Mencintai Islam: Bukti Mencintai Allah dan Rasul-Nya
Al-Hubb fiLlâh (Cinta karena Allah) adalah mencintai hamba-Nya karena konsistensinya pada akidah dan syariah-Nya. Sebaliknya, al-bughdh fiLlâh (benci karena Allah) adalah membenci hamba-Nya karena perbuatannya yang menyalahi akidah dan syariah-Nya. Kata “fî” dalam ungkapan “fiLlâh” adalah huruf ta’lîl yang berkonotasi “sebab/karena”. Hal ini merupakan konsekuensi dari kecintaan pada Islam di atas kecintaan pada selainnya, semisal pada ikatan nasab, suku, atau golongan. Rasulullah saw. bersabda:
أَوْثَقُ الْإِيمَانِ الْوَلَايَةُ فِي الله بِالْحُبِّ فِيهِ وَالْبُغْضِ فِيهِ
Ikatan iman yang paling kuat adalah: loyalitas kepada Allah dengan mencintai dan membenci karena Allah (HR al-Hakim dan ath-Thabarani).
Kata awtsaq merupakan bentuk tafdhîl (pengutamaan), yakni pengutamaan sifat kokoh dari ikatan iman. Al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali (w. 795 H) dalam Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam (hlm. 390), menegaskan bahwa pertanda manisnya iman adalah: manakala seseorang mencintai orang lain semata-mata karena Allah; melarang dirinya loyal kepada musuh-musuh Allah dan siapa saja yang Allah benci secara umum. Dengan demikian agama ini seluruhnya hanya untuk Allah. Seseorang mencintai dan membenci karena Allah. Memberi dan menahan pemberian juga karena Allah.
Karena itu relevan jika kaum Muslim yang saling mencintai karena Allah diganjar dengan naungan-Nya pada hari tatkala tiada naungan melainkan naungan-Nya, Rasulullah saw. bersabda:
سَبْعَة يُظِلُّهُمُ الله فِي ظِلِّهِ، يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ : … وَرَجُلاَنِ تَحَابَّا فِي اللهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ …
Ada tujuh golongan yang akan dinaungi Allah di bawah naungan-Nya, pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya: ….dua orang yang saling mencintai karena Allah, keduanya berkumpul dan berpisah kerena Allah…. (HR Muttafaq ’alayh).
Al-Imam Ibn Baththal (w. 449 H) dalam Syarh Shahîh al-Bukhârî (I/67) menguraikan: “Maksud hadis ini adalah dorongan untuk saling mencintai karena Allah dan saling menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, juga dalam hal yang membuahkan kenikmatan yang abadi (jannah).”
Dari penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa di antara bukti saling mencintai karena Allah adalah saling menolong di jalan dakwah, jalan mulia memperjuangkan tegaknya syariah Allah, termasuk kecintan pada Khilafah yang menjadi wasilah tegaknya Islam kâffah.
Sebaliknya, membenci segala perbuatan buruk oknum yang merintangi jalan tersebut (lihat: QS. Al-Hujurât [49]: 7). Dalam hadis lainnya Abu Hurairah ra. Berkata bahwa Rasulullah pernah bersabda:
إنَّ الله يَقُولُ يَوْمَ الْقِيَامَة: أَيْنَ الْمُتَحَابُّونَ بِجَلَالِي؟ الْيَوْمَ أُظِلُّهُمْ فِي ظِلِّي، يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلِّي
Sungguh kelak pada Hari Kiamat Allah akan berfirman: “Di mana orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku? Pada hari ini Aku akan memberikan naungan kepada mereka dalam naungan-Ku saat tidak ada naungan kecuali naungan-Ku.” (HR Muslim dan Ahmad).
Al-Hafizh Ibn al-Jauzi (w. 597 H) dalam Kasyf al-Musykil (III/551) menjelaskan hadis ini, bahwa orang-orang beriman, kalbu mereka bersatu di atas rasa cinta untuk mengagungkan Allah. Penjelasan ini meniscayakan sikap mengagungkan syiar-syiar agama Allah, sebagaimana petunjuk-Nya:
ذَٰلِكَۖ وَمَن يُعَظِّمۡ شَعَٰٓئِرَ ٱللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقۡوَى ٱلۡقُلُوبِ ٣٢
Demikianlah (perintah Allah) dan siapa saja yang mengagungkan syiar-syiar Allah, sungguh itu timbul dari ketakwaan kalbu (QS al-Hajj [22]: 32).
Maknanya, itulah sikap yang lahir dari ketakwaan kepada Allah. Syaikh Nawawi al-Bantani (w. 1316 H) dalam Syarh Sullam al-Tawfîq (hlm. 103) menjelaskan bahwa di antara sifat terpuji yang melekat pada orang yang bertakwa adalah mengagungkan syiar-syiar Allah, yakni syiar-syiar agama-Nya. Syaikh Nawawi mencontohkan, di antara bentuk syiar tersebut adalah Shafa dan Marwah. Menurut Syaikh Nawawi, makna dari sya’airaLlah adalah a’lam al-din (simbol-simbol agama).
