Taat
Hal penting yang bisa kita ambil dari keteladaan Nabiyullah Ibrahim as. saat melaksanakan Ibadah Haji, Shalat Idul Adha dan berkurban adalah ketaatan. Tercermin dari sikap Nabi Ibrahim as. saat diperintahkan Allah SWT untuk menyembelih anaknya sendiri, Nabi Ismail as. Saat itu meskipun sangat berat, Nabiyullah Ibrahim as. lebih memilih untuk siap menjalankan perintah Allah SWT dengan ikhlas dan segera. Tentu sangat berat. Pasalnya, Nabi Ismail as. bukan hanya anak kandungnya, tetapi anak yang memang sudah lama dinanti-nanti selama ini, yang Allah anugrahkan justru pada saat usianya sudah renta. Kita bisa bayangkan betapa beratnya hati Nabiyullah Ibrahim as.
SubhanalLah! Ketika hal ini disampaikan kepada Ismail as., bukannya menolak, ia malah mendorong ayah yang ia cintai untuk melaksanakan perintah Allah SWT itu (QS ash-Shaffat [37]: 102). Inilah teladan ketaatan yang luar biasa yang mencerminkan keimanan yang juga luar biasa. Sungguh ketaatan ini datang dari keimanan kepada Allah SWT. Bukan sekadar iman kepada keberadaan Allah SWT sebagai Pencipta, tetapi juga keimanan yang harus ditunjukkan dengan taat, sami’na wa atha’na (kami taat dan kami patuh), terhadap apapun yang diperintah Allah SWT.
Keimanan inilah yang dituntut Allah SWT dari hamba-Nya, termasuk kita (Lihat: QS an-Nur [24]: 51).
Dalam Islam, ketaatan haruslah terwujud dalam taat pada seluruh syariah Islam secara totalitas. Bukan hanya dalam konteks individual, moral, atau ritual; namun juga juga ekonomi, politik, pendidikan, sosial, budaya, hingga negara. Ketaatan totalitas ini tentu diperintahkan Allah SWT dalam al-Quran (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 208).
Karena itu wajib bagi setiap Muslim untuk menerapkan seluruh syariah Islam dalam kehidupan. Islam tidak mengenal paham sekular yang memisahkan agama dari politik, ekonomi, termasuk negara. Kewajiban penegakan Khilafah dan kewajiban memperjuangkannya adalah bagian dari ketaatan kepada Allah SWT. Dengan keberadaan Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwah ini, syariah Islam yang kaffah bisa diterapkan. Bagaimanapun kesempurnaan penerapan syariah Islam yang totalitas tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Khilafah sebagai institusi negara dan politik yang menerapkannya.
Ketiadaan ketaatan secara totalitas kepada Allah SWT inilah yang menjadi pangkal dari berbagai masalah yang terjadi di negeri-negeri Islam saat ini. Termasuk kegagalan dalam menangai wabah Covid-19. Jumlah yang terinfeksi hingga yang meninggal semakin meningkat. Indonesia bahkan disebut-sebut oleh beberapa media luar negeri terancam menjadi episentrum baru pandemi dunia. Lonjakan pasien yang tinggi dalam satu waktu yang hampir bersamaan membuat rumah sakit over kapisatas, kekurangan ruang ICU, hingga krisis oksigen. Semua ini dikhawatirkan akan membuat pelayanan kesehatan kolaps.
Semua ini berpangkal dari kebijakan penguasa yang jauh dari syariah Islam. Diawali ketiadaan kesadaran yang tinggi untuk menjaga nyawa rakyat dari rezim saat ini. Lihatlah bagaimana sikap mereka, saat pertama kali muncul kasus wabah ini di Wuhan China. Bukannya berpikir keras bagaimana mencegah wabah ini bisa masuk, malah cenderung meremehkan. Ada juga yang bercanda. Seolah-olah ini adalah masalah yang ringan. Seharusnya, kalau penguasa sekular sekarang memiliki kesadaran tinggi untuk menjaga nyawa rakyat, pastilah segera melakukan tindakan-tindakan preventif sedini mungkin dan sekeras mungkin untuk mencegahnya.
