Wahai Orang Yang Berselimut (2)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡمُزَّمِّلُ ١ قُمِ ٱلَّيۡلَ إِلَّا قَلِيلٗا ٢ نِّصۡفَهُۥٓ أَوِ ٱنقُصۡ مِنۡهُ قَلِيلًا ٣ أَوۡ زِدۡ عَلَيۡهِ وَرَتِّلِ ٱلۡقُرۡءَانَ تَرۡتِيلًا ٤
Wahai orang yang berselimut (Muhammad)! Bangunlah (untuk salat) pada malam hari, kecuali sebagian kecil, (yaitu) separuhnya atau kurang sedikit dari itu, atau lebih dari (seperdua) itu; dan bacalah al-Quran itu dengan perlahan-lahan (Tafsir QS al-Muzzammil [73] 1-4)
Allah SWT berfirman:
نِّصۡفَهُۥٓ أَوِ ٱنقُصۡ مِنۡهُ قَلِيلًا ٣ أَوۡ زِدۡ عَلَيۡهِ ٤
(Yaitu) separuhnya atau kurang sedikit dari itu
Kata نِصْفَه (separuhnya) di sini berkedudukan sebagai badal dari kata al-layl (malam hari).1 Maknanya adalah: قُمْ نِصْفَ اللَّيْلِ (shalatlah separuh malam).2 Dengan demikian, separuh waktu malam lainnya bisa digunakan untuk beristirahat dan tidur.
Allah SWT menyifati an-nishf (separuh waktu) malam yang digunakan untuk beristirahat dengan sebutan sedikit: إِلَّا قَلِيلًا memberitahukan bahwa an-nishf (separuh waktu) malam yang diisi dengan ibadah dan shalat merupakan an-nisf al-aktsar (separuh yang lebih banyak) dari aspek pahala dan taqarrub-nya kepada Allah SWT dibandingkan separuh lainnya yang digunakan untuk istirahat dan tidur.3
Dua huruf أَوْ di sini merupakan harf ‘athf (kata penghubung) yang berguna li al-takhyîr (untuk menunjukkan kebolehan memilih).4 Dhamîr al-hâ` pada kata مِنْه (darinya) dan kata عَلَيْهِ (atasnya) kembali pada kata النِصْف (separuh, setengah). Maknanya, “Shalatlah separuh malam, atau kurangi sedikit dari separuh hingga sepertiga, atau tambahi sedikit dari separuh hingga dua pertiga.”
Artinya, seolah-olah dikatakan, “Shalatlah dua pertiga malam, setengah, atau sepertiganya.”5
Dengan demikian, Allah SWT memberikan pilihan kepada beliau ketika mewajibkan shalat di antara waktu-waktu tersebut kapan pun beliau mau.6
Maknanya, “Berdirilah kamu untuk shalat dan beribadah pada setengah malam, atau kurang dari setengah malam, atau lebih dari setengah malam.”
Yang dimaksudkan adalah waktu untuk beribadahnya tidak kurang dari sepertiga malam dan tidak lebih dari dua pertiga malam.
