Ragam Upaya Menghadang Penegakan Khilafah

Khilafah kini telah menjadi salah satu istilah yang sangat populer di negeri ini. Bahkan isu Pilpres pun sering dikaitkan dengan isu khilafah tersebut.

Sebagai sebuah isu politik di level nasional dan internasional, tentu isu khilafah itu tidak akan sepi dari pro dan kontra. Dari waktu ke waktu persoalan khilafah akan terus menjadi topik perbincangan publik dunia, baik dari sisi yang pro maupun yang kontra. Itu sebagai konsekuensi dari sebuah konsep pemikiran politik yang menyangkut kehidupan masyarakat luas di dunia.

 

Menghadang Khilafah

Mereka yang kontra akan terus berupaya mencegah ide khilafah itu berkembang luas. Mereka khawatir, jika bergulir luas maka ide khilafah akan cepat menjelma menjadi cita-cita dan arah perjuangan umat Islam sedunia.

Mereka berusaha menghadang Khilafah dengan berbagai cara, baik yang bersifat soft-approach maupun yang hard-approach. Istilah soft-approach umumnya digunakan untuk merujuk pada penggunaan lembaga think-tank, lembaga studi dan penerbitan buku-buku untuk mendiskreditkan ide khilafah. Adapun hard-approach merujuk pada penggunaan kekuatan negara untuk memberangus ide khilafah, seperti pelarangan dan sejenisnya.

Untuk soft-approach, yang paling gencar mereka lakukan adalah menjadikan ide khilafah sebagai utopis dan ide mitos atau berbagai istilah lainnya yang semakna. Intinya mereka ingin memperlemah pemikiran umat Islam dengan menjadikan ide khilafah itu sebagai sebuah mitos yang akan menguras energi secara sia-sia.

Mereka berupaya menanamkan pemahaman bahwa gagasan menyatukan seluruh umat Islam di dunia dalam satu negara Kekhilafahan itu merupakan hal yang mustahil. Berbagai ahli ditampung pendapatnya untuk menentang gagasan kemungkinan persatuan umat Islam di abad ke-21 ini. Mereka juga menerbitkan berbagai buku untuk memperkuat propagandanya tersebut.

Salah satunya adalah buku yang ditulis oleh antropolog Madawi ar-Rasheed (Demystifying the Caliphate: Historical Memory and Contemporary Contexts, Hurst Publishers London, 2013). Madawi yang bekerja di Department of Theology and Religious Studies di King’s College London tersebut mengatakan, “Saya kira seisi Jazirah Arab telah terjerumus ke dalam kekerasan sektarian. Karena itu, menurut saya, tidak mungkin Khilafah dapat terwujud. Kini, pada abad ke-21 ini, gagasan tersebut hanya impian sia-sia dari para aktivis Muslim.”

Madawi yang keturunan Arab Saudi itu, dengan dukungan pihak Barat khususnya Inggris, sangat aktif memberikan kuliah dan menulis buku terkait ketidakmungkinannya ide khilafah itu bisa diwujudkan. Ribuan mahasiswa Muslim telah menjadi obyek dari propagandanya tersebut. Madawi adalah Visiting Professor di Middle East Centre di London School of Economics and Political Science. Dia juga memberikan berbagai kuliah di Amerika Serikat, Eropa dan Timur Tengah. Pada tahun 2016 dia menjadi Visiting Research Professor di Middle East Institute di National University of Singapore.

Banyak buku dan tulisan serupa yang terus dipublikasikan dengan tema utama yang sama, yakni keutopisan dan kemitosan ide khilafah. Secara umum alasan yang mereka kemukakan, ide khilafah itu utopis karena umat Islam saat ini sangat beragam. Menurut mereka tidak mungkin umat Islam disatukan dalam sistem hukum dengan wadah institusi Khilafah tersebut.

Alasan lainnya, menurut mereka, karena umat Islam saat ini berada dalam negara-bangsa (nation-state). Karena itu disinyalir Khilafah akan menimbulkan perpecahan di Dunia Islam. Belum lagi ide penegakan Khilafah ini akan berhadapan dengan rezim represif di berbagai negeri Muslim. Bahkan nantinya akan berhadapan dengan negara-negara kuat di bawah pimpinan Amerika Serikat dan negara-negara Eropa yang akan menghancurkan benih Khilafah ketika suatu saat berdiri.