Jika tempat semisal Shafa’ dan Marwah wajib dimuliakan, demikian pula bendera tauhid al-Liwâ’ dan ar-Râyah sebagai bukti di antara bukti cinta pada Allah dan Rasul-Nya. Tak ada yang mengemban panji tauhid ini melainkan orang-orang beriman yang mulia dan dimuliakan. Demikian sebagaimana penyifatan Rasulullah saw. kepada pemegang panji ar-Râyah ketika Perang Khaibar:
لَأُعْطِيْنَ الرَّايَة غَدًا رَجُلا يُفْتَحُ عَلَى يَدَيْهِ، يُحِبُّ اللهُ وَرَسُولَهُ، وَيُحِبُّه اللهُ وَرَسُولُهُ
Sungguh aku akan memberikan ar-Râyah kepada seseorang yang melalui kedua tangannya ditaklukkan (benteng). Ia mencintai Allah dan Rasul-Nya. Allah dan Rasul-Nya pun mencintai dirinya (HR Muttafaq ’alayhi).
Hadis ini mengandung pujian (madh) pada pengemban panji ar-Râyah. Karena itu seorang Muslim wajib pula mencintai ajaran Allah dan Rasul-Nya. Termasuk mencintai ajaran Khilafah yang menjadi simbol persatuan umat berlandaskan akidah Islam dan bersistemkan syariah Islam. Dalam atsar-nya, Umar bin al-Khaththab ra. berkata:
ثَلَاثٌ لَأَنْ يَكُونَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم بَيَّنَهُمْ لَنَا أَحَبُّ إِلَيَّ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا: الْخِلَافَةُ، وَالْكَلَالَةُ وَالرِّبَا
Ada tiga perkara, jika Rasulullah saw. menerangkannya kepada kami, lebih aku sukai daripada dunia dan seisinya, yakni: Khilafah, al-kalalah dan riba (HR al-Hakim, Abu Dawud ath-Thayalisi dan al-Baihaqi).
Pengakuan agung dari sosok mulia Umar bin al-Khaththab ra., yang tergolong Sahabat Rasulullah saw. Paling utama, Khalifah kedua dari jajaran al-Khulafâ’ ar-Rasyidûn.
Cinta Palsu: ’Ashabiyyah yang Dicela Rasulullah saw.
Di antara hal yang wajib diwaspadai kaum Muslim adalah cinta palsu, cinta pada sesuatu yang semu bahkan menjerumuskan pada kebinasaan. Abu Hurairah ra. berkata bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
مَنْ خَرَجَ مِنَ الطَّاعَةِ، وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ، مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً، وَمَنْ قَاتَلَ تَحْتَ رَايَةٍ عِمِّيَّةٍ يَغْضَبُ لِعَصَبَةٍ، أَوْ يَدْعُو إِلَى عَصَبَةٍ، أَوْ يَنْصُرُ عَصَبَةً، فَقُتِلَ، فَقِتْلَةٌ جَاهِلِيَّةٌ، وَمَنْ خَرَجَ عَلَى أُمَّتِي، يَضْرِبُ بَرَّهَا وَفَاجِرَهَا، وَلَا يَتَحَاشَى مِنْ مُؤْمِنِهَا، وَلَا يَفِي لِذِي عَهْدٍ عَهْدَهُ، فَلَيْسَ مِني وَلَسْتُ مِنْه
Siapa saja yang keluar dari ketaatan dan memisahkan diri dari al-Jamâ’ah (al-Khilâfah), kemudian ia mati, maka matinya seperti mati jahiliyyah. Siapa saja yang berperang di bawah bendera kefanatikan, ia marah karenanya, atau menyerukannya serta mendukungnya, kemudian ia mati terbunuh, maka matinya seperti mati jahiliyah. Siapa saja yang memisahkan diri dari umatku, kemudian menyerang orang-orang yang baik maupun yang fajir tanpa mempedulikan orang Mukmin di antara umatku, dan tidak pernah mengindahkan janji yang telah dia buat, maka ia tidak termasuk golonganku dan aku pun tidak termasuk golongannya.” (HR Muslim, al-Baihaqi dan an-Nasa’i).
Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435 H) dalam Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’ (hlm. 313) menguraikan: Al-’Ashabiyyah: dukungan bagi orang yang penting bagimu urusannya, baik dalam kebenaran maupun kebatilan; di antaranya dalam hadis: “Bukan termasuk golongan kami orang yang menyerukan ’ashabiyyah.”
Watsilah binti al-Asqa’ berkata: Aku berkata, “Wahai Rasulullah saw., apa itu ’ashabiyyah?” Beliau menjawab:
أَنْ تُعِينَ قَوْمَكَ عَلَى الظُّلْمِ
Engkau membantu kaummu di atas kezhaliman (HR Abu Dawud dan al-Baghawi).
Kaum Muslim wajib mewaspadai ’ashabiyyah yang dicela syariah ini. Inilah cinta buta yang menjerumuskan pada kematian seperti kematian jahiliyah, dengan menyokong kezaliman individu atau kelompok secara membabi buta. Wal ’iyâdzu biLlâh. [Irfan Abu Naveed, M.Pd.I; (Peneliti Balaghah al-Qur’an & Hadits Nabawiyyah)]
0 Comments