Pancasila: Sejarah dan Pandangan Islam

Sejak Rezim Jokowi berkuasa, setiap tanggal 1 Juni selalu diperingati sebagai hari kelahiran Pancasila. Pancasila ini pun mengalami sakralisasi sedemikian rupa. Bahkan para pejabat dan aparat seolah mengharuskan dirinya mengidentikan diri sebagai sosok pancasilais, dengan slogan, “Saya Indonesia, Saya Pancasila.” Tentu agar mereka diposisikan sebagai bagian dari kekuasaan. Bukan lawan dari rezim penguasa.

Pancasila pun ditempatkan sebagai ideologi bangsa. Tidak hanya sebagai dasar Negara. Keberadaannya selalu dipertentangkan dengan bahaya ekstrem kiri (komunis) dan ekstrem kanan (Islam), namun tidak dipertentangkan dengan bahaya ekstrem nyata hari ini: kapitalis liberal!

Pertanyaannya: Benarkah tanggal 1 Juni itu adalah momen kelahiran dari dasar negara bangsa ini? Pertanyaan berikutnya: Benarkah Pancasila adalah ideologi bangsa sebagaimana yang diopinikan selama ini? Pertanyaan kritisnya: Aapakah Pancasila sudah final, sudah baku dan tidak ada fakta sejarah yang menunjukkan ketidakbakuan Pancasila?

 

Sejarah Pancasila

Tanggal 1 Juni 1945 hanyalah pidato politik Bung Karno tentang usulan dasar negara di hadapan majelis sidang BPUPK. Pidato politiknya itu menguraikan lima asas bagi negara Indonesia merdeka. Usulan lima asas atau lima dasar itu hakikatnya tiada berbeda dengan usulan Mohammad Yamin pada 29 Mei 1945, usulan Mr. Soepomo pada 30 Mei 1945, atau ragam usulan tokoh-tokoh bangsa saat itu yang bermuara pada lima asas tersebut. Pembeda di antara pidato-pidato politik tersebut, Bung Karno menamai lima asasnya itu dengan istilah Pantja-Sila. Itu pun tidak murni atas idenya sendiri. Diyakini istilah tersebut berasal dari usulan Asmara Hadi dan Yamin sebagai ahli linguistik. Jadi, tanggal 1 Juni itu lebih tepatnya dimaknai sebagai hari kelahiran istilah Pantja-Sila. Bukan sebagai hari kelahiran Pancasila yang kita kenal hari ini. Pasalnya, lima asas usulan Bung Karno itu adalah: Kebangsaan, Kemanusiaan, Demokrasi, Keadilan Sosial, dan Ketuhanan. Adapun Pancasila yang urutan sila dan susunan kalimatnya yang kita kenal saat ini ditetapkan dalam sidang PPK pada tanggal 18 Agustus 1945.

Sesungguhnya, dalam rekam jejak sejarah peradaban dunia, lima asas, lima dasar, lima sila ataupun khomsah qonun yang diusung oleh para founding father di majelis sidang BPUPK dimaksud merupakan ide-ide dasar yang diyakini dan dikembangkan oleh kaum masuniyah, anggota tarekat mason bebas (freemasonry) di Britania Raya sejak awal abad ke-16. Ide-ide tersebut diyakini sebagai bagian dari upaya mereka untuk membentuk the new world order. Kelima asas tersebut adalah: 1. Monotheism cultural or belief of God; 2. Humanism or humanity; 3. Nationalism (Nation State); 4. Democraty (souvernigty of people); 5. Socialism or social of justice.

Ide-ide tersebut semakin mengemuka sejak meletusnya Revolusi Prancis, Revolusi Industri dan Revolusi Amerika. Khomsah Qonun Freemasonry ini pun masuk ke negeri kita sejak era kolonialis Prancis pada masa Herman Willem Daendels & era kolonialis Inggris pada masa Thomas Stamford Raffles. Kedua tokoh tadi disebut sebagai anggota Mason oleh Rd. Saleh Syarif Bastaman yang pernah mengenyam pendidikan dengan Daendels di negeri Belanda.