Tentang hukum perintah mengerjakan shalat malam dalam ayat ini, terdapat perbedaan pendapat. Menurut Abu Hayyan al-Andalusi dan Ibnu ‘Athiyah, bahwa menurut jumhur perintah tersebut bersifat mandub atau sunnah.7
Ada juga yang berpendapat hukumnya wajib. Hanya saja, menurut sebagian, kewajiban tersebut khusus kepada Nabi saw. Sebagian mengatakan bahwa kewajiban terus berlaku bagi beliau hingga wafat. Menurut sebagian lainnya, kewajiban itu sudah di-nasakh sehingga ketika beliau wafat hukumnya mandub. Ada pula yang mengatakan bahwa kewajiban tersebut berlaku umum, namun kemudian di-nasakh.8
Juga terdapat perbedaan tentang ayat yang me-nasakh berlakunya hukum wajib tersebut. Ada yang mengatakan bahwa kewajiban tersebut berlaku sebelum shalat lima waktu diwajibkan. Kemudian di-nasakh dengannya.9 Di antara yang berpendapat demikian adalah Muqatil, Imam Syafii, dan Ibnu Kaisan. 10
Sebagian lainnya menyatakan bahwa ayat tersebut di-nasakh dengan ayat terakhir dalam surat ini.11 Dari Ibnu Abbas ra., dengan ayat ini Allah SWT memerintahkan Nabi-Nya dan kaum Mukmin untuk mengerjakan shalat malam kecuali sedikit. Kaum Mukmin merasa berat untuk mengerjakannya, lalu Allah SWT meringankan dan merahmati mereka, sehingga Dia menurunkan ayat berikutnya, yakni QS al-Muzzammil [73]: 20).12
Hal yang sama juga dikatakan Ibnu Abbas ra., bahwa jarak waktu antara permulaan fardhu tersebut dan nasakh-nya adalah satu tahun. Namun, dalam riwayat lainnya Ibnu Abbas mengatakan bahwa kewajiban tersebut di Makkah, kemudian di-nasakh di Madinah. Demikian juga jumlahnya, di-nasakh dengan shalat lima waktu.13
Menurut Said bin Jubair, rentang waktunya selama sepuluh tahun. 14
Kemudian Allah SWT berfirman:
وَرَتِّلِ ٱلۡقُرۡءَانَ تَرۡتِيلًا ٤
…dan bacalah al-Quran itu dengan perlahan-lahan.
Setelah perintah mengerjakan shalat, kemudian dilanjutkan dengan perintah untuk membaca al-Quran secara tartîl.
Kata رَتِّلْ adalah fi’l al-amr dari kata رتَّلَ – يُرتِّل- ترتيلا. Secara bahasa, kata التَّرْتِيل bermakna جَعْلُ الشَّيْءِ مُرَتَّلًا (membuat sesuatu menjadi murattal). Arti murattal adalah مُنَسَّقا مُنَظَّما (tertata rapi). Dalam perkataan mereka: ثَغْرٌ مُرَتَّل, maknanya: منظم الأسنان (gigi yang teratur), sebagian tidak berbenturan dengan sebagian yang lain.15
Ketika kata tersebut dikaitkan dengan al-Quran, yakni membacanya secara tartil maknanya adalah تلاوتَه وَتَأَ نَّق فيها ولم يعجل (membaguskan bacaannya [sesuai dengan tajwid], teratur dalam membacanya, dan tidak tergesa-gesa).16
Itu pula yang disampaikan para mufassir dalam menafsirkan ayat ini. Menurut adh-Dhahhak ayat ini bermakna, “Bacalah al-Quran huruf-perhuruf.” Demikian juga al-Zajjaj yang berkata, “Memperjelas semua bunyi huruf dan memenuhi tajwîd-nya secara benar.”17
Wahbah al-Zuhaili juga berkata, “Bacalah al-Quran dalam keadaan tenang dan mantap dalam membaca, dengan menjelaskan bacaan huruf-hurufnya di mana orang yang mendengar bisa menghitungnya.”18
Menurut Ibnu Katsir, selain dibaca perlahan, dianjurkan juga membaca al-Quran dengan suara yang indah. Dari al-Bara‘ bin ‘Azib ra.:
زَيِّنُوا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ
Hiasilah al-Quran dengan suara kalian! (HR Ahmad, Abu Dawud, al-Nasa’i dan Ibnu Majah).
Dari Abu Hurairah ra:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآنِ
Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak melagukan bacaan al-Quran (HR al-Bukhari, Abu Dawud, Ahmad dan al-Darimi).
Rasulullah saw. pernah bersabda setelah mendengar suara Abu Musa al-Asy’ari membaca al-Quran:
يَا أَبَا مُوسَى لَقَدْ أُوتِيتَ مِزْمَارًا مِنْ مَزَامِ ير آ ل دَاوُدَ
Sungguh orang ini telah dianugerahi suara yang indah seperti suara seruling keluarga Daud (HR al-Bukhari).
