Akar Krisis Suriah

Propaganda, ‘Jangan Jadikan Indonesia Seperti Suriah’, merupakan warning terhadap berbagai aksi terorisme yang terjadi di Indonesia. Walau butuh pendalaman, keterkaitan berbagai aksi tersebut dengan ISIS di Suriah merupakan hal yang ‘dimaklumi’. Pasalnya, aksi ISIS di Suriah—walau melabeli dirinya dengan Islam—jauh dari nilai-nilai keislaman. Inilah yang gencar dikemukakan oleh Polri, termasuk BIN, dalam menilai potensi ancaman terorisme di Indonesia. Bahkan Jokowi pun, ketika mewanti-wanti aparat desa dalam menangkal radikalisme dan terorisme, mengkaitkannya dengan apa yang terjadi di Suriah (Republika.com).

Namun, ketika propaganda tersebut di-gebyah-uyah tanpa memahami realitas krisis Suriah dengan benar, hal ini tentu perlu diluruskan.

Seperti apa yang diungkapkan oleh Jubir Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Guntur Romli. Dia menilai gerakan massa yang membuat aksi seperti Reuni 212 merupakan upaya menjadikan Indonesia seperti Suriah yang penuh kekacauan. Romli menyebut ada kesamaan pola yang dilakukan oleh gerakan 212 dengan apa yang terjadi di Suriah (Detik.com).

Demikian juga yang diungkapkan oleh Abdul Kadir Karding, Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf. Dia mengkaitkan kampanye #gantipresiden dengan mengatakan bahwa tagar semacam itu pernah digunakan di Suriah. Karding menyebut konflik yang membuat kondisi Suriah menjadi kacau tersebut berawal dari tagar ganti presiden. Tagar tersebut kemudian dimanfaatkan sejumlah pihak untuk menggulingkan pemerintahan di Suriah (Bisnis.com).

Tudingan ini diamini oleh sebagian intelektual. Mereka menganalisis secara dangkal; menganalogikan symptom yang ada di Indonesia dengan yang terjadi di Suriah.

 

Kronologis Krisis Suriah

Krisis Suriah tidak terlepas dengan Arab Spring (Musim Semi Arab) yang menerpa kawasan Arab pada tahun 2011-an. Gelombang demonstrasi besar-besaran di berbagai negara di Timur Tengah yang berujung pada tergulingnya rezim berkuasa, akhirnya sampai ke Suriah.

Belli case (kasus pemicu) di Suriah adalah penangkapan 15 siswa secara kasar di kawasan Hawran Provinsi Dar’a oleh polisi pada tanggal 27 Februari 2011. Penangkapan secara brutal itu karena para siswa membuat grafiti protes kepada Bashar Assad. Protes yang dipicu gelombang Arab Spring di negeri tetangga. Di antaranya bertuliskan: “Sebentar lagi giliran Anda Dokter…” Maksudnya ditujukan kepada Presiden Bashar Assad yang seorang dokter spesialis mata. Assad sejak tahun 2000 mewarisi kekuasaan ayahnya, Hafez Assad, yang berkuasa selama 30 tahun sebelum wafatnya tahun itu.

Tindakan brutal polisi yang represif memicu massa turun ke jalan pada 15 dan 18 Maret 2011. Aksi berubah menjadi tuntutan agar Presiden Bashar Assad mundur. Aksi yang dilakukan di Damaskus, ibukota Suriah, kemudian secara sporadis meluas ke seantero negeri. Aksi dilakukan setiap Jumat dengan menjadikan masjid sebagai pusat konsentrasi massa.

Menjelang tahun ke-9 Arab Spring di Suriah masih belum ada titik equilibrium (kesetimbangan) sebagaimana negara-negara tetangganya. Berbagai isu berkembang: perubahan rezim, demokratisasi, separatisme, juga penerapan syariah dan khilafah.

Sudah hampir 500.000 jiwa menjadi korban krisis Suriah ini. Lebih sejuta terluka. Gelombang pengungsian dengan jumlah belasan juta merambah hingga ke jantung Eropa. Jumlah ini menurut UNHCR terbesar pasca Perang Dunia II. Di dalam negeri, penduduk yang bertahan harus menghadapi konflik yang masih tidak jelas ujungnya. Padahal mereka harus bertahan hidup dalam kondisi kehilangan pekerjaan, ketiadaan bahan makanan, tidak berjalannya aktivitas pendidikan dan belitan hidup lainnya.

Peliknya krisis Suriah menjadikan tidak mudah untuk dapat memahami mengenai apa yang terjadi di sana. Tidak sesederhana apa yang terjadi di negeri tetangganya. Walau Mesir dan Libya pun belum stabil, yang terjadi di Suriah adalah sebuah anomali.

