Merdeka?

Allah SWT memerintahkan kami untuk membebaskan manusia dari menghambakan diri kepada selain Allah dan melepaskan belenggu duniawi menuju dunia bebas, dan dari agama yang sesat menuju keadilan Islam,” tegas Ruba’i lantang menjawab pertanyaan Panglima Rustum, pemimpin pasukan Persia dalam Perang al-Qadhisiyah, tentang mengapa pasukan Islam masuk ke Tanah Persia.

+++++

Dialog di atas terjadi menjelang Perang al-Qadhisiyah. Ruba’i bin Amir memang dikirim oleh panglima tentara Islam ketika itu, Saad bin Abi Waqqash, untuk menghadap panglima tentara Persia, Rustum. Ketika Ruba’i masuk ke dalam perkemahan Panglima Rustum, ia hanya berpakaian sederhana. Dengan menunggang kuda pendek dan menyandang senjata serta perisai. Ia masuk tanpa menghiraukan keadaan sekelilingnya.

Melihat itu, para pembesar negara segera berseru, “Letakkan senjata itu!” Dengan tenang, Ruba’i menjawab, “Aku kemari hanyalah atas undangan kalian. Jika kalian senang, biarkan aku dalam keadaanku seperti ini, atau kalau tidak aku akan pulang.”

Panglima Rustum menengahi, “Biarkan ia menghadap!” Akhirnya, terjadilah dialog itu.

++++

Pernyataan Ruba’i itu menegaskan bahwa dorongan “ekspansi” Islam bukanlah bersifat material. Berbeda dengan kaum imperialis-kolonialis Barat ketika mereka merangsek masuk ke wilayah-wilayah jajahan di Timur Tengah, Asia Selatan atau Asia Tenggara. Barat berusaha keras menemukan daerah baru untuk dieksploitasi hasil buminya tanpa sisa. Inilah semangat ekspansi demi, “Gold, Glory and Gospel” (emas, kekuasaan dan agama).

Rustum, sang panglima dari Persia, sebuah negara adikuasa kala itu, mungkin menduga tentara Islam memiliki motif yang kurang lebih sama dengan Persia ketika menaklukkan daerah-daerah baru. Rustum kecele. Ruba’i justru memberikan perspektif baru tentang dorongan ekspansi Islam: tauhid.

Misi Islam adalah menyeru seluruh manusia pada tauhid dengan jalan dakwah dan jihad. Dakwah adalah mengubah manusia, pikiran, perasaan dan perilakunya, dari jahiliah menuju Islam. Dakwah sekaligus mewujudkan pola hubungan antar manusia berdasarkan hukum Allah dan memerdekakan manusia dari pengaruh thaghut. Pada masa Rasulullah, thaghut adalah berhala-berhala yang disembah di seputar Ka’bah.

Kini, thaghut telah berubah wajah, tetapi hakikatnya sama, menjadi ideologi-ideologi yang bersumber pada filsafat materialism. Ideologi-ideologi ini mengingkari kedaulatan Allah SWT beserta segenap turunannya berupa sistem hukum, politik, ekonomi, sosial dan budaya.

Inilah kemerdekaan hakiki dalam pandangan Islam. Jadi, seseorang atau masyarakat baru bisa dikatakan benar-benar merdeka ketika tunduk sepenuhnya pada seluruh perintah dan larangan Allah, serta melepaskan diri dari belenggu sistem yang bertentangan dengan tauhid seraya menegakkan sistem Islam. Al-Qur’an menyebut misi Islam: mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya. Makanya, tidak ada negeri yang dikuasai Islam berubah kusam, sengsara mundur dan terbelakang. Spanyol dan beberapa negeri Eropa lain justru mencapai kemajuan ketika berada di bawah kekuasaan Islam. Pada saat yang sama, belahan lain sedang mengalami masa kegelapan.

Sebaliknya, kolonialisme Barat selamanya menyebarkan kejahiliahan dan kerusakan. Al-Quran menyebutnya dzulumat (kegelapan). Di bidang akidah, Barat menyebarkan filsafat materialism. Di bidang ekonomi menyebarkan tatanan ekonomi kapitalisme yang eksploitatif. Di bidang budaya menyebarkan amoralisme. Di bidang pemikiran menyebarkan sekularisme. Di bidang militer dan politik menyebarkan peperangan, adu domba dan pertentangan.

++++

Jadi, sudahkah negeri ini benar-benar merdeka? Secara fisik, Indonesia memang telah merdeka dari penjajah sebagaimana dinyatakan dalam Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945. Namun, setelah tujuh puluh tahun lebih berlalu, apakah kita telah benar-benar merdeka secara hakiki? Jawabannya bergantung pada apa pengertian kita tentang penjajahan dan apa itu merdeka.

