Istiqamah di Era Fitnah

“Aku mewasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat, walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak dari negeri Habasyah (Ethiopia). Siapa saja yang hidup lebih lama di antara kalian, ia akan melihat perselisihan yang banyak. Karena itu hendaknya kalian berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang diberi petunjuk oleh Allah. Gigitlah Sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian. Berhati-hatilah kalian dari perkara yang baru (dalam agama) karena setiap perkara baru dalam agama adalah sesat.” (HR an-Nasai dan at-Tirmidzi).

 

Era banjir informasi hari ini ditandai dengan maraknya media social. Siapa saja bisa menjadi pembuat berita atau pemberi informasi, termasuk di dalamnya informasi tentang Islam. Berbagai hukum, ide dan pemahaman bisa disebarkan oleh siapa saja. Bisa diakses oleh siapapun. Boleh jadi kondisi ini memunculkan kebingungan di tengah umat. Pendapat dan hukum mana yang benar dan mana yang tidak. Untuk itu penting bagi kita mempunyai standar untuk menyaring informasi agar tak sesat jalan.

Rasulullah saw. bersabda, “Berhati-hatilah kalian dari perkara yang baru (dalam agama) karena setiap perkara baru dalam agama adalah kesesatan.” Beliau jauh-jauh hari telah mengingatkan kita bahwa akan banyak muhdatsât. Mereka yang mengada-ada dalam perkara agama. Mereka menetapkan hukum tidak dengan metode yang diwariskan Rasulullah saw. kepada sahabat dan umat Islam, termasuk hukum-hukum yang mengatur tentang posisi, tugas dan peran Muslimah dalam Islam.

 

Modernisasi Muslimah

Kesan bahwa Muslimah masih banyak yang belum maju menuju peradaban modern karena terikat hukum Islam masih menjadi isu hangat yang dipersoalkan. Adanya batasan-batasan syariah terhadap penampilan, pakaian, profesi dan aktivitas lainnya adalah hambatan bagi mereka. Menjadi istri dan ibu saja, tanpa bergaul di dunia politik dan ekonomi, adalah profil perempuan ‘tradisionil’ terlindas zaman. Remaja putri yang mengikuti kajian keislaman dicap sebagai ekstremis. Mereka yang menolak modernitas pergaulan dianggap kuno.

Logika ini tak urung diamini oleh Muslimah. Sedikit contoh, banyak ajang kontes perempuan diikuti oleh Muslimah yang berkerudung. Baik untuk modeling, kemampuan bermusik dan lain-lain. Seolah tidak ada yang salah dengan fenomena ini. Justru seperti itulah perempuan sukses dan mulia. Tetap menjalankan syariah (menutup aurat) dan eksis dalam modernitas. Namun, benarkah demikian? Apakah kemunculan kelompok remaja Muslim yang mengambil genre musik gambus, menjadi penyanyi bertema religius yang kali ini cukup menyita perhatian remaja, seolah menjadi alternatif profil remaja positif ditengah kelamnya dunia remaja dengan kebebasannya? Apakah maraknya sinetron islami dengan aktrisnya yang menutup aurat sebagai oase di kegersangan peradaban? Sekali lagi, benarkah demikian?

Agar tak tampak kumuh dengan model kerudung panjang dan gelap, diciptakanlah berbagai ragam model kerudung modern. Juga dengan gamis atau jilbab, dengan ragam dan model. Jika distandarkan pada dalil syariah pada al-Quran surat al-Ahzab dan an-Nur maka kerudung dan jilbab yang dikatakan modern itu tidak memenuhi standar. Pasalnya, merujuk pada kedua ayat tersebut, jilbab mesti berupa satu pieces pakaian yang longgar dan menjulur hingga batas kaki, sementara kerudung (khimar) mesti menutupi kepala hingga bawah dada. Faktanya, Muslimah hari ini, meski berpakaian, tetapi tetap memperlihatkan bentuk tubuhnya. Tentu tidak boleh kita mengatakan itu sudah cukup; yang penting menutup aurat. Sikap ini termasuk mengada-ada dalam perkara agama.

Begitu pula dengan dunia musik. Tidak cukup bergembira dengan adanya fenomena itu. Pasalnya, banyak pelanggaran hukum syariah di sana. Ada interaksi intens laki-laki dan perempuan. Ada campur baur penonton laki-laki dan perempuan. Demikian seterusnya.

Jelas ini bertentangan dengan syariah Islam yang menetapkan bahwa laki-laki dan perempuan mesti terpisah, kecuali dalam aktivitas yang dibenarkan oleh syariah, seperti jual-beli, pengobatan, upah-mengupah. Sebaliknya, menonton konser musik bukan termasuk pertemuan laki-laki dan perempuan yang oleh diizinkan syariah.

Fenomena negeri Arab—yang akhir-akhir ini membolehkan perempuan untuk kumpul bersama laki-laki di stadion olah raga atau tempat konser musik—bukan standar pembenaran aktivitas tersebut bagi Muslim lain. Seolah mereka menjadi modern dan maju. Padahal itu adalah simbol liberalisasi yang mengangkangi agama.

