Akhlak Sempurna Dengan Tegaknya Syariah
Akhlak yang mulia ringan diucapkan, namun berat diamalkan. Apalagi di tengah roda kehidupan yang digerakkan oleh ideologi Kapitalisme yang materialistic oriented. Persoalan kian pelik tatkala kaum Muslim tak mampu mendudukkan hakikat akhlak dalam Islam relevansinya dengan syariah. Akibatnya, sebagian kaum Muslim memfokuskan dakwahnya pada perbaikan akhlak semata. Padahal akhlak adalah karakter, yakni karakter Muslim yang wajib diwujudkan sesuai pemahaman-pemahaman syar’i.
Kedudukan Akhlak dalam Islam
Lafal al-akhlâq bentuk jamak dari al-khuluq. Menurut Al-Azhari (w. 370 H) dalam Tahdzîb al-Lughah (VII/18): “Al-Khuluq: ad-dîn; al-khuluq: kehormatan.” Hal senada juga ditegaskan oleh Al-Qadhi ‘Iyadh (w. 544 H) dalam Masyâriq al-Anwâr (I/239), al-Hafizh Ibn al-Atsir (w. 606 H) dalam Al-Nihâyah fî Gharîb al-Hadîts (II/70), dan Ibn Manzhur (w. 711 H) dalam Lisân al-‘Arab (II/1245).
Makna ini menyiratkan adanya irisan antara akhlak dan dîn seseorang. Al-Hafizh Ibn Abdil Barr (w. 463 H) mengetengahkan perkataan Abu al-‘Atahiyah dalam Al-Tamhîd (XXIV/334):
لَيْسَ دُنْيَا إِلاَّ بِدِينٍ وَلَيْسَ الدِّينُ إِلاَّ مَكَارِمُ اْلأَخْلاَقِ
Tidaklah dunia tegak kecuali dengan agama ini dan bukanlah agama ini melainkan akhlak yang mulia.
Akhlak wajib dibangun di atas asas akidah Islam karena bagian dari syariah yang wajib disesuaikan dengan perintah dan larangan Allah. Dengan demikian setiap Muslim, apalagi pengemban dakwah, wajib berusaha menghiasi dirinya dengan akhlak mulia. Sifat ini tergambar dalam akhlak sebaik-baiknya teladan, Baginda Rasulullah saw., sebagaimana firman-Nya:
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٖ ٤
Sungguh engkau benar-benar memiliki akhlak yang agung (QS al-Qalam [68]: 4).
Menurut para ulama, khuluq ’azhim yakni: Dinul Islam atau adab al-Quran. Menafsirkan ayat yang agung ini, al-Hafizh Abu Ja’far ath-Thabari (w. 310 H) mengatakan: “Allah berfirman kepada Nabi-Nya, Muhammad saw: Sungguh engkau, wahai Muhammad, memiliki adab yang agung, dan maksudnya itu adalah adab al-Quran yang dengan itulah Allah mengaturnya, yakni Islam dan syariahnya.”
Ibn Abbas ra. menjelaskan maknanya adalah dîn ’azh îm (Dinul Islam yang agung). Dalam riwayat lainnya dari Ibn Abbas ra. dinyatakan:
إِنَّكَ عَلَى دِيْنٍ عَظِيْمٍ وَهُوَ اْلإِسْلاَمُ
Sungguh engkau (Muhammad saw.) memeluk din yang agung yakni Islam.
Ini pula yang menjadi pendapat al-Dhahhak, Mujahid, Ibn Zaid dan Muqatil. Qatadah sebagaimana dinukil Imam ats-Tsa’labi (w. 427 H) mengatakan, maknanya yakni apa saja yang Allah perintahkan dan apa saja yang Allah larang.
Ketika menafsirkan ayat ini, Abu Ja’far an-Nahhas dalam kitab I’râb al-Qur’ân menuturkan: “Ibn Abu Thalhah, dari Ibn Abbas, berkata: (yakni) dalam din. Abu Ja’far mengatakan: Hal ini seperti sabda Rasulullah saw., “Orang beriman yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling baik akhaknya.” Artinya, orang yang paling baik agamanya, jalannya, mazhab dan ketaatannya. Diperjelas oleh atsar dari Ali bin Abi Thalib ra.:
حُسْنُ اْلخُلُقِ فِي ثَلاَثِ خِصَالٍ: إِجْتِنَابُ الْمَحَارِمِ, وَ طَلَبُ اْلحلَاَلِ, وَ التَّوْسِعَةُ عَلَى الْعِيَالِ
Baiknya akhlak tergambar dalam tiga bentuk: menjauhi berbagai keharaman, menunaikan yang halal dan bersikap lapang pada keluarganya (Husain al-Mahdi, Shaid al-Afkar, hlm. 687).
Penafsiran ini dikuatkan dengan pesan agung dalam Hadis Rasulullah saw., yang menggambarkan hubungan keimanan dengan akhlak terpuji:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيْمَاناً أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
Orang Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya (HR Ahmad, Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Penggambaran kemuliaan akhlak sebagai buah dari kesempurnaan iman menunjukkan keutamaan berakhlak mulia sebagai konsekuensi keimanan. Dengan demikian bisa disimpulkan pula bahwa baiknya khuluq seseorang erat kaitannya dengan Dinul Islam, yakni keterikatannya dengan syariah Islam. Al-‘Allamah Taqiyuddin al-Nabhani (w. 1396 H) pun menegaskan bahwa akhlak merupakan bagian dari syariah Islam. Ia terikat dengan perintah dan larangan Allah.
