Hak Atas Harta Demi Menjaga Kelangsungan Hidup

مَا آمَنَ بِيْ مَنْ بَاتَ شَبْعَانً وَجَارُهُ جَائِعٌ إِلَى جَنْبِهِ وَهُوَ يَعْلَمْ بِهِ

Tidak beriman kepadaku orang yang tidur dalam kondisi kenyang, sementara tetangganya kelaparan di sisinya, dan ia tahu. (HR ath-Thabarani dalam Mu’jam Al-Kabir, al-Bazzar dalam Al-Musnad, Al-Husain bin Harb dalam Al-Birr wa ash-Shilah).

 

Rasulullah saw juga bersabda:

لَيْسَ الْمُؤْمِنُ الَّذِي يَشْبَعُ وجارهُ جَائِع

Bukanlah Mukmin orang yang kenyang, sedangkan tetangganya kelaparan (HR al-Bukhari dalam Adab al-Mufrad; al-Hakim, al-Baihaqi, Abu Ya’la, ath-Thahawi, al-Husain bin Harb dalam al-Birr wa ash-Shilah).

 

Syaikh Nashiruddin al-Albani di dalam Silsilah ash-Shahîhah menyatakan, “Di dalam hadis tersebut terdapat dalil yang jelas bahwa tetangga yang kaya haram membiarkan tetangganya kelaparan. Jadi ia wajib memberi tetangganya apa yang menutupi laparnya itu. Begitu pula pakaian jika mereka telanjang dan semisalnya yang termasuk kebutuhan pokok.”

Kewajiban tersebut meluas kepada masyarakat secara umum. Rasulullah saw. bersabda:

…وَأَيُّمَا أَهْلُ عَرْصَ ة أَصْبَحَ فِيهِمْ امْرُؤٌ جَائِعٌ فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُمْ ذِمَّةُ الله تَعَالَى

Penduduk negeri manapun yang berada di pagi hari, yang di tengah-tengah mereka ada orang yang kelaparan, maka jaminan Allah telah lepas dari mereka (HR Ahmad, al-Hakim dan Abu Ya’la).

 

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Ashqalani di dalam Qawl al-Musaddad menyatakan, “Dinyatakan sejumlah hadis di kitab-kitab shahih yang mencakup al-barâ`ah, penafian iman dan lainnya. Semua ini adalah ancaman keras kepada orang yang melakukan perkara-perkara yang di dalamnya tidak sampai mengeluarkan dari Islam…” Artinya, melakukan kemaksiyatan yang tidak mengkafirkan. Jadi, frase al-barâ`ah min dzimmatillâh dan penafian iman yakni frase mâ âmana bî dan laysa al-mu`min, itu merupakan qarinah jazim.

Hadis di atas, meski redaksinya berita, maknanya adalah larangan adanya orang kelaparan di tengah masyarakat. adanya qarinah jazim tersebut menunjukkan larangan itu bersifat tegas, yakni haram. Dengan demikian haram ada orang yang kelaparan di tengah masyarakat. Dengan kata lain, wajib atas masyarakat untuk memberi makan orang yang membutuhkan sehingga dia tidak kelaparan.

Hadis-hadis di atas, dengan dalâlah at-tanbîh wa al-îmâ‘, juga mengisyaratkan bahwa di dalam harta orang-orang di masyarakat ada hak bagi orang yang kelaparan, yakni orang yang membutuhkan makanan untuk memenuhi rasa laparnya. Allah SWT telah berfirman:

وَفِيٓ أَمۡوَٰلِهِمۡ حَقّٞ لِّلسَّآئِلِ وَٱلۡمَحۡرُومِ ١٩

Pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian (QS adz-Dzarriyat [51]: 19).

 

Hak orang miskin ini menjadi kewajiban orang kaya. Ini diisyaratkan dalam nas tentang zakat pada QS at-Taubah [9] ayat 60: farîdhat-[an] min Allâh, yakni hak yang diwajibkan.