Semestinya kita harus bersedih dengan fenomena modernitas yang melanggar ketentuan agama. Apalagi ini menjadi fenomena di tengah umat Islam. Dengan mudahnya liberalisasi ini menyebar di era digital hari ini, menyasar umat yang masih lemah keyakinan dan keterikatannya dengan hukum syariah.

Di sisi lain, ada sekelompok perempuan yang menyebut dirinya ulama perempuan. Mereka berdalil bahwa jika perempuan menjalankan syariah agama dengan penafsiran para laki-laki, maka perempuan ini akan mengikuti keinginan para laki-laki. Mereka akan terkekang, fokus pada peran domestik saja, sehingga menjadi bodoh dan miskin. Penafsiran laki-lakilah juga yang mengharuskan ketaatan mutlak istri pada suaminya. Jika tidak taat maka suami berhak memukul istrinya. Menurut mereka, inilah sumber kekerasan dalam rumah tangga, Termasuk poligami, jika ditafsirkan laki-laki, hukumnya seolah menjadi wajib bagi laki-laki. Padahal menurut mereka, poligami adalah bentuk kekerasan atas perempuan.

Karena itulah, menurut mereka, perlu ada ulama perempuan yang menafsirkan dalil dengan perspektif perempuan. Pendapat mereka ini hakikatnya bersumber dari cara pandang liberal. Mereka membenarkan akal untuk menyikapi dan menyelesaikan persoalan. Fakta adanya praktik keliru pada beberapa Muslim dalam menjalankan hukum Islam (misal ada KDRT, ketidakadilan dalam praktik poligami) menjadi kesimpulan bahwa ada yang salah dalam penafsiran. Karena itu agar kaum perempuan tidak terus-menerus menjadi korban, mereka harus mempunyai status sosial yang tinggi dan penghasilan yang memadai. Dengan itu mereka bisa setara dengan laki-laki dan tidak bergantung nafkahnya pada laki-laki.

Begitu juga dengan fenomena remaja Muslim yang massif diarahkan pada pemberdayaan ekonomi semata. Tak memperhatikan pembinaan keislaman mereka. Ada label ekstrem bagi remaja yang aktif kajian. Ini hakikatnya adalah liberalisasi remaja. Tentu liberalisasi tidak melulu dimaknai dengan kemaksiatan. Liberalisasi juga mencakup pandangan yang melihat bahwa agama sebagai sumber kemunduran. Orientasi mereka hanya pada perkara duniawi. Sekadar sukses harta dan posisi. Ini adalah bentuk liberalisasi pemikiran. Padahal sejatinya remaja adalah calon pemimpin masa depan, pejuang dan pembela Islam, dan bukan menjadi aset ekonomi semata.

 

Konsisten dengan Ideologi Islam

Boleh jadi, sikap kita yang mendudukan fenomena modernitas Muslim saat ini sebagai bentuk liberalisasi, tidak disetujui oleh Muslim lainnya. Kita dianggap tidak berempati dengan kemajuan. Tidak suka modernitas.

Padahal Islam punya world view yang khas. Perkembangan peradaban manusia harus dilihat dengan kacamata syariah yang diyakini fleksibitas hukumnya dengan metode yang benar. Boleh jadi kita disebut kuno, tradisional dan jumud, mengunci diri pada hukum Islam. Namun demikian, kita tidak boleh emosi ataupun sedih. Sejatinya mereka itulah yang tidak paham dengan karakter syariah Islam yang sempurna dan menyeluruh. Syariah hadir sebagai pengatur segala kepentingan umat manusia dan memberi solusi atas setiap persoalan yang muncul.

Mereka yang konsisten dengan hukum Islam yang digali dengan metode yang benar—yang menjadikan al-Quran, as-Sunnah, Ijmak dan Qiyas sebagai sumbernya—memang disifati dengan orang-orang asing yang datang di era fitnah, di penghujung masa. Namun, berbahagialah karena Rasulullah saw. dalam sabdanya menjelaskan bahwa orang-orang asing itulah yang berbahagia di dunia dan juga nanti di akhirat. Karena itu konsistenlah dengan kebenaran di era yang penuh fitnah, karena kitalah yang beruntung.

إِنَّ الدِّيْنَ بَدَأَ غَرِيْبًا وَيَرْجِعُ غَرِيْبًا فَطُوْبَى لِلْغُرَبَاءِ, اَلَّذِيْنَ يَصْلِحُوْنَ مَا أَفْسَدَ النَّاسُ مِنْ بَعْدِي مِنْ سُنَّتِي

“Sungguh Islam muncul dalam keadaan asing dan akan kembali asing seperti saat kemunculannya. Karena itulah beruntunglah orang-orang yang terasing.” Seseorang bertanya, “Siapakah orang-orang yang asing itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang-orang yang selalu melakukan perbaikan saat manusia merusak sunnah-sunnahku.” (HR at-Tirmidzi).

 

WalLâhu a’lam. [Ratu Erma R.]


0 Comments

Leave a Comment

one × four =

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Lost Password