 

Melawan Penyesatan Opini

Upaya memperlemah perjuangan penegakan Khilafah selalu dimulai dari memperlemah ide khilafah itu sendiri. Karena itu berbagai hal di atas, yang dijadikan sebagai alasan tentang keutopisan ide khilafah itu, sangat penting untuk dikritisi.

 

  1. Umat Islam sangat beragam.

Memang, umat Islam di dunia saat ini hidup di berbagai negeri dengan beragam bahasa, warna kulit, makanan, pakaian dan tradisi yang berbeda-beda. Namun, keberagaman ini bukan suatu problem yang terkait dengan sistem politik yang mengatur negara. Sebab sistem politik itu tidak akan memaksa orang untuk memakan makanan yang sama atau berwarna kulit sama. Sistem politik justru hadir untuk mengurusi masalah ekonomi, politik, hukum, dan sosial dalam urusan kemasyarakatan.

Faktanya, Dunia Islam saat ini pada umumnya menjalankan sistem politik yang berasal dari Barat. Di antaranya merujuk pada Konstitusi Prancis, Konstitusi Inggris, Konstitusi Belanda dan sebagainya. Konstitusi tersebut menjadi landasan bagi kebanyakan negeri Muslim pasca kemerdekaan semu mereka. Ketika menjalankan konstitusi yang berasal dari Barat tersebut tidak ada yang mengaitkannya dengan keberagaman umat Islam. Semua umat Islam dari berbagai etnis diharuskan tunduk pada konstitusi tersebut tanpa dilihat lagi perbedaan etnisnya.

Khilafah itu adalah institusi untuk menerapkan konstitusi syariah yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah. Faktanya, tidak ditemukan adanya hukum syariah yang tidak bisa diterapkan pada seseorang karena etnis dan bangsanya. Dengan demikian persoalan keberagaman umat Islam bukanlah problem atau kendala dalam sistem Khilafah. Bahkan hal itu justru bisa menjadi sumber kekuatan Khilafah di masa depan.

 

  1. Umat Islam berada dalam negara-bangsa.

Umat Islam saat ini hidup di berbagai negeri Muslim yang masing-masing berdiri sebagai negara-bangsa (nation-state). Fakta ini dianggap sebagai salah satu bukti bahwa Khilafah yang akan menyatukan seluruh negeri Muslim itu adalah utopis. Mereka beralasan, sangat tidak mungkin menyatukan umat Islam dari berbagai nation-state itu ke dalam satu institusi Khilafah. Sebab tiap nation-state tersebut saat ini berstatus sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.

Mereka kelihatannya sengaja menafikan fakta lain bahwa dulunya umat Islam itu justru hidup dalam satu institusi negara Khilafah. Hal tersebut berlangsung sangat lama, sekitar 1300 tahun, hingga keruntuhan Khilafah Ustmaniyah pada tahun 1924. Sebaliknya, baru berlangsung sekitar 95 tahun saja (1924-2019) umat Islam itu hidup dalam nation-state. Itu artinya, masa keberlangsungan nation-state bagi umat Islam belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan keberlangsungan masa Kekhilafahan.

Perlu dicatat pula, nation-state itu awalnya tumbuh di Eropa pasca Perjanjian Damai Westphalia (Peace of Westphalia) tahun 1648, sebagai perlawanan terhadap sistem feodal atau monarki di Eropa saat itu. Setelah Revolusi Prancis (1789) dan Revolusi Amerika (1776) konsep nation-state turut menjadi penentu struktur geopolitik Eropa. Bersama dengan ide demokrasi, liberalisme dan sekularisme, konsep nation-state akhirnya diekspor keluar Eropa melalui jalan penjajahan.

Adapun Dunia Islam di bawah kepemimpinan Khilafah Utsmaniyah saat itu sedang dalam kondisi lemah secara internal. Karena itu Khilafah saat itu digelari “the sick man of Europe”. Ditambah dengan faktor eksternal berupa imperialisme Barat di sebagian wilayahnya, kondisi Khilafah kian memburuk. Akhirnya, Khilafah runtuh pada tahun 1924 pasca kekalahannya dalam Perang Dunia I (1914-1918).