Lima asas ini semakin popular di kalangan Bumi Putera sejak para Vrijmetselarij Belanda mengajarkannya di bangku-bangku sekolah kolonial. Saat itu Ethische Politiek Wilhelmina dilaksanakan oleh Kementerian Pendidikan, Agama & Kerajinan, Josephus Hendricus Abendanon, yang memberikan fasilitas pendidikan bagi para putera bangsawan negeri ini. Bung Karno sendiri dalam otobiografinya yang ditulis Cindy Adams mengaku bahwa saat menempuh pendidikan menengahnya di Surabaya kerap mengunjungi perpustakaan milik loji freemasonry untuk dapat mengakses ide-ide tersebut. Bahkan ayahanda Soekarno sendiri, Ir. Soekemi Sostrodihardjo termasuk 15 anggota freemason paling berpengaruh di Indonesia sebagaimana catatan Mc. Ricklef dalam Buku Sejarah Modern Indonesia.

Sosok para pengusul lima asas lainnya, seperti Yamin dan Soepomo, juga terdidik dalam kurikulum pendidikan kolonial yang disponsori para Vrijmetselarij Belanda. Demikian pula saat Bung Karno kuliah di Bandung. Dia sering berdialektika intelektual dengan Adolf Baars, salah seorang mentornya, ataupun mengkaji pemikiran Sun Yat Seng, freemason Tiongkok, dalam bukunya, San Min Chu I.

Jadi, dari fakta historis dan empiris ini, apakah kita masih membenarkan klaim bahwa lima asas yang menjadi dasar negara ini digali dari khazanah budaya bangsa, ataukah justru malah merupakan ide trans-national?

 

Pancasila Tidak Baku?

Sejak awal Sidang BPUPK pada 29 Mei 1945, perselisihan di antara para founding father tentang dasar negara itu sudah mengemuka. Pidato-pidato politik yang disampaikan para tokoh yang hadir tidak menemukan titik temu. Akhirnya, ketua siding, Dr. Radjiman Wedjodiningrat—yang juga disebut sebagai anggota Mason oleh Rickleft—segera membentuk Panitia Sembilan yang dikepalai Ir. Soekarno untuk merumuskan dasar negara lebih detail bersama tokoh-tokoh Islam dan Nasionalis. Rumusan mengerucut pada usulan lima asas yang mendominasi majelis sidang BPUPK sebelumnya. Empat tokoh Islam (KH Wahid Hasyim, KH Kahar Muzakkir, KH Abikoesno Tjokrosoejoso, KH Agus Salim) yang bergabung dalam Panitia Sembilan berupaya untuk mengislamisasi lima asas dengan nilai dan ajaran Islam. Akhirnya, mereka bersepakat dengan 5 tokoh Nasionalis dalam Djacarta Charter 22 Juni 1945. Kesepakatan tersebut ditandai dengan pernyataan sila pertama, “Ketoehanan dengan kewadjiban mendjalankan Sjariat Islam bagi pemeloek-pemeloeknja.”

Kesepakatan Panitia Sembilan itulah yang dikenal sebagai Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Bahkan menurut KH. Firdausy AN, Djacarta Charter tersebut adalah naskah proklamasi otentik. Namun, kesepakatan gentle agreement itu dikhianati kaum Nasionalis dengan pencoretan 7 kata dalam Piagam Jakarta tersebut pada 18 Agustus 1945. Nah, jika dikhianati seperti itu, apakah masih disebut kesepakatan? Jadi, jika dikatakan bahwa Pancasila itu merupakan kesepakatan para founding father, sekaligus merupakan karya para ulama Islam, maka hal itu hanya terjadi pada 22 Juni 1945, bukan pada 18 Agustus 1945.

