Penghuni Surga dan Penghuni Neraka (3)

كُلُّ نَفۡسِۢ بِمَا كَسَبَتۡ رَهِينَةٌ ٣٨ إِلَّآ أَصۡحَٰبَ ٱلۡيَمِينِ ٣٩ فِي جَنَّٰتٖ يَتَسَآءَلُونَ ٤٠ عَنِ ٱلۡمُجۡرِمِينَ ٤١ مَا سَلَكَكُمۡ فِي سَقَرَ ٤٢ قَالُواْ لَمۡ نَكُ مِنَ ٱلۡمُصَلِّينَ ٤٣ وَلَمۡ نَكُ نُطۡعِمُ ٱلۡمِسۡكِينَ ٤٤ وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ ٱلۡخَآئِضِينَ ٤٥ وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوۡمِ ٱلدِّينِ ٤٦ حَتَّىٰٓ أَتَىٰنَا ٱلۡيَقِينُ ٤٧

Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah dia lakukan, kecuali golongan kanan; berada di dalam surga. Mereka saling bertanya tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa, ”Apa yang menyebabkan kalian masuk ke dalam Neraka Saqar?” Mereka menjawab, “Dulu kami tidak termasuk orang-orang yang melaksanakan salat . Kami juga tidak memberi makan orang miskin. Bahkan kami biasa berbincang (untuk tujuan yang batil) bersama orang-orang yang membicarakannya. Kami pun mendustakan Hari Pembalasan sampai datang kepada kami kematian. (QS al-Muddatstsir [74]: 38-47).

 

Beberapa Pelajaran Penting

Banyak pelajaran yang dapat diambil dari ayat-ayat ini. Di antaranya: Pertama, orang yang tidak tergadai oleh amalnya dan terbebas dari neraka beserta sifat mereka. Mereka adalah ashhâb al-yamîn, yakni orang-orang yang termasuk dalam golongan kanan.

Hal ini dengan jelas disebutkan dengan firman-Nya: كُلُّ نَفْسٍ بِماَكَسَبَتْ رَهِينَة (setiap orang tertahan atas apa yang telah dia lakukan). Maknanya, semua manusia yang menjadi mukallaf itu tertahan secara permanen di sisi Allah SWT dengan taklif hukum yang telah Dia tetapkan. Jika mukallaf itu menunaikan apa yang diwajibkan atas dirinya, maka Allah SWT melepaskan dan membebaskan dirinya. Jika tidak dilakukan maka jiwa tersebut tegadai dan tertahan di sisi Allah SWT. 1

Kemudian dilanjutkan dengan firman-Nya: إلا أَصْحَابَ الْيَمِينِ (kecuali golongan kanan). Ayat ini mengecualikan orang-orang yang termasuk dalam golongan kanan. Mereka tidak tertahan dan tergadai. Menurut asy-Syaukani, hal itu disebabkan karena dosa-dosa mereka telah diampuni Allah SWT dan mereka telah mengerjakan amal kebaikan.2 Mereka pun dimasukkan ke dalam surga sebagaimana diberitakan dalam ayat berikutnya: فِي جَنَّاتٍ (berada di dalam surga-surga).

Dalam ayat-ayat ini tidak ada gambaran tentang sifat-sifat mereka secara eksplisit. Akan tetapi, sifat-sifat mereka dapat dipahami dari ayat-ayat berikutnya yang menjelaskan para penghuni neraka beserta perkara yang menyebabkan mereka masuk ke dalam neraka.

Dalam ayat-ayat tersebut dijelaskan beberapa sifat yang menyebabkan mereka dimasukkan ke dalam neraka, yakni tidak mengerjakan shalat, tidak memberi orang miskin, ikut serta bersama orang-orang yang berbicara kebatilan dan tidak mengimani Hari Kiamat hingga kematiannya.

Itu berarti, ashhâb al-yamîn atau orang-orang yang termasuk dalam golongan kanan tidak memiliki sifat tersebut. Jika mereka memiliki sifat-sifat tercela tersebut, niscaya mereka tergolong sebagai al-mujrimûn (orang-orang yang berdosa). Nasib mereka pun akan sama dengan mereka, yakni menjadi penghuni neraka.

