Syubhat Kebolehan Penyewaan Lahan Pertanian
كُنَّا أَكْثَرَ أَهْلِ المدِينَةِ مُزْدَرَعًا، كُنَّا نُكْرِي الأَرْضَ بالنَّاحِيَةِ مِنْهَا مُسَمًّى لِسَيِّدِ الأَرْضِ، قَالَ: فَمِمَّا يُصَابُ ذَلِكَ وَتَسْلَمُ الأَرْضُ، وَمِمَّا يُصَابُ الأَرْضُ وَيَسْلَمُ ذَلِكَ، فَنُهِينَا، وَأَمَّا الذَّهَبُ وَالوَرِقُ فَلَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ
“Kami adalah penduduk Madinah yang paling banyak lahan pertaniannya. Kami menyewakan tanah dengan (hasil) bagian tertentu untuk pemilik tanah.” Ia berkata, “Dari hasil bagian tertentu itu ketika terserang hama dan sisanya selamat; juga ketika tanah yang lain terkena hama, sedangkan bagian itu selamat. Lalu kami dilarang. Adapun emas dan perak maka belum ada ketika itu.” (HR al-Bukhari nomor 2327).
Imam al-Bukhari meriwayatkan hadis ini pada bab Qath’u asy-Syajar wa an-Nakhli dari jalur Hanzhalah bin Qays al-Anshari yang mendengar Rafi’ bin Khadij berkata: … (matan hadis di atas).
Badruddin al-‘Ayni (w. 855 H) di dalam ‘Umdatu al-Qârî Syarhu Shahîh al-Bukhârî menjelaskan, makna fa mimmâ yushâbu dzalika wa taslamu al-ardhu yakni: Musibah menimpa bagian itu dan menjadi terserang hama sehingga bagian itu rusak, sedangkan tanah sisanya selamat. Kadang sebaliknya. Itu adalah makna sabda beliau: yushâbu al-ardhu wa yaslamu dzâlika, yakni sebagian itu. Artinya, sewanya adalah hasil bagian tertentu itu. Berapa pun hasilnya. Banyak atau sedikit. Bahkan tidak ada.
Hadis ini juga diriwayatkan dari jalur Hanzhalah bin Qays al-Anshari yang berkata: “Aku pernah bertanya kepada Rafi’ bin Khadij tentang penyewaan tanah (kirâ`u al-ardhi) dengan emas dan perak.” Lalu ia berkata:
لاَ بَأْسَ بِهِ، إِنَّمَا كَانَ النَّاسُ يُؤَاجِرُونَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمَاذيانات، وَأَقْبَالِ الْجَدَاوِلِ، وَأَشْيَاء مِنَ الزَّرْعِ، فَيَهْلِكُ هَذَا، وَيَسْلَمُ هَذَا، وَيَسْلَمُ هَذَا، وَيَهْلِكُ هَذَا، فَلَمْ يَكُنْ لِلنَّاس كِرَاءٌ إِلَّا هَذَا، فَلِذَلِكَ زَجَرَ عَنْهُ، فَأَمَّا شَيْءٌ مَعْلُومٌ مَضْمُونٌ، فَلَا بَأْسَ بِهِ
Tidak apa-apa. Sesungguhnya orang-orang menyewakan (tanah) pada masa Rasulullah saw. atas al-mâdziyânât dan aqbâl al-jadâwil dan sesuatu dari tanaman. Lalu yang ini rusak dan yang ini selamat. Sebaliknya, yang ini selamat dan yang ini rusak. Tidak ada penyewaan untuk orang-orang selain ini. Lalu Rasulullah saw. melarang hal demikian. Adapun sesuatu yang jelas dan terjamin maka tidak apa-apa.” (HR Muslim, no. 2202; Abu Dawud, no. 3392; dan an-Nasai, no. 3899).
Al-Mâdziyânât adalah saluran air atau apa yang tumbuh di sekitar saluan air. Aqbâl al-jadâwil, aqbâl adalah awal, dan al-jadâwil adalah bentuk jamak dari jadwal, yaitu anak sungai atau saluran air. Maknanya, penyewa lahan itu mendapatkan hasil dari bagian tanah tertentu atau sebagian tanaman tertentu, berapapun hasilnya apakah banyak, sedikit atau bahkan tidak ada hasilnya.
Di dalam dua riwayat ini, dapat dipahami bahwa Rasul saw. melarang al-mukhâbarah atau al-muzâra‘ah atau penyewaah lahan dengan hasil dari bagian tertentu dari tanah yang disewakan; baik hasil bagian itu banyak, sedikit atau bahkan tidak ada karena terserang hama.