Akhlak Mulia, Sempurna dengan Tegaknya Dinul Islam
Abu Hurairah ra. menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
إِنَّماَ بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاقِ
Sungguh aku diutus untuk menyempurnakan keshalihan akhlak (HR al-Baihaqi dan al-Bazzar).
Dalam redaksi hadis lainnya dalam riwayat al-Bukhari, Ahmad, al-Baihaqi diistilahkan dengan shâlih al-akhlâq. Dalam hadis ini, Baginda Rasulullah saw. menekankan besarnya kedudukan akhlak dalam Islam. Lafal shâlih dan makârim yang ditautkan (al-idhâfah) pada lafal al-akhlâq jelas menunjukkan kekhususan dari akhlak itu sendiri, yakni kebaikan yang tak terpisahkan darinya.
Menariknya, Imam Abu Ja’far ath-Thahawi (w. 321 H) dalam Syarh Musykil al-Âtsâr (XI/262) menjelaskan, hadis ini menegaskan bahwa yang dimaksud adalah menyempurnakan Din itu sendiri:
Makna hadits ini menurut kami—walLâhu a’lam—bahwa Allah ‘Azza wa Jalla mengutus beliau untuk menyempurnakan bagi manusia din mereka dan Allah menurunkan kepada beliau dari apa yang masuk dalam pemaknaan ini, yakni firman-Nya:
ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ ٣
Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kamu Din-mu (QS al-Maidah [5]: 3).
Dengan demikian pengutusan Nabi Muhammad saw. oleh Allah ‘Azza wa Jalla adalah untuk menyempurnakan bagi manusia syariah beragama mereka. Artinya, telah ada syariah beribadah para nabi sebelum Rasulullah saw., kemudian Allah ‘Azza wa Jalla menyempurnakannya. Ini berdasarkan informasi firman-Nya:
ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ ٣
Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kamu Din-mu (QS al-Maidah [5]: 3).
Kata al-ikmâl semakna dengan al-itmâm. Ini menjadi makna dari sabda Rasulullah saw.:
إِنَّماَ بُعِثْتُ, لِأُتَمِّمَ صَالِحَ اْلأَخْلاَقِ
Sungguh aku diutus hanya untuk menyempurnakan keshalihan akhlak.
Frasa (shâlih al-akhlâq) yakni shâlih al-adyân, yakni Dinul Islam.
Imam al-Baji, sebagaimana dinukil oleh Imam al-Zurqani (w. 1122 H) dalam Syarh al-Zurqani ‘Alâ Muwaththa’ (IV/404), menuturkan: Dulu orang Arab dikenal sebagai sebaik-baiknya manusia dari aspek akhlaknya karena apa yang tersisa di sisi mereka dari syariah ajaran Nabi Ibrahim as. Mereka lalu tersesat dari sebagian besar di antaranya. Karena itu diutuslah Rasulullah saw. untuk menyempurnakan mahâsin al-akhlâq dengan menjelaskan kesesatannya dan dengan pengkhususan dalam syariahnya.
Al-Hafizh Ibn Abdil Barr al-Andalusi sebagaimana dinukil oleh al-Zurqani (ibid, (IV/404) menjelaskan bahwa masuk di dalamnya keshalihan, dan kebaikan seluruhnya, Din ini, keutamaan, kehormatan, kebajikan (al-ihsân) dan keadilan. Oleh karena itulah diutus Rasulullah saw. untuk menyempurnakannya.
Uraian di atas mengandung pelajaran penting. Pertama: Hadis ini menggambarkan visi utama pengutusan Rasulullah saw. adalah untuk menyempurnakan tegaknya Din dalam kehidupan, yang diungkapkan secara majazi (kiasan), diwakili kata akhlak. Dalam ilmu balaghah, ini merupakan bentuk dzikr al-juz’i wa irâdat al-kulli (menyebutkan sebagian namun yang dimaksud adalah keseluruhan). Pasalnya, akhlak bagian dari Dinul Islam itu sendiri.
Kedua: Hadis ini bukanlah dalil untuk fokus pada pembahasan perbaikan akhlak semata, dengan mengabaikan upaya penegakkan syariah Islam dalam kehidupan. Ini diperjelas dengan keberadaan huruf lam dalam frasa li utamimma yang menunjukkan tujuan dari pengutusan Baginda Rasulullah saw.
Ketiga: Upaya menyempurnakan akhlak yang mulia terealisasi dengan menegakkan Dinul Islam dalam kehidupan, yang bisa tegak totalitas dalam naungan Khilafah. Tidak bisa fokus pada perbaikan akhlak semata, dengan mengabaikan dakwah penegakkan syariah Islam itu sendiri secara kaffah. Hal ini diperjelas dengan Sunnah Rasulullah saw. dalam dakwahnya yang mendakwahkan akidah dan syariah Islam seluruhnya.
WalLâhu a’lam. [Irfan Abu Naveed]
0 Comments