Bukti adanya ketidaksepakatan tersebut terjadi saat Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Muhammadiyah, tetap kokoh mempertahankan keseluruhan isi Piagam Jakarta sebelum ditetapkan sebagai dasar negara pada 18 Agustus tadi. Beliau baru bersedia menerima pencoretan 7 kata tersebut setelah diberi janji oleh Sukarno dan Hatta bahwa dalam rentang 6 bulan ke muka saat Republik dalam keadaan tenang, maka bangsa ini akan kembali memilih para wakilnya di parlemen dan tokoh-tokoh Islam dipersilakan untuk mengusulkan dasar Islam bagi negara Indonesia. Pernyataan para proklamator ini telah dimaklumi bahwa Pancasila yang ditetapkan sebagai dasar negara sejak 18 Agustus 1945 itu tidaklah final, bukan sesuatu yang baku. Namun, sangat mungkin terjadi perubahan ataupun pergantian. Bung Karno sendiri dalam pidato politik 1 Juni 1945 sebelumnya menyatakan bahwa Pantja-Sila bisa diperas menjadi Tri-Sila, bahkan Eka-Sila.

Selain itu, bukti nyata adanya ketidaksepakatan tersebut terjadi dalam Sidang Konstituante hasil Pemilu 1955. Di dalam sidang-sidang Majelis Konstituante tersebut terjadi perdebatan sengit di antara para anggotanya. Mereka terpolarisasi pada tiga kubu; Islamis, Nasionalis dan Komunis. Perbedaan ideologis, bahkan teologis, di antara mereka kembali mengemuka saat pembahasan dasar negara dan undang-undang dasar. Penolakan dasar negara Pancasila oleh tokoh-tokoh Islam, baik dari Masyumi, NU, PSII dan Perti menunjukan bahwa umat Islam tidak menerima pecoretan 7 kata dalam Piagam Jakarta pada 18 Agustus 1945 sebelumnya.

 

Perdebatan Dewan Konstituante: Islam vs Pancasila

Saat sidang berlangsung, tokoh-tokoh Islam menghendaki Indonesia berdasarkan Islam atau setidaknya kembali kepada Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Namun, kubu Nasionalis dan Komunis yang diwakili PNI dan PKI menolak keras usulan tersebut. PNI ingin tetap mempertahankan Pancasila, sedangkan PKI menghendaki Sosio Demokrasi sebagai dasar negara dan perundang-undangan negara. Sadar suara kaum komunis itu bukanlah mayoritas dan jika PKI tidak mendukung PNI mempertahankan Pancasila, maka suara Islamlah yang menjadi mayoritas. PKI pun lantang menyuarakan Pancasila. Bahkan berikutnya, DN. Aidit merilis buku PKI Membela Pantja-Sila. Akhirnya, polarisasi ideologis itu bermuara pada Islam vs Pancasila yang menyebabkan jalannya sidang mengalami deadlock. Soekarno akhirnya memiliki alasan untuk mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan pembubaran Konstituante, menghapuskan UUDS 1950 dan mengembalikan Pancasila dan UUD 1945 sebagai konstitusi negara.

Jalannya sidang yang berlarut-larut hingga mengalami deadlock menunjukan fakta kepada kita bahwa dasar negara Pancasila itu bukanlah sesuatu yang baku ataupun final, apalagi disakralkan. Sebaliknya, sesungguhnya Pancasila itu adalah sesuatu yang mungkin bisa diubah, diganti ataupun masih bisa dipakai sesuai dengan kehendak rezim kekuasaan. Bukti adanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk kembali pada Pancasila dan UUD ‘45 tadi menunjukan fakta adanya keinginan rezim untuk melegitimasi kekuasaannya dengan mengatasnamakan Pancasila, sekaligus mereduksi keinginan umat Islam untuk menjadikan Islam dan syariahnya sebagai dasar negara.