Lafal falidzâlika zajara ‘anhu (Lalu Rasulullah saw. melarang hal demikian) mengindikasikan sebab atau ‘illat pelarangan itu, yaitu ketidakjelasan imbalan. Hanya saja, dapat dipahami dari redaksi riwayat di atas bahwa itu adalah pemahaman Rafi’ bin Khadij. Tidak ada nas berupa ucapan Rasul saw. yang menyatakan sebab atau ‘illat larangan penyewaan lahan. Karena merupakan pemahaman Rafi’ bin Khadij, maka itu bukanlah dalil. Sebabnya, ucapan atau pemahaman Sahabat bukan dalil syariah.
Berdasarkan pemahaman itulah, Rafi’ bin Khadij menyatakan, “fa ammâ syay`un ma’lûmun madhmûnun falâ ba`sa bihi (Adapun sesuatu yang jelas dan dijamin maka tidak apa-apa).” Ini juga merupakan ucapan Rafi’ bin Khadij dan bukan hadis. Jadi tidak dapat dijadikan dalil. Apalagi ini menyalahi riwayat Usaid bin Zhuhair:
نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كِرَاء الْأَرْضِ، قلنا: يا رَسُولَ اللهِ إِذًا نُكْرِيهَا بِشَيْءٍ مِنَ الْحَبِّ، قَالَ: وَكُنَّا نُكْرِيهَا بِالتِّبْنِ، فَقَال: لاَ، وَكُنَّا نُكْرِيهَا بِمَا عَلَى الرَّبِيعِ السَّاقِي، فَقَال: لَا، ازْرَعْهَا أَوِ امْنَحْهَا أَخَاكَ
“Rasulullah saw. telah melarang penyewaan tanah.” Kami berkata, “Wahai Rasulullah, kalau begitu kami sewakan dengan sesuatu dari biji-bijian.” Beliau bersabda, “Tidak.” Dia (Usaid) berkata, “Kami sewakan dengan jerami.” Beliau bersabda, “Tidak.” Dia (Usaid) “Kami sewakan dengan ar-rabî’ (yaitu tanaman bagian yang dekat air).” Beliau bersabda, “Tidak. Tanamilah atau pinjamkan kepada saudaramu.” (HR an-Nasai no. 4575 di dalam Sunan al-Kubra dan no. 3862 di Sunan an-Nasai atau Sunan ash-Sughrâ).
Penyewaan dengan sesuatu dari biji-bijian dan jerami maksudnya adalah biji-bijian dan jerami dalam jumlah tertentu. Rasul saw. tetap melarang hal demikian. Dengan demikian penyewaan lahan dengan sesuatu yang tertentu sudah ditanyakan kepada Rasulullah saw. dan beliau melarang hal demikian.
Ucapan Rafi’ bin Khadij bahwa tidak ada penyewaan lahan selain yang dia jelaskan, maka itu hanya sebatas pengetahuan Rafi’. Penyewaan dalam bentuk yang lain, yaitu dengan biji-bijian dan jerami yang tertentu telah ditanyakan dalam riwayat Usaid bin Zhuhair di atas, dan Rasul saw melarang hal demikian.
Riwayat Rafi’ bin Khadij di atas juga menyatakan bahwa penyewaan lahan dengan emas dan perak (dinar dan dirham) belum ada pada masa Nabi saw. Ini membantah klaim adanya Ijmak Sahabat atas hal itu yang dikutip oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Ashqalani di dalam Fathu al-Bârî, “Ibnu al-Munzhir menyatakan bahwa para Sahabat telah berijmak atas kebolehan penyewaan lahan dengan emas dan perak. Ijmak ini merupakan dalil kebolehan penyewaan lahan dengan emas dan perak (uang).”
Klaim Ijmak ini lemah dan terbantahkan. Bagaimana terjadi ijmak jika praktik penyewaan lahan dengan emas dan perak belum ada pada waktu itu?
Dengan demikian hadis di atas menegaskan keharaman penyewaan lahan. Ini makin menegaskan larangan bersifat umum, bahwa Rasulullah saw melarang al-mukhâbarah dalam riwayat Jabir bin Abdullah dan Zaid bin Tsabit, atau kirâ‘u al-mazâri’ (penyewaan lahan pertanian) dalam riwayat Rafi’ bin Khadij, atau kirâ‘u al-ardhi dalam riwayat Usaid bin Zhuhair.
WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]
0 Comments