Lebih dari itu, ashhâb al-yamîn memiliki sifat sebaliknya: mendirikan shalat, gemar memberikan makan kepada orang-orang miskin, tidak ikut serta dalam pembicaraan batil, dan mengimani Hari Kiamat hingga kematian. Sifat-sifat tersebut sebagaimana juga digambarkan dalam firman Allah SWT yang lain (Lihat, misalnya: QS al-Balad [90]: 13-18).

Kedua, penyebab manusia dimasukkan ke dalam Neraka Saqar. Dalam ayat-ayat ini diterangkan bahwa ada empat perkara yang menyebabkan mereka masuk ke dalam neraka. Empat perkara itu adalah tidak melaksanakan shalat, tidak mau menyerahkan hak orang miskin, terhanyut dalam kebatilan bersama orang-orang yang suka berkata batil dan melakukan kebatilan, dan mendustakan hari kiamat. Semua itu dilakukan hingga datang kematian kepada mereka.

Tentang meninggalkan shalat, selain dalam ayat ini, banyak sekali dalil yang menunjukkan kewajiban mendirikan shalat. Shalat merupakan salah satu dari rukun Islam dan tiang agama. Shalat adalah amal yang pertama kali dihisab pada Hari Kiamat. Di samping itu, terdapat banyak dalil yang mengancam orang yang tidak mengerjakan shalat. Oleh karena itu, tidak ada perbedaan tentang kewajiban shalat lima waktu.

Memberikan makan kepada orang-orang miskin juga disebutkan dalam banyak ayat dan hadis. Sebaliknya, orang tidak mau menganjurkan dirinya dan orang lain untuk memberikan makan kepada orang miskin dicela sebagai orang yang mendustakan agama (lihat: QS al-Ma’un [107]: 3). Disebutkan juga dalam QS al-Ma’arij [69] ayat 34 bahwa di antara sifat orang yang dimasukkan ke dalam neraka adalah tidak menganjurkan memberikan makan orang miskin.

Adapun ikut serta bersama dengan orang-orang yang mengatakan kebatilan dan kesesatan jelas merupakan sebuah perbuatan terlarang. Termasuk di dalamnya adalah memperolok-olok ayat Allah SWT. Ini seperti diterangkan dalam firman-Nya:

وَإِذَا رَأَيۡتَ ٱلَّذِينَ يَخُوضُونَ فِيٓ ءَايَٰتِنَا فَأَعۡرِضۡ عَنۡهُمۡ حَتَّىٰ يَخُوضُواْ فِي حَدِيثٍ غَيۡرِهِۦۚ ٦٨

Jika engkau (Muhammad) melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka hingga mereka beralih ke pembicaraan lain (QS al-An’am [6]: 68).

 

Menurut Imam asy-Syaukani, maksud ayat ini adalah jika kamu melihat orang-orang yang membicarakan ayat-ayat Allah, dengan melakukan pendustaan, penolakan, dan memperolok-oloknya, maka tinggalkanlah mereka. Janganlah kamu duduk bersama mereka untuk mendengarkan kemungkaran besar seperti itu hingga mereka mengalihkan ke pembicaraan lainnya. Allah SWT memerintahkan untuk berpaling dari majelis yang merendahkan ayat-ayat Allah hingga membahas perkara lainnya.3

Masih menurut asy-Syaukani, dalam ayat ini terdapat nasihat agung bagi orang yang bersikap ramah terhadap majelis-majelis bid’ah yang menyimpangkan firman Allah, mempermainkan Kitab dan Sunnah Rasul-Nya, dan mengembalikan kepada hawa nafsu mereka yang menyesatkan dan bid’ah mereka yang rusak. Jika keadaaan mereka tidak diingkari dan tidak diubah, maka tindakan minimal yang harus dilakukan atas mereka adalah meninggalkan majelis mereka. Tindakan tersebut tentu amat mudah dan tidak sulit. 4 (Lihat juga: QS al-Nisa [4]: 140). Ini seperti yang disebut di dalam sebuah hadis:

وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بالله وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلاَ يَجْلِسْ عَلَى مَائِدَةٍ يُدَارُ عَلَيْهَا بِالْخَمْرِ

Siapa saja yang mengimani Allah dan Hari Akhir, janganlah ia duduk di dalam sebuah hidangan yang disediakan padanya minuman khamr (HR at-Tirmidzi dari Jabir).5

 

Ketiga, azab neraka selama-lamanya bagi orang yang mati dalam keadaan kafir. Mereka dimasukkan ke dalam Neraka Saqar. Ini jelas diberitakan dalam firman Allah SWT: وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّينِ (dan kami mendustakan hari pembalasan). Azab itu ditimpakan kepada mereka karena pendustaan dan pengingkaran mereka terhadap Hari Pembalasan hingga mereka mati. Hal ini dengan jelas disebutkan dalam firman Allah SWT: حَتَّى أتانا يَقِينُ (sampai datang kepada kami kematian).