Oleh karena itu, orang yang kelaparan atau untuk mempertahankan kelangsungan hidup dia dan keluarganya, punya hak atas harta orang-orang di masyarakat, apalagi harta milik umum. Karena itu merupakan haknya, maka dia secara syar’i boleh mengambil apa yang menjadi haknya itu. Pernyataan bahwa itu menjadi haknya mengisyaratkan bahwa ketika haknya itu dia ambil, harta yang diambil itu menjadi miliknya. Sebabnya, tidak ada makna atas kata haqq[un] itu jika harta yang dia ambil itu tidak lantas menjadi miliknya.

Dengan demikian hak atas harta untuk mempertahankan kelangsungan hidup itu menjadi salah satu sebab kepemilikan. Hal itu diisyaratkan oleh hadis-hadis di atas dengan dalâlah at-tanbîh wa al-îmâ‘ dan ditegaskan oleh ayat di atas.

Dengan demikian selama masih ada harta pada orang lain yang zatnya halal, makan orang yang dalam keadaan lapar, untuk mempertahankan kelangsungan hidup dia dan keluarganya, berhak untuk mengambil harta itu tanpa berlebihan, yakni sekadar untuk mempertahankan kelangsungan hidup itu. Dia tidak boleh mengambil harta yang secara zatnya haram. Sebabnya, masih ada haknya berupa harta yang zatnya halal yang ada pada orang lain itu. Jika dia mengambil dari harta yang ada pada orang lain itu untuk mempertahankan hidupnya, tidak ada sanksi atas dirinya. Pasalnya, pada dasarnya dia hanya mengambil apa yang menjadi haknya. Karena itu pencurian ketika masa paceklik, untuk memenuhi kebutuhan makan, tidak dijatuhi sanksi potong tangan. Abu Umamah ra. bertutur bahwa bahwa Nabi saw. pernah bersabda:

لاَ قَطْعَ فِيْ زَمَنِ الْمُجَاعِ

Tidak ada sanksi potong tangan pada zaman kelaparan.

 

Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. tidak menjatuhkan sanksi potong tangan pada tahun paceklik atas orang yang mengambil harta (makanan). Begitu juga terhadap orang yang mengambil harta orang lain karena kelaparan. Abdu ar-Razaq, Malik dan al-Baihaqi meriwayatkan bahwa hamba sahaya Hatib bin Abiy Balta’ah pernah menyembelih unta milik al-Muzani karena kelaparan. Khalifah Umar bin al-Khaththab tidak menjatuhkan sanksi atas dirinya. Namun, Khalifah Umar memutuskan Hatib harus mengganti harga (nilai) unta itu dua kali lipat sebagai ta‘dîb terhadapdirinya karena membiarkan hamba sahayanya kelaparan sampai menyembelih unta milik al-Muzani.

Pentingnya hak itu, bahkan ketika tidak ada harta yang secara zat halal, jika dalam keadaan terpaksa, yakni untuk mempertahankan kelangsungan hidup, maka orang boleh memakan makanan yang diharamkan. Allah SWT berfirman:

فَمَنِ ٱضۡطُرَّ فِي مَخۡمَصَةٍ غَيۡرَ مُتَجَانِفٖ لِّإِثۡمٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ٣

Siapa saja terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS al-Maidah [5]: 3).

فَمَنِ ٱضۡطُرَّ غَيۡرَ بَاغٖ وَلَا عَادٖ فَلَآ إِثۡمَ عَلَيۡهِۚ

Siapa saja dalam keadaan terpaksa (memakannya), sedangkan dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa bagi dirinya (QS al-Baqarah [2]: 173).

 

Begitulah, hak atas harta untuk mempertahankan kelangsungan hidup menjadi salah satu sebab kepemilikan. Sekaligus harta itu merupakan hak untuk orang yang membutuhkan itu dan menjadi kewajiban masyarakat secara umum, khususnya orang kaya di antara mereka.

WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman].


0 Comments

Leave a Comment

2 − two =

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Lost Password