 

Peta Konflik

Secara general, penyebab konflik Suriah dapat dipetakan pada dua factor. Pertama: masalah dalam negeri Suriah, yakni adanya keinginan mengganti rezim diktator dan represif dengan memanfaatkan suasana Arab Spring. Kedua: faktor eksternal, yakni kepentingan negara-negara asing terhadap Suriah.

Faktor internal dalam negeri Suriah melahirkan kesempatan untuk mengganti rezim klan Assad yang sudah 40 tahun berkuasa. Sama seperti negara tetangga, seusia itulah rata-rata rezim yang sudah berkuasa, hingga berjatuhan pada saat Arab Spring. Peta sosial rakyat Suriah yang tersegmentasi, awalnya stabil dalam rezim yang diktator. Namun demikian, ini tidak menghilangkan potensi konflik akibat berbagai kesenjangan, korupsi dan sikap aparat keamanan yang represif. Perbedaan ideologis yang terpendam sepanjang rezim Assad berkuasa pun menjadi mendapatkan ruang ketika terjadi Krisis Suriah. Rezim Assad yang Syiah, namun dekat dengan ideologi sosialis melalui Partai Baath, mendapatkan tentangan dari kaum moderat sekular yang pro Barat dan kaum Islamis yang masih mengakar karena Suriah adalah pusat dari peradaban Islam pada masa lampau. Semua ini kemudian bertemu saat instabilitas negara lemah. Sama-sama mencari kesempatan untuk mengganti rezim yang lama menindas.

Adapun faktor eksternal berupa adanya kepentingan negara-negara asing terhadap Suriah. Kepentingan laten ini kebetulan mendapatkan momentum Arab Spring sebagai kesempatan untuk mewujudkannya. Baik kepentingan politik, ekonomi, maupun keamanan. Suriah sebagai salah satu negara kuat secara militer di Timur Tengah perlu dilemahkan agar tidak mengancam kepentingan Barat di kawasan tersebut. Perseteruannya dengan sekutu utama Barat, yakni Israel, menjadi bukti bahwa Suriah memiliki kekuatan militer yang cukup untuk mengganggu kepentingan Barat di sana. Setelah Irak dapat dikendalikan, melalui Arab Spring, Suriah mendapatkan giliran.

Tidak hanya itu, posisi geografis yang strategis juga menjadikan Suriah incaran negara lain. Rusia, misalnya, memiliki kepentingan geo politik terhadap Suriah. Apalagi ada kedekatan ideologis Rusia dengan rezim Bashar Assad. Karena itu Rusia pun hadir dalam konflik Suriah walau terlambat. Demikian juga dengan Eropa. Prancis adalah sekutu ‘tua’ Suriah. Ada kedekatan historis Suriah dengan Perancis walau kemudian pada saat Perang Dingin pengaruhnya semakin memudar. Belum lagi kepentingan ekonomi, persoalan gas, minyak dan barang tambang. Inilah yang menjadikan Suriah, the fertile cresent, menjadi negeri yang menggiurkan bagi negara lain yang rakus sumberdaya alam.

Ketika kedua faktor tersebut bertemu, maka itulah kompleksitas Krisis Suriah. Ada kepentingan eksternal yang memanfaatkan kondisi internal dan sebaliknya.

 

Akar Masalah Suriah

 

  1. Kekejaman Rezim.

Dorongan rakyat Suriah untuk mengganti rezim sebagaimana arus Arab Spring tidak mengalami jalan yang mudah. Dengan peta konflik yang rumit, hingga kini Suriah masih belum menunjukkan akhir konfliknya.

Hal ini diperburuk dengan kebrutalan rezim Bashar Assad dalam menangani konflik. Jumlah korban yang besar dan tingkat pengungsian yang tinggi menunjukkan hal tersebut. Seolah rezim tidak peduli berapa korban yang akan jatuh. Yang penting kekuasaan tetap di tangan. Apalagi ada dukungan dari pihak eksternal yang memiliki kepentingan terhadap eksistensi rezim. Tinimbang mendukung perubahan yang belum menjamin kepentingannya, lebih baik mempertahankan rezim yang sudah jelas keberpihakannya pada kepentingan mereka. Kurang lebih demikian.

Kekejaman rezim Bashar Assad tertuang dalam laporan resmi yang dirilis oleh PBB dalam UN Report. Laporan ini, menurut peneliti senior dari International Institute for Strategic Studies, Emilie Hokayem, menunjukkan bahwa Bashar Assad sama kejamnya dengan ISIS. Laporan itu juga memuat salah satu kisah pembelot dalam rezim Assad yang diberi kode nama ‘Caesar’. Mantan tentara Suriah itu mengatakan Assad telah membunuh 10.000 orang sejak Juli 2014. Suatu angka yang jelas merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Laporan itu juga mengungkapkan bahwa angka kematian secara akumulasi bertambah, sementara orang-orang hidup dalam situasi terancam. Sedikit berbuat salah, ditahan. Tahanan merupakan tempat kematian massal.