Membaca dengan tartil ini mengandung beberapa faedah. Ibnu Asyur mengatakan bahwa faedahnya adalah untuk mengokohkan hapalan dan membuat pendengar dapat menerimanya. Dengan itu hapalan mereka jadi melekat serta pembaca dan pendengarnya dapat men-tadabburi-nya (memikirkan dan merenungkan) maknanya.19
Oleh karena itu, perintah membaca al-Quran secara tartil ini juga mengandung makna bahwa membacanya dengan merenungkan kandungan isinya. Asy-Syaukani berkata, “Artinya. bacalah al-Quran secara perlahan disertai dengan merenungkannya.”20
Abdurrahman as-Sa’di juga berkata, “Karena membaca al-Quran dengan tartîl bisa mendatangkan perenungan, pemikiran, menggerakkan kalbu, beribadah dengan ayat-ayat-Nya, dan kesiapan yang sempurna untuk itu.”21
Pengertian senada juga disampaikan oleh para mufassir lainnya, seperti Muhammad al-Amin al-Harari, Wahbah al-Zuhaili, dan lain-lain.22
Perintah membaca al-Quran secara tartil ini disebutkan setelah perintah mendirikan shalat malam. Karena itu ada yang memahami bahwa Allah SWT memerintahkan Nabi-Nya untuk mendirikan shalat malam dengan membaca al-Quran secara tartil. Muhammad Ali ash-Shabuni berkata, “Bacalah al-Quran pada saat kamu Qiyâm-ul-Lail dengan bacaan perlahan untuk membantumu dalam memahami al-Quran dan merenunginya.”23
Perintah tersebut juga berlaku bagi umatnya. Sebab, khithâb atau seruan kepada Rasulullah saw. juga seruan bagi umatnya. Rasulullah saw juga memerintahkan umatnya untuk melakukannya. Dari Abdullah bin Amru, Rasulullah saw. bersabda:
يُقَالُ لِصَاحِب الْقُرْآنِ اقْرَأْ وَارْتَقِ وَرَتِّلْ كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ فِى الدُّنْيَا فَإِنَّ مَنْزِلَكَ عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ تَقْرَؤُهَا
Dikatakan kepada pembaca al-Qur’an, acalah dan naiklah; jangan tergesa-gesa sebagaimana engkan membacanya dengan tartil sewaktu di dunia, karena sesungguhnya kedudukanmu berada di akhir ayat yang kamu baca (HR Abu Dawud dan al-Tirmidzi).
Dalam ayat ini, perintah membaca al-Quran secara tartil ditegaskan dengan al-maf’ûl al-muthlaq. Ini menegaskan sifat at-tartîl.24
Fakhruddin al-Razi juga mengatakan bahwa penyebutan kata تَرْتِيلً tersebut berguna sebagai ta‘kîd (penegasan) dalam kewajiban perintah tersebut dan itu merupakan keharusan bagi pembaca.25
Beberapa Pelajaran Penting
Dalam ayat ini terdapat banyak pelajaran dapat diambil. Di antaranya adalah: Pertama, panggilan kepada Nabi saw. Dalam ayat ini, Allah SWT memanggil Rasulullah saw. dengan panggilan al-muzzammil. Sebagaimana telah diterangkan, sebutan tersebut tidak termasuk nama beliau. Akan tetapi, beliau dipanggil demikian sesuai dengan keadaan yang terjadi pada beliau: ketika beliau dalam keadaan berselimut sehingga beliau pun dipanggil dengan panggilan al-muzzammil (orang yang berselimut).
Sebagaimana juga telah diterangkan, dalam bahasa Arab panggilan yang diambilkan dari keadaan yang dialami seseorang berguna untuk menunjukkan kelembutan, kedekatan, keramahan dan kasih sayang. Itu pula yang dapat dipahami dari panggilan al-muzzammil kepada Rasulullah saw. dalam ayat ini.
Ini juga harus menjadi pelajaran bagi kaum Muslim, bahwa dalam memanggil Rasulullah saw. dan menyebut namanya harus menunjukkan penghormatan dan pengagungan kepada beliau. Tidak boleh memanggil dengan panggilan dengan tidak sopan dan terkesan meremehkan atau merendahkan. Bahkan, menyamakan panggilan kepada beliau dengan sesama kaum Muslim pun dilarang (Lihat: QS an-Nur [24]: 63).