Kebijakan Pemerintah pun tidak jelas arahnya. Memang kesadaran masyarakat untuk melaksanakan protokol kesehatan 3 M ( memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan) masih lemah. Namun, hal ini tidak bisa dilepaskan dari kelemahan Pemerintah dalam melakukan sosialisasi masif termasuk rendahnya kepercayaan masyarakat kepada Pemerintah. Kondisi ini semakin diperparah dengan kurang seriusnya Pemerintah untuk melakukan 3 T (Tracing, Testing, Treatment) yang menjadi kunci penting untuk menghentikan penyebaran wabah ini.
Berbagai kebijakan Pemerintah, seperti PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) Darurat dikecam beberapa pihak, termasuk oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBHI), sebagai upaya menghindari tanggung jawab Pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Pemerintah disebut tak memilih opsi karantina atau lockdown hanya untuk menghindari kewajiban memberikan bantuan sosial (Bansos) kepada masyarakat terdampak. Akibatnya, PPKM yang tidak disertai jaminan penuh terhadap kebutuhan pokok masyarakat malah menambah beban hidup masyarakat.
Saat menghadapi wabah seperti saat ini, alih-alih menjadikan Islam sebagai pedoman, yang terjadi malah sebaikanya, rezim radikal sekular malah terjangkit islamophobia yang menganggap kesadaran masyarakat untuk memegang Islam, menjalankan syariah Islam, sebagai ancaman. Padahal kalaulah ajaran Islam digunakan, banyak persoalan yang dihadapi saat wabah ini akan terselesaikan.
Dalam menghadapi wabah, Islam mengajarkan solusi yang terukur dan rasional memenuhi kaedah kausalitas (sebab akibat). Rasulullah saw. memerintahkan kalau diketahui terjadi wabah pada satu daerah, maka penduduk yang terkena wabah dilarang untuk keluar, sebaliknya yang dari luar dicegah untuk masuk. Semua ini untuk melokalisasi penyebaran wabah, termasuk dengan memisahkan mana yang sakit dan mana yang sehat. Rasulullah juga mengingatkan untuk menjauhi sumber penyakit, seperti sabdanya, “Larilah dari penyakit lepra sebagaimana engkau lari dari kejaran singa.” (HR al-Bukhari).
Wabah juga, dalam pandangan Islam, bukan sekadar ujian kesabaran, tetapi juga pelajaran muhasabah diri dan umat, terutama para pemim-pin. Dalam Islam, wabah/bencana bisa terjadi akibat kemaksiatan manusia. Tidak mengherankan para Khalifah sebagai kepala negara selalu mengajak rakyatnya untuk bertaubat, meninggal-kan kemungkaran. Perspektif ini nyaris tidak ada pada Presiden Jokowi dan pembantunya. Seolah kita negeri yang tak kenal agama. Bukankah saat di Madinah terjadi gempa bumi, Rasulullah saw. lalu meletakkan kedua tangannya di atas tanah dan berkata, Tenanglah. Belum datang saatnya bagimu.’’ Lalu Nabi saw. menoleh ke arah para Sahabat dan berkata, “Sungguh Rabb kalian menegur kalian. Karena itu jawablah (buatlah Allah ridha kepada kalian)!”
Alhasil, ketaatan dan tobat, dengan menjalankan seluruh syariah Islam, inilah satu-satunya solusi. Semua itu tentu membutuhkan kesungguh-sungguhan untuk memperjuangkan-nya. Sampai kapan, kita umat Islam, terjerumus dalam kondisi yang menyedihkan seperti ini. Padahal di depan kita ada pedoman hidup, yakni al-Quran dan as-Sunnah, yang sudah jelas-jelas merupakan solusi. Saatnya perubahan harus dilakukan. Bukan hanya sekadar perubahan rezim yang tidak amanah, tetapi juga perubahan dari sistem sekular yang kapitalistik yang bobrok dan tak berprikemanusiaan menjadi sistem Islam yang rahmatan lil alamin. Allahu Akbar! [Farid Wadjdi]
0 Comments