Menyoal RUU KIA
Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) resmi ditetapkan menjadi RUU inisiatif DPR dalam Rapat Paripurna DPR RI (30/6/2022). Kesembilan fraksi menyetujui RUU KIA untuk ditetapkan menjadi usulan DPR RI. Ketua DPR RI Puan Maharani mengatakan bahwa RUU KIA ini hadir sebagai harapan agar anak-anak kita sebagai penerus bangsa bisa mendapat proses tumbuh kembang yang optimal. Menjadi tugas negara untuk memastikan generasi penerus bertumbuh menjadi SDM yang dapat membawa bangsa ini semakin hebat. Anggota Komisi XI DPR yang juga sebagai Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Willy Aditya mengatakan RUU KIA sangat penting untuk menunjukkan bahwa negara hadir mewujudkan kesejahteraan ibu dan anak.1
Berbagai pihak mendukung RUU KIA. RUU ini dipandang banyak memberikan hak perempuan dan anak sehingga akan mampu mewujudkan kesejahteraan ibu dan anak. Pengesahan RUU KIA diharapkan dapat menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut sehingga kesejahteraan ibu dan anak dapat segera terwujud nyata.
Namun, benarkah RUU KIA akan menyelesaikan berbagai persoalan ibu dan anak? Akankah kesejahteraan ibu dan anak akan terwujud nyata dengan pengesahan RUU KIA ini?
Jaminan Kesejahteraan
Di antara isi RUU KIA yang dianggap sebagai angin segar bagi perwujudan kesejahteraan ibu dan anak adalah adanya usulan cuti melahirkan paling sedikit 6 bulan dengan tetap mendapat gaji penuh pada 3 bulan pertama dan setelahnya mendapat upah 75 persen.
Kemudian ibu mendapatkan waktu istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan jika mengalami keguguran. Hak cuti ini ditegaskan kembali dengan adanya pasal yang menyatakan bahwa ibu yang cuti melahirkan atau istirahat karena keguguran tidak boleh dapat diberhentikan dari pekerjaannya dan tetap memperoleh haknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan (Pasal 5 ayat (1).
Ketentuan lain yang juga dianggap sebagai angin segar dukungan terhadap ibu adalah suami berhak cuti 40 hari bila istri melahirkan dan 7 hari jika istri mengalami keguguran.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai, ketentuan cuti melahirkan enam bulan adalah ketentuan yang ideal agar ibu yang baru melahirkan memiliki kesehatan mental dan fisik yang baik dan anak pun bisa terjaga dan terawat dengan baik. Cuti 6 bulan juga dianggap berdampak positif bagi keterikatan ibu dan bayi, menurunkan risiko kematian bayi dan meningkatkan keberhasilan lama masa menyusui.2
Komnas Perempuan juga mengapresiasi RUU KIA sebagai bagian dari upaya menguatkan hak maternitas perempuan. Apalagi pemenuhan hak maternitas ini dianggap berpaut erat dengan hak-hak fundamental lainnya, yaitu hak atas kesehatan termasuk kesehatan reproduksi dan hak atas kerja layak.3
Ilusi
RUU KIA seolah menjanjikan kesejahteraan secara nyata ketika menjelaskan kesejahteraan yang hendak diwujudkan. Yang dimaksud kesejahteraan ibu adalah kesejahteraan ibu sejak saat mempersiapkan kehamilan, saat kehamilan, saat melahirkan dan pasca melahirkan. Kesejahteraan Anak adalah sejak dalam kandungan maupun setelah dilahirkan. Sungguh ini adalah narasi yang memberikan harapan besar.
Padahal faktanya, RUU KIA hanya peduli pada ibu dan anak selama 6 bulan saja. Betul. Dalam RUU KIA ada pasal yang menetapkan bahwa para ibu berhak mendapatkan cuti yang diperlukan untuk kepentingan terbaik bagi anak. Bahkan ibu dan anak dijamin untuk mendapat kemudahan dalam menggunakan fasilitas, sarana dan prasarana umum di tempat kerja, tempat umum, dan alat transportasi umum.
Namun, sejatinya kesejahteraan yang dicita-citakan oleh RUU KIA hanyalah harapan palsu. Bukankah RUU ini menuntut ibu tetap bekerja demi memenuhi nafkah keluarga? Padahal bekerjanya ibu akan mengakibatkan pengasuhan terbaik ibu jelas tidak mungkin terwujud. Apalagi untuk mencegah anak menjadi stunting perlu perhatian khusus dalam 1000 hari pertama kehidupan (HPK) atau 2 tahun! Bukankah selama ini pola pengasuhan yang salah disebutkan sebagai penyebab tingginya stunting? Lantas bagaimana anak mendapatkan pengasuhan yang tepat jika pengasuhan terbaik dari ibu hanya didapatkan selama 6 bulan saja?
Betul ibu diberi kemudahan untuk mendapatkan cuti yang diperlukan untuk kepentingan terbaik bagi anak. Begitu juga dalam menggunakan fasilitas, sarana dan prasarana di tempat kerja; termasuk memberikan waktu dan tempat untuk memberikan ASI, bahkan mungkin adanya ‘daycare’. Namun, bukankah semua itu justru semakin menunjukkan bahwa ibu tak mungkin fokus pada buah hati? Bahkan ini menjadi bukti adanya perhatian yang terbagi antara anak dan pekerjaan. Jelas ini kontra produktif terwujudnya tumbuh kembang anak yang optimal!