Konsep nation-state tersebut telah terbukti menjadi racun yang mematikan bagi umat Islam. Betapa tidak. Umat Islam yang dulunya bersatu dalam Khilafah Ustmaniyah, melalui nation-state, disekat menjadi 50-an negara kecil seperti yang kita saksikan di Timur Tengah saat ini. Inilah racun yang menjadi penyebab disintegrasi dan perpecahan umat Islam. Ditambah lagi adanya konspirasi negara penjajah yang memecah wilayah kesatuan Khilafah Ustmaniyah itu menjadi puluhan nation-state melalui Perjanjian Sykes-Picot pasca Perang Dunia I.

Jadi menyatukan umat Islam yang saat ini berada dalam berbagai nation-state ke dalam satu institusi Khilafah bukanlah hal utopis. Suatu hal yang sangat logis dan realistis jika nanti umat Islam dengan kesadarannya meninggalkan konsep nation-state menuju persatuan globalnya dalam sistem khilafah.

 

  1. Berhadapan dengan negara adidaya.

Ide khilafah memang akan berbenturan dengan rezim, baik di tingkat lokal/nasional maupun di tingkat internasional. Ini karena ide khilafah pasti bersinggungan dengan persoalan politik dan kepemimpinan ideologi secara internasional.

Di tingkat lokal, beberapa rezim telah menggunakan hard-approach untuk membendung gerak laju perjuangan penegakan Khilafah ini. Mereka misalnya mengeluarkan beberapa peraturan dan perundang-undangan untuk mengkriminalisasi ide khilafah. Akibatnya, umat Islam yang mendukung ide khilafah akan dikategorikan sebagai pelaku tindak kriminal yang mengancam keselamatan negara.

Di tingkat global, Amerika Serikat telah mengangkat dirinya menjadi pemimpin terhadap negara-negara lain untuk melawan ide khilafah ini. Dalam pidatonya di White House pada September 2006, Presiden AS George W. Bush saat itu pernah berkata: “Mereka ingin mendirikan kekuatan politik utopia di seluruh kawasan Timur Tengah yang mereka namakan Khilafah, di mana semua diperintah berdasarkan ideologi mereka yang penuh kebencian… Saya tidak akan membiarkan ini terjadi, dan juga tidak ada satu Presiden AS pun di masa mendatang yang akan membiarkan hal ini…” (Dailycaller.com).

Dari pernyataan Bush yang sangat arogan itu tampak seakan AS sangat berkuasa untuk menghancurkan segala institusi di dunia. Itu tentu terkait dengan kekuatan militer dan persenjataan yang dimiliki AS dan sekutunya.

Padahal secara fakta di lapangan tidak selalu kekuatan persenjataan itu identik dengan kemenangan. Misalnya, AS ternyata kalah dengan sangat memalukan dalam Perang Vietnam. Saat Perang Irak, kekuatan perang AS telah dikerahkan secara besar-besaran. Namun faktanya. Irak akhirnya menjelma menjadi Vietnam kedua bagi AS. Kabarnya saat itu sekitar 100 serdadu AS tewas tiap bulannya di tanah Irak. AS telah menghadapi perlawanan keras dari hampir seluruh warga dari berbagai penjuru di Irak yang menginginkan AS pergi dari sana. AS juga melengkapi sejarah kekalahan militernya di Afganistan.

Beberapa politisi AS ternyata lebih cermat daripada Bush terkait perang global yang disitu terkait isu Islam. Misalnya, Pat Buchanan, salah seorang pendiri majalah The American Conservative dan penasehat bagi tiga Presiden AS sebelum Bush (Nixon, Ford, dan Reagan) pernah berkata, “Apabila aturan Islam adalah gagasan yang disetujui oleh seluruh kekuatan Islam, bagaimana mungkin pasukan terbaik di dunia dapat menghentikannya?”

