Kegagalan Barat Dan Kapitalisme Global
Amerika is The New Sick Man.” (Hizb.org.uk, 2021). Demikian sebuah editorial di salah satu situs dakwah Islam di Inggris. Editorial tersebut mengomentari “pendudukan brutal” Gedung Capitol Hill, oleh pendukung partai Republik di Amerika, ketika mereka tidak menerima kekalahan calon presidennya, Donald Trump, dalam pemilihan presiden AS tahun 2020 yang lalu.
Istilah “the sick man” mengacu ketika Barat (Eropa) menjuluki Khilafah Islam Utsmani mulai kehilangan pengaruh karena kelemahan yang dimiliki.1
Amerika, mewakili Dunia Barat (West), sebagaimana Eropa, yang dianggap saat ini menjadi pengendali dunia dengan ideologi kapitalisme sekulernya ternyata tidak pantas secara moral mewakili klaim ideologis kedigdayaan nilai-nilai demokrasi Barat. Sikap pecundang yang diperlihatkan oleh “Trump and his gangs” membuat dunia secara umum dan Barat sendiri muak dan tidak mau lagi menjadikan Amerika sebagai rujukan untuk praktik pemerintahan demokrasi.2
Fakta ini adalah puncak gunung es dari berbagai kebobrokan yang lainnya akibat penerapan kapitalisme Barat, selain keburukan lainnya dalam berbagai bidang kehidupan.
Fakta Kegagalan
Sebab utama kegagalan kapitalisme sekuler sesungguhnya karena bertentangan dengan fitrah dan akal sehat manusia. Ideologi ini memuja manusia sebagai pusat segalanya (antroposentrisme). Berikut ini adalah sebagian fakta dari dasar gunung es kegagalan itu.
Di bidang ekonomi, fakta menunjukkan “Capitalism isn’t working, another world is possible”. Maknanya, kapitalisme gagal membawa kesejahteraan untuk rakyat. Istilah “TINA” (There Is No Alternative) telah runtuh. Slogan yang digaungkan sejak presiden Reagen (1981-1989), bahwa satu-satunya alternatif untuk dunia adalah kapitalisme, liberalisme dan globalisasi.
Begitu dalamnya ketidakadilan. Pasalnya, terjadi kesenjangan ekonomi antara “the have” dan “the have not” dengan perbandingan hanya 1 persen yang diuntungkan dengan penerapan kapitalisme, sementara 99 persen adalah menderita kesengsaraan. Menurut laporan Badan Amal asal Inggris, Oxfam3, yang berjudul “Time to Care”, 1% orang terkaya di dunia memiliki lebih dari dua kali lipat kekayaan dari seluruh umat manusia. “Ketimpangan ekonomi telah menjadi di luar kendali, dengan 2.153 miliarder memiliki kekayaan lebih dari 4,6 miliar orang pada 2019,” tulis laporan tersebut, dikutip melalui Bloomberg, Senin (20/1/2020).
Menurut Bloomberg, tiga orang terkaya di dunia telah mengumpulkan kekayaan total sebesar US$231 miliar selama 1 dekade terakhir. Total kekayaan 20 miliarder teratas telah berlipat ganda dari US$672 miliar menjadi US$1.397 miliar sejak 2012.
Di bidang sosial, dalam statistik resmi AS (2017), per 100.000 penduduk, tingkat kejahatan dengan kekerasan dalam bentuk pembunuhan angkanya 5.3, perkosaan 41.7, perampokan 98, serangan yang diperparah 248.9, kejahatan kekerasan total 382.9. Kejahatan properti berupa perampokan 430.4, pencurian 1.694, pencurian kendaraan bermotor 237.4. 4
Di bidang kesehatan, masih massifnya persebaran virus covid 19 di seluruh dunia telah menujukkan kegagalan pencegahan dan penanganan sehingga membawa kematian manusia lebih dari 5.5 juta orang dan angka yang terjangkit lebih dari 343 juta orang (21/01/2022). Ironisnya, kapitalisme menunjukkan bahwa yang diuntungkan secara materi dengan tingginya angka kematian tersebut adalah perusahan-perusahan farmasi dunia yang mendominasi produksi obat (vaksin). Belum lagi sebaran berbagai penyakit menular lainnya, seperti AIDS dll.