Bukankah hal ini dapat memperbesar risiko terjadinya stunting? Apalagi anak juga akan berhadapan dengan ancaman kualitas udara yang buruk yang bahkan berisiko membuat anak sakit. Kondisi Indonesia sebagai negara tertinggi ke tiga di dunia dalam jumlah penderita TBC, jelas akan memberikan peningkatan risiko anak terpapar infeksi TBC. Demikian juga meningkatnya jumlah perokok di Indonesia. Infeksi pada anak jelas akan meningkatkan risiko terjadinya stunting pada anak. Mengajak anak di tempat kerja justru kontraproduktif terhadap pencegahan stunting, Alih-alih mencegah terjadinya stunting, yang ada justru makin bertambah jumlah anak yang menderita stunting. Alih-alih anak makin sejahtera, yang terjadi justru makin bertambah penderita stunting.
Adanya berbagai bahaya yang mengancam tumbuh kembang anak jelas akan membuat ibu khawatir. Bahkan kesulitan hidup saat ini—mahalnya harga sembako, hilangnya berbagai subsidi dan lain-lain—membuat ibu berisiko mendapatkan “multiple burden”. Tekanan mental ini membahayakan ibu dalam memberikan pengasuhan terbaik untuk anaknya. Kondisi ini jelas kontra produktif dengan tujuan dari usul RUU KIA, yang ingin menjamin kesejahteraan ibu. Banyaknya kasus ibu membunuh anak kandungnya sendiri adalah bukti nyata lemahnya mental ibu.
Sementara itu, belum ada jaminan bahwa tanggung jawab pembiayaan dan penyelenggaraan kesejahteraan ibu dan anak akan terpenuhi oleh Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah. Faktanya selama ini, Indonesia hampir 77 tahun merdeka, kesejahteraan ibu dan anak pun belum terwujud. Meski sudah berjalan hampir 10 tahun, pemberantasan stunting belum ada perubahan nyata, bahkan masih peringkat 4 terbanyak di dunia, dan ke dua se Asia Tenggara.
Di sisi lain, utang terus bertambah, angka korupsi terus saja melaju, dan kemiskinan tidak banyak berkurang. Sumberdaya alam yang luar biasa ternyata tidak menjanjikan kesejahteraan rakyat. Semua ini menunjukkan bahwa sistem ekonomi yang diterapkan tidak menjanjikan adanya kesejahteraan. Bagaimana kita bisa berharap terwujud kesejahteraan ibu dan anak bila sistem ekonomi yang diterapkan tetap sama, yaitu sistem ekonomi kapitalis? Apalagi sistem ekonomi kapitalis meniscayakan hukum rimba. Siapa yang kuat dialah yang menang dan bertahan bahkan mendominasi. Jadi bagaimana mungkin RUU KIA mampu mewujudkan kesejahteraan ibu dan anak tanpa ada perubahan mendasar pada tata kelola kehidupan termasuk perubahan sistem ekonominya?
Hanya dengan Islam
Hanya Islam yang mampu mewujudkan kesejahteraan ibu dan anak, bahkan tanpa mewajibkan perempuan bekerja. Islam mewajibkan negara untuk menjaga peran strategis perempuan sebagai ibu, pengatur rumah tangga dan juga ibu generasi. Meski Islam membolehkan perempuan bekerja, Islam tidak menjadikan perempuan sebagai penanggung nafkah dan penyangga pilar ekonomi negara. Jaminan Islam atas kesejahteraan dan perlindungan untuk Ibu dan anak hanya akan terwujud dalam negara Khilafah Islamiyah yang menerapkan Islam secara kâffah. Islam menjadikan sumberdaya alam sebagai milik umat yang wajib dikelola oleh negara untuk mensejahterakan rakyat. Sistem ekonomi Islam akan menjadikan hidup sejahtera nyata adanya.
Islam memastikan setiap rakyat, individu-perindividu, termasuk perempuan dan anak, terpenuhi kebutuhan pokoknya, juga kebutuhannya akan layanan pendidikan dan kesehatan yang optimal. Khalifah Umar telah memberikan contoh nyata betapa Islam sangat peduli terhadap kesejahteraan anak. Khalifah Umar mengubah kebijakannya dengan memberikan santunan kepada semua bayi yang baru lahir. Kebijakan baru ini merupakan koreksi atas kebijakan sebelumnya yang menetapkan santunan hanya bagi bayi yang sudah disapih saja, karena menyebabkan para ibu mempercepat usia penyapihan demi mendapatkan tunjangan dari Khalifah untuk meringankan beban hidup mereka. Perubahan kebijakan dilakukan Khalifah Umar demi menjaga dan melindungi anak-anak dan juga menyenangkan hati para ibu yang sedang menyusui. Sungguh teladan mulia seorang khalifah terhadap rakyatnya, yang mengurus rakyat dengan penuh tanggung jawab dan amanah.
Jaminan nyata ini mustahil diwujudkan oleh negara kapitalis manapun. Kalaupun seandainya ada yang bisa mewujudkan, pastilah tanpa keberkahan. Padahal keberkahan adalah hal penting yang harus ada dalam kehidupan seorang Muslim. Keberkahan hanya akan didapatkan ketika menerapkan aturan Allah secara kâffah. Dengan demikian nyatalah jika hanya Islam yang menjamin kesejahteraan ibu dan anak.
WalLâhu a’lam bi ash-shawwâb. [Arum Harjanti]
Catatan kaki:
0 Comments