Mahar

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِك أَنَّ رَسُولَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْف وَعَلَيْهِ رَدْع زَعْفَرَانٍ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَهْيَمْ فَقَالَ يَا رَسُولَ الله تَزَوَّجْتُ امْرَأَةً، قَالَ مَا أَصْدَقْتَهَا ؟ قَالَ : وَزْنَ نَوَاةٍ مِنْ ذَهَبٍ، قَالَ أَوْلِم وَلَوْ بِشَاةٍ

Anas bin Malik ra. bahwa Rasulullah saw. melihat Abdurrahman bin Auf dan pada dia ada bekas Za’faran (Safron). Nabi saw. bertanya, “Ada apa?” Dia berkata, “Ya Rasulullah, saya menikahi seorang wanita.” Beliau bertanya, “Apa shadâq (mahar) yang engkau berikan kepada dia?” Dia berkata, “Seberat satu nuwâh emas.” Beliau bersabda, “Buatlah walimah walau dengan seekor domba betina.” (HR Ahmad no. 12.685 dan 12.976, Abu Dawud no. 2.109, at-Tirmidzi no. 1.933).

 

Dalam riwayat Ahmad dan at-Tirmidzi, lafal rad’u za’farân (bekas Safron) diganti wadharun min shufrah (bekas Shufrah). Shufrah adalah parfum wanita. Imam at-Tirmidzi berkata, “Ini hadis hasan shahih.”

Tentang berat satu nuwâh, at-Tirmidzi berkata: Ahmad bin Hanbal berkata, “Berat satu nuwâh emas adalah berat tiga sepertiga dirham.” Ishaq bin Ibrahim berkata, “Berat satu nuwâh emas adalah berat lima dirham…”

Said bin Manshur di dalam Sunan Sa’îd bin Manshûr no. 613 meriwayatkan dari Anas yang berkata, “Saya hitung (satu nuwâh) adalah tiga dirham.”

Sahal bin Saad as-Saidi ra. menuturkan, bahwa ada seorang wanita yang pernah menyerahkan dirinya kepada Nabi saw. Wanita itu berdiri lama. Lalu salah seorang sahabat berkata, “Nikahkan aku dengan dia jika Anda tidak punya keperluan dengannya.” Nabi saw. bertanya:

هَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ تُصْدِقُهَا إِيَّاهُ ؟ فَقَالَ: مَا عِنْدِي إِلَّا إِزَارِي هَذَا. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنْ أَعْطَيْتَهَا إِزَارَكَ جَلَسْتَ لَا إِزَارَ لَكَ، فَالْتَمِسْ شَيْئًا، فَقَالَ مَا أَجِدُ شَيْئًا. فَقَالَ: اَلْتَمِسْ، وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ، فَالْتَمَسَ فَلَمْ يَجِدْ شَيْئًا، فَقَالَ لَهُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هَلْ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ شَيْءٌ ؟ قَالَ: نَعَمْ سُورَةُ كَذَا وَسُورَةُ كَذَا لِسُوَرٍ يُسَمِّيْهَا، فَقَالَ لَهُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: قَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ

“Apakah engkau punya sesuatu yang engkau berikan (sebagai mahar) kepada dia?” Dia berkata, “Saya tidak punya, kecuali izar-ku ini.” Nabi saw. bersabda, “Jika engkau berikan kepada dia, izar-mu engkau duduk tidak punya izar, cari lainnya!” Dia berkata, “Saya tidak menemukan sesuatu pun.” Beliau bersabda, “Carilah walau berupa cincin besi!” Dia pun mencari dan tidak menemukan apa-apa. Lalu Nabi saw. bersabda kepada dia, “Apakah bersamamu ada sesuatu dari al-Quran?” Dia berkata, “Benar, surat ini dan surat ini.” Nabi saw. bersabda kepada dia, “Aku telah menikahkanmu dengan dengan al-Quran yang ada bersamamu.” (HR al-Bukhari no. 5135, Ahmad no. 22.850, Abu Dawud no. 2111, at-Tirmidzi no. 1.114).

 

Imam at-Tirmidzi berkata: Ini hadis hasan shahih. Asy-Syafii berpendapat kepada hadis ini. Beliau berkata, “Jika dia tidak punya sesuatu yang dia berikan kepada istrinya, lalu dia menikahinya atas surat dari al-Quran, maka pernikahannya boleh, dan dia mengajarkan kepada istrinya surat dari al-Quran.”

