Dari Siapa Zakat Diambil? (Telaah Kitab Muqaddimah ad-Dustûr Pasal 143-Lanjutan)
Zakat diambil dari setiap Muslim yang memiliki harta, baik laki-laki maupun perempuan, berakal maupun gila, serta anak kecil maupun akil balig.
Dalil yang menunjukkan bahwa zakat diambil dari Muslim yang laki-laki maupun wanita tampak jelas dari keumuman nas. Adapun anak kecil atau orang gila disebabkan karena zakat adalah hak yang berkaitan dengan harta (al-mâl). Zakat adalah hak wajib dalam harta dari sisi harta itu sendiri. Atas dasar itu, setiap orang yang memiliki harta, baik anak kecil maupun orang gila, wajib diambil zakatnya. Allah SWT berfirman:
خُذۡ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡ صَدَقَةٗ تُطَهِّرُهُمۡ وَتُزَكِّيهِم بِهَا ١٠٣
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka. Dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka (QS at-Taubah [9]: 103).
وَٱلَّذِينَ فِيٓ أَمۡوَٰلِهِمۡ حَقّٞ مَّعۡلُومٞ ٢٤
Orang-orang yang di dalam harta mereka ada hak (QS al-Ma’arij [70]: 24).
Di dalam hadis disebutkan:
فَأَعْلِمُهُمْ أَنَّ اللهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ
Beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah SWT telah mewajibkan zakat kepada mereka di dalam harta-harta mereka (HR al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Abbas ra).
Di dalam hadits lain dituturkan tentang jawaban Nabi saw. atas pertanyaan laki-laki Arab:
وَذَكَرَ لَهُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ الزَّكَاةَ. قَالَ: هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا؟ قَالَ: لاَ، إِلاَّ أَنْ تَطَوَّعَ
Rasulullah saw. menyebutkan zakat kepada laki-laki itu. Lalu laki-laki itu bertanya, “Apakah ada kewajiban atas diriku selain zakat?” Rasulullah saw. menjawab, “Tidak, kecuali Anda mau mengeluarkan sedekah sunnah.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Nas-nas di atas menunjukkan bahwa kewajiban zakat berlaku atas harta saja, dari sisi harta itu sendiri, tanpa memandang keberadaan pemiliknya, mukallaf atau tidak. Setiap orang yang punya harta, maka hartanya wajib dizakati jika telah memenuhi ketentuan-ketentuannya.
Memang benar, Allah SWT mewajibkan atas seorang Muslim yang memiliki harta, hak-hak yang sangat banyak, dalam sifatnya sebagai orang yang memiliki harta maupun orang yang memiliki kekayaan berlimpah (kaya raya). Allah mewajibkan jihad dengan harta, memberi santunan kepada orang yang papa, memberi makan orang yang kelaparan, memberi nafkah kepada orang-orang yang berada di bawah tanggung jawabnya, dan lain sebagainya. Hanya saja, Allah tidak mewajibkan hak atas harta yang dimiliki seorang Muslim, melainkan hanya zakat. Allah SWT membatasi hak wajib atas harta hanya dengan zakat, dan menafikan hak-hak wajib lainnya atas harta.
Dengan demikian kewajiban zakat ditujukan atas harta, tanpa memandang siapa yang memiliki harta tersebut; berakal, akil baligh, gila, atau anak kecil. Jika anak kecil atau orang gila memiliki harta maka ditarik zakat dari hartanya.
Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah hadis yang dituturkan oleh ‘Amru bin Syuaib dari bapaknya, dari kakeknya, dari ‘Abdullah bin ‘Amru, bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
مَنْ وَلِيَ يَتِيْمًا لَهُ مَالٌ فَلْيَتَجِرْ فِيْهِ وَلاَ يَتْرُكْهُ حَتَّى تَأْكُلَهُ الصَّدَقَةُ
Siapa saja yang menjadi wali dari seoang anak yatim yang mempunyai harta, hendaklah dia perdagangkan hartanya buat anak itu, dan jangan dibiarkan sampai habis dimakan zakat (HR at-Tirmidzi dan Daruquthni).
Di dalam hadis ini terdapat perawi bernama Al-Mutsanna bin al-Shabbah yang masih diperbincangkan oleh ulama hadis. Hanya saja, ada riwayat senada dari ‘Amru bin Syuaib dari ‘Umar bin al-Khaththab ra secara mawqûf.