Di bidang pendidikan, Survei NBC News Wall Street Journal yang dilakukan 10-14 Agustus 2019 menyimpulkan bahwa nilai-nilai yang dipandang penting oleh AS telah berubah selama dua dekade terakhir. Anak muda AS kini kurang mementingkan patriotisme, agama dan keinginan memiliki anak. Generasi muda AS lebih menghargai kerja keras, toleransi, keamanan finansial dan kepuasan diri. Hanya 30 persen yang menganggap agama sangat penting. Demikian pula tentang keinginan memiliki anak. Hanya 43 persen mengatakan itu sangat penting. Perubahan pandangan generasi baru juga menunjukkan patriotisme bukan lagi hal penting, seiring 51 persen dari mereka tidak mendukung kapitalisme.
Di kancah politik luar negeri, dalam rangka menerapkan kapitalisme secara global, Amerika dan Barat menerapkan metode penjajahan (imperialisme), baik pola lama (melalui militer) maupun pola baru (neo imperialisme, melalui dominasi ekonomi dan budaya). Hasilnya kita bisa saksikan, sejak Perang Dunia pertama, menewaskan lebih dari 31 juta orang, 58 juta jiwa kehilangan nyawa dalam Perang Dunia kedua, 1.7 juta dalam perang AS melawan Uni Sovyet di Afganistan, 1.5 juta dalam perang Vietnam, sampai perang melawan terorisme pasca peristiwa 11 september, dll. Korban akibat nafsu penjajahan ini menelan ratusan juta yang meninggal, cacat permanen dan berbagai kerugian fisik dan psikis.
Kerusakan lingkungan bukanlah hal yang terpisah dari ekonomi-politik kapitalisme. Energi-energi fosil, meski dengan daya rusak lingkungan yang sangat besar, dipilih karena dapat menekan ongkos produksi sekaligus dijadikan komoditi dalam kapitalisme.
Ketika mengomentari ekspansi ekonomi kapitalisme dalam bentuk globalisasi, Chomsky (2006) memperingatkan, “Globalisasi yang tidak memprioritaskan hak-hak rakyat (masyarakat) sangat mungkin merosot terjerembab ke dalam bentuk tirani, yang dapat bersifat oligarkis dan oligopolistis. Globalisasi semacam ini didasarkan atas konsentrasi kekayaan gabungan negara dan swasta yang secara umum tidak bertanggungjawab ke publik”.5
Dengan segala arogansinya sebagai polisi dunia, maka Samuel Huntington dan Robert Jarvis (1999), menegaskan bahwa Amerika telah “menjelma menjadi negara adidaya penipu” bagi sebagian besar dunia, “satu-satunya ancaman eksternal terbesar bagi masyarakat mereka”, dan bahwa “negara penipu ulung hari ini adalah Amerika Serikat”.6
Menghalangi Kebangkitan Islam
Kebangkitan (an-nahdlah) adalah meningkatkan taraf berpikir yang didasarkan pada asas spiritual. Kebangkitan peradaban Islam yang hakiki adalah manakala keimanan mendorong meningkatkan taraf berpikir yang tinggi sehingga manusia akan menyadari bahwa aturan Allah SWT dalam semua aspek kehidupan.