Jadi ancaman negara-negara adidaya dibawah pimpinan AS terhadap tegaknya Khilafah itu tidak serta-merta menjadikan ide khilafah itu utopis. Faktanya, Khilafah itu akan menyatukan umat Islam di seluruh penjuru dunia yang kini jumlahnya mencapai 1.6 miliar. Mereka tersebar di berbagai negara mulai dari Afrika, Asia, Australia, Eropa, hingga Amerika. Kelak, ketika melawan Khilafah, tentu beratus kali lipat kesulitannya bagi AS dibandingkan dengan perang di Vietnam, Irak dan Afganistan. Padahal di tiga perang tersebut saja AS mengalami kekalahan telak yang sangat fatal.

 

Penutup

Berdasarkan pemaparan di atas, menuding sistem Khilafah sebagai suatu mitos dan utopis sebenarnya tidak hanya ahistoris, namun juga pembohongan publik. Sebab sejarah dunia sendiri tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang kegemilangan Khilafah.

Misalnya seperti yang digambarkan sejarahwan Paul Kennedy tentang imperium (Khilafah) Ustmani dalam bukunya, The Rise and Fall of the Great Powers (Unwin-Hyman, London 1989). Menurut dia, dalam beberapa abad sebelum tahun 1500, Dunia Islam di bawah Imperium Ustmani telah jauh melampaui Eropa dalam bidang budaya dan teknologi.

Paul Kennedy menyebutkan bahwa kota-kota di Dunia Islam saat itu demikian luas, rakyatnya terpelajar, perairannya sangat bagus. Beberapa kota di antaranya memiliki universitas-universitas dan perpustakaan yang lengkap dan memiliki masjid-masjid yang indah. Dia juga menambahkan bahwa dalam bidang matematika, kastografi, pengobatan dan aspek-aspek lain dari sains dan industri, kaum Muslim selalu berada di depan.

Kepedulian Khilafah masih terus dikenang hingga kini oleh banyak negara termasuk Eropa. Misalnya Mary McAleese, presiden ke-8 Irlandia yang menjabat dari tahun 1997 sampai 2011 itu telah memuji kepedulian Khilafah saat itu. Dalam pernyataan persnya yang dilansir di laman irishcentral.com, ia memuji bantuan Khilafah Turki Utsmani ke negaranya, Irlandia, yang terjadi sekitar tahun 1847 silam.

Bantuan itu dikirimkan saat Irlandia terkena musibah kelaparan hebat yang dikenal dengan peristiwa the great famine. Musibah tersebut telah menyebabkan sekitar 1 juta penduduk Irlandia meninggal dunia. Terkait bantuan itu, Mary McAleese berkata, “Sultan Ottoman (Khilafah Utsmani) mengirimkan tiga buah kapal, yang penuh dengan bahan makanan, melalui pelabuhan-pelabuhan Irlandia di Drogheda. Bangsa Irlandia tidak pernah melupakan inisiatif kemurahan hati ini.”

Selain menuding sistem Khilafah sebagai sesuatu yang utopis, mereka juga sering menuding syariah dan Khilafah sebagai ancaman. Tentu ini bagian dari penyesatan politik. Apa yang ditulis oleh Paul Kennedy di atas maupun yang disampaikan oleh Mary McAleese sudah cukup sebagai salah satu bantahannya.

Tudingan tersebut sejatinya juga merupakan upaya mereka untuk memalingkan masyarakat dari ancaman sebenarnya, yakni ideologi kapitalisme-liberalisme. Sebab faktanya, berbagai kerusakan yang terjadi di berbagai negeri Muslim dalam bidang ekonomi, hukum, sosial, dan politik justru bersumber pada penerapan sistem kapitalisme-liberalisme itu. Bahkan berbagai kehancuran fisik yang terjadi di Irak, Afganistan, Suriah, Yaman, dan sebagainya sebenarnya akibat kerakusan negara penjajah di negeri-negeri tersebut.

Alhasil, perjuangan penegakan Khilafah itu harus dapat pula dibaca sebagai wujud kepedulian. Kepedulian untuk melepaskan negeri-negeri Muslim dari kerusakan akibat penerapan sistem kapitalisme-liberalisme itu. Sekaligus sebagai perjuangan untuk mengakhiri berbagai kekejaman akibat cengkeraman negara-negara Barat penjajah di berbagai negeri Muslim tersebut.

Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. [Dr. Muhammad K. Sadik]


0 Comments

Leave a Comment

nineteen − eleven =

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Lost Password