Terdapat beberapa makna ayat tersebut. Di antara makananya adalah tidak memanggil Nabi saw. dengan panggil yang biasa dilakukan kepada temannya. Ad-Dahhak telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa dulu mereka mengatakan, “Wahai Muhammad, wahai Abul Qasim!” Kemudian Allah SWT melarang mereka melakukan hal tersebut sebagai penghormatan kepada Nabi-Nya. Lalu mereka pun berkata, “Wahai Rasulullah, wahai Nabi Allah.” Penjelasan yang sama telah dikemukakan oleh Mujahid dan Said ibnu Jubair. Qatadah berkata, “Allah SWT memerintahkan demikian agar Nabi-Nya disegani, dihormati, dimuliakan dan dianggap sebagai pemimpin (mereka).”26
Malik telah meriwayatkan dari Zaid ibnu Aslam tentang ayat ini (QS an-Nur [24]: 63) bahwa Allah SWT memerintahkan kepada mereka agar memuliakannya.27
Kedua, perintah shalat malam dan keutamaannya. Berdasarkan ayat ini umat Islam diwajibkan untuk mendirikan shalat malam. Perintah wajib itu kemudian di-nasakh menjadi sunnah bagi umatnya. Itu artinya, umat Islam tetap diperintahkan untuk mengerjakannya. Hanya saja, perintah itu ghayr jâzim (tidak tegas) sehingga jika meninggalkannya tidak mendapatkan dosa. Akan tetapi, dia telah meninggalkan banyak keutamaan. Sebab, shalat tersebut memiliki banyak keutamaan.
Dalam hadits Nabi saw dengan jelas disebutkan bahwa shalat selain wajib adalah shalat malam. Sangat banyak dalil yang memberikan pujian dan balasan kebaikan kepada pelakunya (Lihat, misalnya: adz-Dzariyat [51]: 17-18).
Ketiga, perintah membaca al-Quran dengan tartil, yakni dengan pelan-pelan dan tidak terburu-buru, jelas setiap huruf dan harakatnya, dan memanjangkan bacaan mad-nya, serta memperindah bacaannya.
Membaca dengan tartil tersebut memiliki banyak faedah dan manfaat. Di antaranya adalah dapat men-tadabburi ayat-ayatnya, menghadirkan hati ketika membacanya, dan menghadirkan rasa takut kepada Allah SWT. Perintah untuk men-tadabburi al-Quran juga disebutkan dalam beberapa ayat (Lihat, misalnya: QS al-Nisa‘ [4]: 82).
Semoga kita bisa mengerjakannya. WalLâh a’lam bi al-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]
Catatan kaki:
1 Lihat Abu Bilal, al-Mujtabâ min Musykil I’râb al-Qur‘ân, vol. 4, 1380/; al-Da’as, I’râb al-Qur‘ân, vol. 4 (Damaskus: Dar al-Munir, 2004), 394
2 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 678
3 Sayyid Thanthawi, al-Tafsîr al-Wasît li al-Qur‘ân al-Karîm, vol. 15 (Kairo: Dar al-Nahdhah, 1998), 1632. Lihat juga al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 30, 344
4 Mahmud Shafi, al-Jadwâl fî I’râb al-Qur‘ân, vol. 29 (Damaskus: Dar al-Rasyid, 1998), 131
5 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 35. Lihat juga al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 355; al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 30, 345
6 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 678
7 Ibnu ‘Athiyah, al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz, vol. 5, 386; Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, 10, 312
8 Ibnu ‘Athiyah, al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz, vol. 5, 386. Lihat al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 34
9 al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 681; al-Syaukani, Fath al-adîr, vol. 5, 379
10 al-Syaukani, Fath al-adîr, vol. 5, 379
11 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 679
12 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 679; al-Syaukani, Fath al-adîr, vol. 5, 379
13 al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 681
14 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 679
15 Sayyid Thanthawi, al-Tafsîr al-Wasît li al-Qur‘ân al-Karîm, vol. 15 (Kairo: Dar al-Nahdhah, 1998), 155
16 Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’âshirah, vol. 2, 855
17 al-Syaukani, Fath al-adîr, vol. 5 (Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, tt), 379
18 al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 190
19 Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 260
20 al-Syaukani, Fath al-adîr, vol. 5, 379
21 al-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahman fî Tafsîr Kalâm al-Mannân (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 893
22 al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 30, 346; al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 192
23 al-Shabuni, Shafwat al-Tafâsîr, 3,
24 Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 260
25 al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 683. Lihat juga al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 192
26 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 6, 88. Lihat juga al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 12, 322
27 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 6, 88.
0 Comments