Ini menunjukkan bahwa azab neraka itu dijatuhkan kepada orang-orang kafir yang mati dalam keadaan kafir. Dalam banyak ayat lain diberitakan bahwa orang yang mati dalam keadaan kafir mendapatkan laknat dari Allah SWT, malaikat dan seluruh manusia. Mereka kekal di neraka selama-lamanya (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 161-162).

Hukuman lainnya adalah seluruh amal mereka terhapus. Mereka dijadikan sebagai penghuni neraka selama-lamanya (Lihat: QS al-Baqarah 2]: 217; QS Furqan [25]: 23; QS an-Nur [24]: 39; dan lain-lain. Rasulullah saw. juga bersabda:

إِنَّ الله لاَ يَظْلِمُ مُؤْمِنًا حَسَنَة يُعْطَى بِهَا فِى الدُّنْيَا وَيُجْزَى بها فِى الآخِرَةِ وَأَمَّا الْكَافِرُ فَيُطْعَمُ بِحَسَنَاتِ مَا عَمِلَ بها لله فِى الدُّنْيَا حَتَّى إِذَا أَفْضَى إِلَى الآخِرَة لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَةٌ يُجْزَى بها

Sungguh Allah SWT tidak menzalimi seorang Mukmin atas amalan kebaikan yang dia lakukan. Allah membalas kebaikannya di dunia dan di akhirat. Adapun orang kafir, Allah memberi mereka makanan (rezeki) di dunia sebagai balasan atas kebaikannya. Namun, ketika di akhirat nanti, kebaikannya tidak ada nilainya lagi dan dia tidak mendapatkan balasan apa-apa (HR Muslim).

 

Imam al-Nawawi berkata, “Seluruh ulama telah berijmak bahwa orang kafir, setelah dia meninggal dunia, tidak mendapatkan pahala di akhirat dan tidak mendapatkan balasan apapun dari amalnya di dunia ini yang dia persembahkan untuk Allah SWT.”6

Hal ini sekaligus mengukuhkan bahwa syarat diterima amal dan dapat dimasukkan ke dalam surga adalah adanya iman pada diri pelakunya (Lihat: QS al-Nisa‘ [4]: 134).

Dalam ayat-ayat tersebut dijelaskan bahwa siksa yang sangat dahsyat di neraka dan mereka tidak akan diampuni adalah ketika: وَمَاتُوا وَهُمْ كُفَّارٌ (mereka mati dalam keadaan kafir). Ini mengandung makna bahwa jika mereka mati tidak dalam keadaan kafir, mereka tidak mengalami nasib sebagaimana diberitakan dalam ayat ini. Dengan kata kalian, mereka bisa berharap mendapatkan ampunan Allah SWT, tidak dilaknat dan dimasukkan ke dalam surga jika mereka meninggalkan kekufuran mereka dan mati dalam keadaan iman.

Kesimpulan ini juga dinyatakan secara eksplisit dalam beberapa nas lainnya, seperti dalam firman Allah SWT:

قُل لِّلَّذِينَ كَفَرُوٓاْ إِن يَنتَهُواْ يُغۡفَرۡ لَهُم مَّا قَدۡ سَلَفَ وَإِن يَعُودُواْ فَقَدۡ مَضَتۡ سُنَّتُ ٱلۡأَوَّلِينَ ٣٨

Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu, “Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka atas dosa-dosa mereka yang sudah lalu. Jika mereka kembali lagi, sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah terhadap) orang-orang dulu (QS al-Anfal [8]: 38).