 

Pancasila Ideologi?

Ideologi adalah ‘aqiidah ‘aqliyah (keyakinan yang dihasilkan melalui proses berpikir) yang memancarkan nizhaam (sistem/peraturan).

Dari definisi tersebut maka sesungguhnya ideologi yang ada di tengah-tengah manusia saat ini hanya ada tiga: Islam, Socialism-Communism dan Capitalism-Liberalism. Hanya tiga inilah yang memiliki pemikiran dasar dan seperangkat aturan untuk melaksanakan, menjaga dan mengemban ideologinya masing-masing.

Adapun Pancasila tidaklah tepat jika dikatakan sebagai sebuah ideologi karena tidak memiliki karakteristik sebagaimana tiga ideologi tadi. Menarik juga apa yang pernah dinyatakan oleh Dr. H. Tarmizi Taher yang menyatakan bahwa Pancasila bukanlah ideologi, namun merupakan falsafah bangsa. Menurut dia, ideologi berkaitan erat dengan persoalan akidah. Adapun falsafah boleh diambil, boleh pula tidak diambil.

Pernyataan mantan Menag era Orde Baru tersebut menunjukkan ketidaksakralan Pancasila, sekaligus membuktikan bahwa Pancasila tidaklah baku, bukanlah sesuatu yang final. Bahkan baru-baru ini pun ada wacana di DPR untuk mereduksi Pancasila menjadi Trisila atau Ekasila oleh Fraksi PDI-P. Jadi, apa benar Pancasila sudah final?

Inilah kenyataan yang semakin vulgar diperlihatkan. Kekuasaan yang mengatasnama-kan kedaulatan rakyat saat ini memang hanya sekadar memuluskan kepentingan rezim semata. Jika mereka menghendaki, apapun yang digembar-gemborkan sudah final, baku, ajeg dan sejenisnya, bisa saja mereka ganti, ubah dan jilat sendiri. Semoga umat tidak mudah lupa.

 

Pancasila dalam Pandangan Islam

Menyaksikan dinamika politik negeri ini, sekaligus memperhatikan rekam jejak sejarah bangsa ini saat berdialektika dengan Pancasila, maka kita semakin mafhum bahwa Pancasila yang dipropagandakan sebagai hasil kesepakatan di antara para founding father, khususnya buah perjuangan para ulama dan tokoh-tokoh Islam, ternyata tidak memiliki dasar argumentasi yang kokoh. Demikian pula saat kita dicecoki dengan opini bahwa Pancasila itu digali dari khazanah budaya bangsa, ternyata jauh panggang dari api. Pancasila justru merupakan ide trans-national yang diusung oleh para bapak bangsa yang terdidik dalam sistem pendidikan kolonial, bahkan tidak terpisahkan dari pengaruh khomsah qonun Vrijmetselarij Belanda.

Begitupula saat diopinikan bahwa Pancasila bukan hanya sebagai dasar negara, tetapi juga merupakan ideologi bangsa, bahkan digembargemborkan sudah final, baku dan tak tergantikan. Pada faktanya mereka yang paling getol mengidentikan diri sebagai pancasilais, “Saya Indonesia, saya Pancasila,” justru yang mewacanakan mengubah Pancasila menjadi Trisila atau Ekasila. Bahkan mereka pula yang kerap tersandung berbagai kasus korupsi di negeri ini.

Oleh karena itu, jangan salahkan umat Islam jika akhirnya pemilik aset terbesar negeri ini tidak lagi mempercayai Pancasila, dan berpaling pada ajaran hakikinya sendiri, yakni Islam dan syariahnya yang memberikan jaminan hidup yang tidak dapat diberikan pseudo ideologi seperti Pancasila.

WalLâhu a’lam bi ash-shawwâb. Ya Allah, saksikanlah! []


0 Comments

Leave a Comment

9 − 8 =

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Lost Password