Dalam pernyataan persnya, LBH Pelita Umat menduga pernyataan, “Ideologi khilafah dan/atau khilafah adalah ideologi…” dapat dinilai sebagai bentuk permusuhan atau kebencian terhadap ajaran agama Islam (malign blasphemies). Menyatakan khilafah sebagai ideologi kemudian dikampanyekan dan dibuat opini seolah-olah sesuatu kejahatan di hadapan dan/atau ditujukan kepada publik, artinya dapat dinilai unsur sengaja, terpenuhi. Patut pula diduga pernyataan “radikalisme dan khilafahisme” termasuk yang akan dilarang di dalam RUU HIP sebagai “daya tawar”. Maksudnya, kalau komunisme dan Marxisme dilarang, maka mestinya radikalisme dan khilafah juga dilarang. Jika Khilafah tidak dilarang maka komunisme dan Marxisme juga semestinya tidak dilarang.

Kampanye masif yang dilakukan rezim sekarang berikut partai pendukungnya untuk memusuhi ajaran Islam, dengan menuding Khilafah sebagai ancaman negeri ini, tentu patut kita sayangkan. Hal ini bisa menunjukkan upaya mengalihkan persoalan dari musuh utama negeri ini. Padahal nyata di depan mata, musuh ideologi negeri ini adalah Kapitalisme-Liberal. Bukan hanya sebagai potensi ancaman, Kapitalisme liberal jelas telah diadopsi dan menghancurkan negeri ini. Kemiskinan, kesenjangan kaya-miskin, terlantarnya pelayanan kesehatan masyarakat, rendahnya kualitas pendidikan, pengangguran, perampokan kekayaan alam negeri ini, semuanya berpangkal dari pelaksanaan ideologi Kapitalisme. Kapitalisme inilah yang seharusnya dimusuhi bukan Islam.

RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila), yang didukung oleh partai berkuasa dan elit-elit sekular, justru tampak nyata memperkuat sekularisme yang menjadi dasar Kapitalisme ini. Perkara ini yang dikecam keras Ustadz Ismail Yusanto. Menurut Jubir Hizbut Tahrir Indonesia ini, upaya pengokohan sekularisme tampak dalam Pasal 23 RUU HIP disebutkan, bahwa pembinaan agama sebagai pembentuk mental dan karakter bangsa dengan menjamin syarat-syarat spiritual dan material untuk kepentingan kepribadian dan kebudayaan nasional Indonesia dan menolak pengaruh buruk kebudayaan asing.

Rumusan tentang pembinaan agama ini terkait dengan paham Ketuhanan yang berkebudayaan sebagaimana disebut dalam Pasal 7 ayat 2 RUU HIP. Paham Ketuhanan yang berkebudayaan tak dapat dipungkiri diambil dari pidato Bung Karno saat sidang di BPUPKI. Dengan rumusan seperti ini, tak pelak posisi agama semakin termarginalisasi. Kedudukannya menjadi sekadar sub bidang dari bidang mental spiritual. Fungsinya juga hanya menjadi alat dari pembentukan mental dan kebudayaan, bukan sebagai petunjuk dalam pengaturan hidup manusia di dalam semua aspek kehidupannya.

Menurut Ismail, sekularisme itu juga tampak dari upaya mereduksi makna dan kedudukan agama. Dalam RUU HIP di Pasal 12 menyebut tentang ciri Manusia Pancasila, yakni ‘beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab’. Rumusan itu mengandung paham sekularisme–sinkretisme, bahkan pluralisme agama. Frasa “menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab” jelas telah meletakkan hakikat iman dan takwa yang semestinya dipahami dan dilaksanakan dengan dasar dan ukuran yang bersifat transeden atau wahyu (berdasar al-Quran dan al-Hadis) menjadi berdasar pada sesuatu yang bersifat imanen (sekular). Bagaimana bisa, iman dan takwa dengan dasar dan ukuran kemanusiaan? Bukankah iman dan takwa kepada Tuhan semestinya dengan ukuran Tuhan?

Allahu Akbar! [Farid Wadjdi]

 

 

 

0 Comments

Leave a Comment

two × 4 =

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Lost Password