Ketua Komisi Independen untuk Suriah, Paulo Pinheiro, menyebutkan bahwa mereka yang berhasil keluar dari penjara mengalami kekerasan yang tak bisa dibayangkan oleh akal sehat. Bagi penduduk Suriah, ketakutan akan penahanan atau penculikan merupakan horor yang menghantui mereka di seluruh penjuru negeri.

Laporan PBB ini berdasarkan 621 wawancara warga Suriah, pengumpulan dokumen tentang pembunuhan antara 10 Maret 2011 hingga 30 November 2015. Laporan ini memberikan rekomendasi kepada Dewan Keamanan untuk memberi sanksi pada Assad.

Menurut laporan lain dari lembaga kemanusiaan IRIN, 10 persen kematian di Suriah akibat ISIS, sementara rezim Assad bertanggung jawab atas 75 persen kematian.

Kekejaman yang dilakukan rezim Bashar Assad sampai membuat Carla del Ponte, jaksa ternama dalam hal kejahatan perang, mengundurkan diri dari posisinya di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dia meninggalkan posisinya karena dia percaya komisi yang dibentuk untuk menginvestigasi kejahatan perang di perang Suriah itu tidak punya kekuatan apapun. “Saya menyerah. Anggota Dewan Keamanan PBB tidak peduli dengan keadilan,” ucapnya.

Del Ponte mengatakan, DK PBB seharusnya membentuk mahkamah perang seperti di kasus Perang Rwanda dan Yugoslavia. Upaya itu tidak pernah terwujud. Pasalntya, Rusia, sekutu dekat Assad, selalu menveto rencana itu (Kompas.com).

 

  1. Campur Tangan Asing.

Kekejaman rezim Bashar Assad seakan tidak bisa dihentikan oleh siapa pun. Hal ini disebabkan kuatnya campur tangan asing dalam Krisis Suriah. Apa yang dilakukan Assad seolah mendapatkan legitimasi dari negara-negara besar yang mendukung dia.

Hal inilah yang menjadikan konflik di Suriah menjadi konflik global. Pasalnya, banyak kepentingan asing yang berlomba-lomba untuk mendapatkan keuntungan dari konflik ini.

Awalnya keterlibatan asing terjadi secara tidak langsung, atau dikenal dengan trusteed war. Namun demikian, sejak 2016, keterlibatan negara adidaya tampak secara terang-terangan.

Kepentingan Amerika Serikat yang didukung sekutunya seperti Uni Eropa, Turki, Arab Saudi dan negara-negara Arab lain sangatlah jelas. Menjaga stabilitas regional demi kepentingan ekonomi semacam pasokan minyak dan sumberdaya alam lainnya. Kepentingan politik keamanan semacam eksistensi Israel adalah harga mati yang juga harus dijaga. Persoalannya bukan pergantian rezim, tetapi rezim manapun harus dapat menjamin kepentingan tersebut.

Kucuran dana secara langsung atau bantuan militer secara terukur dilakukan oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Agenda-agenda perundingan juga dirancang demi tujuan tersebut. Di dalamnya ada jalinan hubungan dengan pihak rezim dan oposisi yang dapat merealisasikan kepentingan Amerika Serikat.

Rusia memiliki kepentingan ekonomi terhadap Suriah. Rusia menjaga pelabuhan Suriah, Tartous, yang berfungsi sebagai basis Mediterania Rusia untuk armada Laut Hitam. Rusia juga membangun sebuah pangkalan udara di Latakia. Walau berada di bawah bayang-bayang Amerika Serikat, Rusia tidak segan melakukan intervensi militer secara langsung. Sejak 30 September 2015 Rusia melakukan intervensi militer di Suriah. Serangan terukur untuk melemahkan oposisi dan perlawanan gerilyawan Islam dilakukan sebagai daya tawar kepentingan Rusia di Suriah.

 

Kesimpulan

Apa yang terjadi di Suriah adalah bagian dari skenario internasional untuk melakukan westernisasi di Timur Tengah. Tujuannya untuk melemahkan setiap kekuatan yang mengancam kepentingan mereka di kawasan tersebut. Sebagaimana Iran, Irak, Arab Saudi dan Mesir, Suriah adalah negara dengan potensi kekuatan yang—bila dikuasai oleh Islam—akan merusak kepentingan mereka di kawasan kaya minyak ini. Karena itu setiap momentum yang ada akan diarahkan pada penguasaan kawasan secara penuh demi kepentingan Barat di sana.

Jelas, Krisis Suriah terjadi karena adanya tuntutan perubahan dari rakyat akibat rezim yang otoriter dan represif sekaligus adanya campur tangan asing yang memiliki banyak kepentingan di Suriah.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [H. Budi Mulyana, S.IP, M.Si; Dosen Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Unikom Bandung]

 

 

0 Comments

Leave a Comment

sixteen − four =

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Lost Password