Menurut Syekh Taqiyyuddin an-Nabhani dalam kitab Mafahim Siyasiyah, penjajahan sesungguhnya tidak akan benar-benar berakhir. Kapitalisme akan selalu berupaya menyebarkan paham dan mempertahankan pengaruhnya ke seluruh penjuru dunia. Metode (thariqah)-nya, menurut Nabhani, melalui penjajahan (isti’mar). Penjajahan adalah penguasaan (pengendalian) dan dominansi di bidang politik, ekonomi, sosial pendidikan, budaya dan hankam.

Pada masa Perang Dunia I dan II, persisnya setelah payung Dunia Islam, Khilafah Utsmani runtuh pada tahun 1924, yang dilakukan Barat adalah penjajahan militer. Negeri Islam yang semula utuh bersatu menjadi terpecah-pecah. Sebagiannya, lama sebelum itu, malah sudah diduduki oleh penjajah. Di antaranya: Aljazair oleh Prancis; Irak, India, Palestina, Yordania, Mesir dan kawasan Teluk dikuasai Inggris; dan sebagainya.

Kini setelah wilayah-wilayah itu merdeka secara fisik, negera-negara Barat tetap berusaha menjajah dengan cara yang baru. Di bidang ekonomi, penjajahan dilakukan melalui peminjaman/utang. Dengan dalih membantu negara berkembang, termasuk Indonesia, mereka meminjamkan uang dalam jumlah besar. Belakangan terbukti utang tersebut bukan mengentaskan kemiskinan, melainkan malah menambah miskin. Barat lewat berbagai institusi-institusi yang mereka bentuk seperti IMF, World Bank dan sebagainya, memaksakan kemauan politiknya atas suatu negara, baik secara langsung maupun tidak. Akibatnya, negeri-negeri itu menjadi tidak merdeka secara politik. Penjajahan ekonomi juga dilakukan dengan berbagai aturan yang mereka paksakan, seperti ide pasar bebas dengan WTO-nya. Juga melalui program-program yang memuluskan penguasaan sumberdaya ekonomi seperti program privatisasi. Akibatnya, sekalipun secara fisik merdeka, secara politik dan ekonomi Indonesia terjajah.

Di bidang kebudayaan, globalisasi informasi yang ditimbulkan oleh kemajuan luar biasa di bidang teknologi informasi bak pisau bermata dua. Satu sisi menguntungkan karena dengan demikian peristiwa-peristiwa dari berbagai belahan dunia dengan cepat dapat kita ketahui, Sebaliknya, di sisi lain terjadi pula gelombang arus budaya Barat (westernisasi) ke negeri-negeri Islam. Itu semua sedikit banyak berpengaruh pada cara berpikir, pemihakan, keprihatinan dan perilaku kaum Muslim. Inilah penjajahan di bidang budaya.

Di bidang hukum, tak terhitung hukum dan perundang-undangan negeri Muslim, termasuk Indonesia, yang masih bersumber dari Barat. Kita bangga terbebas dari penjajahan Belanda. Anehnya, masih menggunakan undang-undang bikinan Belanda? Itu berarti, secara tidak langsung kita menyelesaikan berbagai masalah di negeri yang mayoritas Muslim ini dengan cara-cara penjajah. Penjajah memang telah lama pergi. Faktanya, ternyata mereka tetap masih bercokol dalam wajah yang berbeda.

Karena itu menjadi kewajiban kaum Muslim secara bersama, sebagai umat mayoritas di negeri ini, untuk bertafakur menyertai rasa syukur. Lihatlah realitas yang ada di negeri kita di segala bidang. Kemudian nilailah secara jujur, sudahkah hakikat dan prinsip-prinsip kemerdekaan hakiki menurut ajaran Islam seperti yang dikemukakan oleh Ruba’i bin Amir tadi telah kita dapatkan?

Tafakur juga dapat dilakukan dengan jalan melihat, sudahkan semua sistem yang mengatur kehidupan umat di segala bidang ditegakkan di atas prinsip tauhid? Bila belum, menjadi tugas kita bersama untuk mewujudkan kemerdekaan hakiki itu. Bila perjuangan dulu bertujuan untuk merebut kemerdekaan dari penjajahan fisik, maka kini diperlukan perjuangan baru untuk membebaskan umat dari penjajahan ideologi sekular, hukum jahiliah, ekonomi kapitalis, budaya Barat dan segenap tatanan yang tidak Islami. Bila itu tidak dilakukan, selamanya kita akan terus terjajah dan tenggelam dalam lumpur kehinaan. Tidak ada lagi kemuliaan Islam dan umatnya (izzul Islam wal muslimin). Menyedihkan. [HM Ismail yusanto]

 


0 Comments

Leave a Comment

1 × five =

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Lost Password