Makna “zawwajtukahâ bimâ ma’aka min al-Qur’ân” adalah mengajarkan sebagian tertentu dari al-Quran, sekian ayat, surat ini dan itu. Mengajarkan al-Quran merupakan manfaat yang memiliki nilai finansial.

Ashdaqtahâ atau tushdiquhâ maknanya adalah ash-shadâq yang engkau berikan kepada dia. Ash-Shadâq adalah mahar yang diberikan. Hadis di atas menunjukkan ash-shadâq termasuk istilah untuk mahar.

Tentang pengertian mahar, Abu al-Abbas al-Fayumi di Mishbâh al-Munîr dan Ibrahim Anis dkk di dalam Al-Mu’jam al-Wasîth menyatakan bahwa secara bahasa al-mahru adalah shadâq al-mar’ah. Maknanya, apa yang diberikan suami kepada istrinya dengan akad nikah. Bentuk jamaknya muhûr dan muhûrah, Dikatakan: Mahartu al-mar’ah mahr[an]. Maknanya: A’thaytahâ al-mahra (Engkau memberi dia mahar). Kalimat “Amhartuhâ” juga demikian, tetapi bentuk tsulâtsiy. Maksudnya: mahara-yamharu-mahr[an]. Ini merupakan bahasa Bani Tamim dan yang paling banyak digunakan.

Secara syar’i, Syaikh Wahbah az-Zuhaili di dalam Fiqh al-Islâm wa Adillatuhu menyatakan, mahar adalah harta yang menjadi hak istri yang menjadi kewajiban suami dengan akad atasnya atau dukhûl (persetubuhan) dengannya secara riil (haqîqat[an]). Di kalangan Syafiiyah, al-Khathib asy-Syarbini di dalam Mughni al-Muhtâj menyatakan bahwa mahar adalah apa yang wajib karena nikah atau watha’ (persetubuhan) atau hilangnya budh’u secara paksa seperti persusuan dan saksi menarik diri.

Ada beberapa nama yang digunakan oleh para ulama untuk mahar sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Qudamah di dalam Al-Mughnî yaitu: al-mahru, ash-shadâq, ash-shadaqah, an-nihlah, al-farîdhah, al-ajru, al-‘alâ’iq, al-‘uqru, al-hibâ`. Di antara nama-nama itu yang terkenal adalah al-mahru, ash-shadâq, al-farîdhah dan an-nihlah.

Mahar itu hukumnya wajib. Dua hadis di atas dan masih ada hadis-hadis lainnya menunjukkan bahwa pernikahan itu tidak boleh tanpa mahar. Hal itu ditegaskan dalam hadis di atas. Rasulullah saw. memerintahkan sahabat itu mencari apapun yang bernilai meski murah. Ketika tidak ada, maharnya berupa mengajarkan sebagian al-Quran. Dalam hadis dari ‘Amir bin Rabi’ah dinyatakan bahwa seorang wanita dari Bani Fazarah dinikahi dengan mahar sepasang alas kaki (HR Ahmad, Ibnu Majah, at-Tirmidzi).

Kewajiban mahar juga didasarkan pada firman Allah SWT:

وَءَاتُواْ ٱلنِّسَآءَ صَدُقَٰتِهِنَّ نِحۡلَةٗۚ ٤

Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan (QS an-Nisa’ [4]: 4).

 

Yang diseru (al-mukhâthab) dalam ayat ini adalah suami. An-Nihlah makna al-‘athiyah (pemberian).

Hukum-hukum rinci tentang mahar dapat merujuk kepada para fukaha yang tertuang dalam kitab-kitab fikih mereka.

Jadi mahar adalah harta yang wajib diberikan oleh suami kepada istrinya karena akad nikah atau persetubuhan secara riil setelah akad yang fasid atau karena sebab lain yang diatur oleh syariah. Harta itu sebelumnya tidak dimiliki oleh istri. Dengan ketentuan mahar itu, istri pun memiliki harta berupa mahar yang diberikan kepada dirinya.

Dengan demikian, mahar termasuk sebab kepemilikan bagi istri, sebagai sesuatu harta yang wajib bagi suaminya.

WalLah a’lam bi ash-shawâb. [Yoyok Rudianto]

0 Comments

Leave a Comment

eighteen − 7 =

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Lost Password