 

Ketika menjelaskan ayat ini, Ibnu Katsir mengukuhkan penafsiran ayat tersebut dengan hadis penuturan Abu Wail, dari Ibnu Mas’ud ra., bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

مَنْ أَحْسَنَ فِى الإِسْلاَمِ لَمْ يُؤَاخَذْ بِمَا عَمِلَ فى الْجَاهِلِيَّةِ، وَمَنْ أَسَاءَ فِى الإِسْلاَمِ أُخِذَ بِالأَوَّلِ وَالآخِرِ

Siapa saja yang berbuat baik dalam Islam, ia tidak akan disiksa karena amal perbuatannya pada masa Jahiliahnya. Siapa saja yang berbuat keburukan dalam Islam, ia akan disiksa karena perbuatannya pada masa Jahiliah dan masa Islamnya (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad dan Ibnu Hibban).7

 

Hal senada juga diterangkan dalam hadis penuturan ‘Amr bin al-‘Ash ra., yang menceritakan kisahnya ketika masuk Islam. Ia berkata:

فَلَمَّا جَعَلَ الله الإِسْلاَمَ فى قَلْبِى أَتَيْتُ النَّبى-صلى الله عليه وسلم-فَقُلْتُ ابْسُطْ يَمِينَكَ فَلأُ بَايِعْ كَ فَبَسَطَ يَمِينَهُ-قَال-فَقَبَضْتُ يَدِى. قَالَ مَا لَكَ يَا عَمْرُو. قَالَ قُلْتُ أَرَدْتُ أَنْ أَشْتَرِط. قَالَ: تَشْتَرِطُ بِمَاذَا. قُلْتُ أَنْ يُغْفَرَ لى. قَالَ: أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ الإِسْلاَمَ يَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَه وَأَنَّ الْهِجْرَة تهدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهَا وَأَنَّ الْحَجَّ يَهْدِمُ مَاكَانَ قَبْلَهُ

“Ketika Allah menjadikan Islam dalam hatiku, aku mendatangi Nabi saw, dan aku berkata, “Bentangkanlah tanganmu, aku akan berbaiat kepadamu.” Nabi saw. membentangkan tangan kanannya. Dia (‘Amr bin al-‘Ash ra) berkata, “Aku tahan tanganku (tidak menjabat tangan beliau).” Lalu Nabi saw bertanya, “Ada apa, ‘Amr?” Dia berkata, “Aku ingin meminta syarat!” Nabi saw pun bertanya, “Apakah syaratmu?” Lalu aku berkata, “Agar aku diampuni.” Kemudian Nabi saw berkata, “Apakah engkau belum tahu bahwa Islam itu menghapus dosa-dosa yang dilakukan sebelumnya, hijrah itu menghapus dosa-dosa sebelumnya, dan haji itu menghapus dosa-dosa sebelumnya?” (HR Muslim).

 

Selain kesalahan dan dosa yang diampuni, orang kafir yang masuk Islam dan baik keislamannya, juga diterima amal-amal kebaikannya yang dilakukan semasa masih kafir. Hakim bin Hizam ra. berkata:

يَا رَسُولَ الله أَرَأَيْتَ أُمُورًا كُنْتُ أَتَحَنَّثُ بها فِى الْجَاهِلِيَّةِ مِنْ صِلَةٍ وَعَتَاقَةٍ وَصَدَقَةٍ، هَلْ لِى فِيهَا مِنْ أَجْرٍ . قَالَ حَكِيمٌ قَالَ رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم أَسْلَمْتَ عَلَى مَا سَلَفَ مِنْ خَيْرٍ

Wahai Rasulullah, apakah engkau memandang perbuatan-perbuatan baik yang aku lakukan sewaktu masa Jahiliah seperti sedekah, membebaskan budak atau silaturahmi tetap mendapat pahala?” Nabi saw. bersabda, “Engkau telah masuk Islam beserta semua kebaikanmu yang dulu.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

 

Al-Imam al-Nawawi berkata, “Jika orang kafir mengerjakan perbuatan baik seperti itu, lalu dia masuk Islam, maka dia diberi pahala di akhirat kelak, menurut mazhab yang benar.”8

Demikianlah beberapa pelajaran penting yang dapat diambil dari ayat-ayat ini.

WalLâh a‘lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]

Catatan Kaki:

1 al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 30, 410; Ismail al-Istambuli, Rûh al-Bayân, vol. 10 (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 239

2 al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 399

3 al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 2, 146

4 al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 2, 146

5 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 2, 435

6 al-Nawawi, al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim, vol. 17 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabiyy, tt), 150

7 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 2, 54

8 al-Nawawi, al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim, vol. 17, 150

 

0 Comments

Leave a Comment

eleven − nine =

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Lost Password