Peradaban Islam yang direpresentasikan pemerintahan Islam di Istanbul Turki diruntuhkan pada 3 Maret 1924 M, bertepatan dengan 28 Rajab 1342 H. Dalam buku “The Inevitable of Caliphate?” diungkapkan bahwa upaya kebangkitan umat Islam dilakukan oleh berbagai gerakan-gerakan Islam di berbagai penjuru dunia. Mereka ingin melanjutkan kembali kehidupan Islam dengan tegaknya Islam di bawah naungan Khilafah. Arus ini semakin tidak terbendung (Pankrust, 2015).7
Pasca serangan 11 September 2001 di Amerika, ketika Presiden AS, George W. Bush menyatakan perang melawan terorisme (war on terrorism). Ada dua tujuan dari perang melawan terorisme itu. Tujuan jangka pendek dari perang ini haruslah untuk menghancurkan Islam militant. Namun, tujuan jangka panjang dari perang ini adalah modernisasi Islam. Pada hakikatnya perang melawan terorisme adalah perang melawan Islam, karena berusaha menghalangi tegaknya Islam sebagai entitas sempurna dalam kehidupan, menggantikan hegemoni dan dominasi Barat atas dunia (Pipe, 2001).
Barat dengan islamophobia-nya terus berusaha mengaborsi perjuangan penegakan Khilafah, melakukan monsterisasi (mencitraburukkan) opini Khilafah melalui eksploitasi keberadaan teroris ISIS-Islamic State of Iraq and Syria atau ISIL-Islamic State of Iraq and Levant=rising, Greater Syria (kelompok bersenjata yang sebenarnya diciptakan AS). Menurut pengakuan Obama, mantan presiden AS, “..We‘re speeding up training of ISIL forces..” (CNNI, 9/7/2015). Hillary Clinton, bekas menlu AS (dalam buku Hard Choice, 6/8/2014), juga mengklaim telah mendirikan “Khilafah”, dengan menebarkan teror dan kekerasan.
“Khilafah” yang diklaim ISIS jelas bertentangan dengan syariah.
Bahkan melalui penguasa bonekanya, Barat telah menggunakan semua cara, baik lunak (soft power) atau kasar(hard power), dengan mempersekusi, menangkap, mengkriminalisasi, bahkan membunuh para pejuang syariah dan Khilafah di berbagai penjuru dunia atas dalih radikalisme, ekstrimisme dan terorisme. Sesungguhnya hal Ini adalah sebagian dari tanda-tanda kekalahan intelektual dan politik Barat dan penguasa antek-anteknya atas pejuang Islam dan Khilafah.
Ala kulli hal, setelah lebih dari 100 tahun pasca penghancuran Khilafah sejak 1924/1342H, apapun upaya Barat menghalangi gelombang perjuangan menegakkan kembali peradaban Islam yang menebarkan rahmatan lil alamin akan sia-sia dan berakhir pada kegagalan total. Pasalnya, umat telah menemukan dan istiqamah menempuh jalan kebangkitannya yang hakiki, yaitu meneladani perjuangan dakwah Rasul saw., melanjutkan kehidupan Islam dengan tegaknya Islam kâffah dan Khilafah. Insya Allah. [Dr. Riyan M.Ag ; (Pengamat Politik Islam)]
Catatan kaki:
1 Terkait dengan istilah “A sick man”, dirujuk dari pernyataan: “British statesman John Russell in 1853, in the run up to the Crimean War, claimed Nicholas I of Russia described the Ottoman Empire as “a sick man—a very sick man”, a “man who has fallen into a state of decrepitude”, and a “sick man … gravely ill”. Sumber: [1]de Bellaigue, Christopher. “Turkey’s Hidden Past”. The New York Review of Books, 48:4, 2001-03-08. [2]de Bellaigue, Christopher. “The Sick Man of Europe”. The New York Review of Books, 48:11, 2001-07-05.[3]”Ottoman Empire.” Britannica Student Encyclopedia,2007.
2 BBC Indonesia (2021). https://www.bbc.com/indonesia/media-55575270
3 Oxfam (2021). https://ekonomi.bisnis.com/read/20200120/9/1192088/oxfam-ketimpangan-ekonomi-dunia-di-luar-kendali
4 Biro Statistik Amerika(2017).Kejahatan di Amerika Serikat menurut Volume dan Tingkat per 100.000 Penduduk, 1998–2017.
5 Free and Fair Trade, Global Agenda 2006, hal.111.
6 Rais, Amien(2008).op.cit.
7 Pankrust, Reza (2013). Inevitable Caliphate?, Oxford Press.
0 Comments