Dalam sebuah riwayat juga dituturkan, bahwa Aisyah ra. mengeluarkan zakat dari harta anak yatim yang berada di bawah asuhannya. Pendapat semacam ini juga dipegang oleh ‘Umar, Ali dan Ibnu Umar. Di kalangan fuqaha, pendapat ini juga dianut oleh Imam Malik, Syafi’i, Ahmad dan Ishaq.
Jika harta anak yatim wajib dikeluarkan zakatnya, padahal ia bukan mukallaf, begitu pula harta yang dimiliki oleh orang-orang yang tidak terkena taklif hukum, seperti orang gila.
Adapun poin keempat, zakat ditempatkan dalam pos khusus di Baitul Mal. Sebabnya, setiap harta yang kaum Muslim berhak di dalamnya dan pemiliknya tidak ditetapkan secara spesifik, maka harta tersebut menjadi bagian dari Baitul Mal. Begitu pula setiap hak yang wajib dipergunakan untuk kemaslahatan kaum Muslim, maka ia menjadi hak Baitul Mal.
Zakat, meskipun termasuk harta yang menjadi hak seluruh kaum Muslim, syariah telah menetapkan pemiliknya (orang yang berhak) secara spesifik. Allah SWT berfirman:
۞إِنَّمَا ٱلصَّدَقَٰتُ لِلۡفُقَرَآءِ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱلۡعَٰمِلِينَ عَلَيۡهَا وَٱلۡمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمۡ وَفِي ٱلرِّقَابِ وَٱلۡغَٰرِمِينَ وَفِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِۖ ٦٠
Sungguh zakat itu hanya untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para ‘amil, muallaf, budak, orang-orang berhutang, jihad fi sabilillah dan ibnu sabil (QS at-Taubah [9]: 60).
Selama zakat telah ditetapkan pos-posnya, yakni hanya diberikan kepada 8 golongan yang disebut oleh nas, maka zakat bukan termasuk hak Baitul Mal. Alasannya, zakat adalah harta yang pos-pos penerimanya telah ditetapkan oleh syariah, dan tidak boleh diberikan atau dimanfaatkan selain 8 golongan. Baitul Mal hanyalah tempat untuk menjaga dan menyimpan zakat, tetapi ia tidak berhak atas harta zakat. Sebabnya, hukum asal zakat diserahkan kepada Khalifah. Imam Ahmad menuturkan sebuah hadis dari Basyir bin al-Khashashiyyah bahwa pernah ada seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah saw.:
إِذَا أَدَيْتُ الزَّكاَةَ إِلَى رَسُوْلِكَ فَقَدْ بَرِئْتُ مِنْهَا اِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : نَعَمْ. إِذَا أَدَيْتَ اِلَى رَسُوْلِي قَقَدْ بَرِئْتَ مِنْهَا، فَلَكَ أَجْرُهَا وَإِثْمُهَا عَلَى مَنْ بَدَّلَهاَ
Jika aku menyerahkan zakat kepada utusanmu, apakah aku telah terbebas dari kewajiban zakat kepada Allah dan Rasul-Nya? Rasulullah saw. menjawab, “Ya. Jika engkau telah menyerahkan zakat kepada utusanku, sungguh engkau telah terbebas darinya. Engkau berhak mendapatkan pahala, sedangkan dosa bagi orang yang menggantinya.” (HR Ahmad, disahihkan oleh al-Haitsamiy dan Razin).
Riwayat ini, dan masih banyak riwayat lain, menunjukkan bahwa zakat diserahkan kepada Khalifah yang secara teknis bisa mengutus wali atau amil untuk memungutnya. Selanjutnya Khalifah menempatkan zakat pada pos tertentu di Baitul Mal dan menyalurkannya berdasarkan pendapat dan ijtihadnya. Oleh karena itu, Baitul Mal hanyalah sebagai tempat untuk menyimpan dan menampung zakat. Sebab, zakat wajib disalurkan hanya kepada pos-pos yang telah ditetapkan oleh nas.
Khalifah berwenang memberikan sanksi kepada siapa saja yang menunda penyerahan zakat. Hanya saja, Khalifah tidak berhak mengatur pengelolaan zakat berdasarkan pendapat dan ijtihadnya secara mutlak tanpa ada batasan. Namun, ia harus mengelola dan mengatur pengelolaan zakat berdasarkan batasan-batasan pada pos-pos yang berhak atas harta zakat. Zakat tidak boleh diserahkan pada selain 8 golongan yang telah ditetapkan oleh nas syariah.
WalLâhu a’lam bi ash-shawwâb. [Gus Syams]
0 Comments