Konflik Tigray: Buah Sistem Demokrasi Gagal di Afrika
Perdana Menteri Ethiopia, Abiy Ahmed Ali pada Rabu (4/11) mengumumkan serangan militer di wilayah utara Tigray. Kampanye militer tersebut diduga menargetkan pimpinan Tigray People’s Liberation Front (TPLF). Konflik antara Pemerintah Etiopia dan pasukan bersenjata Tigray yang terletak di sebelah utara negara tersebut semakin memanas. Pertempuran telah terjadi selama hampir dua pekan, menyebabkan destabilisasi di negara Afrika Timur yang padat penduduk itu. Ratusan orang dilaporkan meninggal dunia. Perebutan kekuasaan, pemilihan umum dan tuntutan reformasi politik adalah sejumlah faktor yang menyebabkan krisis tersebut.
Seperti yang dijelaskan BBC (20/11), konflik berawal pada 4 November, saat Perdana Menteri Ethiopia, Abiy Ahmed, memerintahkan serangan militer terhadap pasukan regional di Tigray. Ia beralasan, serangan itu adalah respon atas serangan pada perumahan militer untuk pasukan pemerintah di Tigray. Eskalasi ini terjadi setelah pemerintahan Abiy dan pemimpin partai politik yang dominan di Tigray berseteru selama berbulan-bulan.
Selama nyaris 30 tahun, partai politik ini berada di pusat kekuasaan, sampai Abiy menjabat pada 2018 menyusul demonstrasi anti-Pemerintah. Abiy menginginkan reformasi, namun Tigray melawan, sehingga terjadilah krisis politik.
Masih menurut BBC, akar dari krisis ini adalah sistem pemerintahan Ethiopia. Sejak 1994, Ethiopia memiliki sistem federal sehingga kelompok-kelompok etnis berbeda mengontrol 10 wilayah. Partai politik terkuat di Tigray, Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF), punya andil dalam membentuk sistem ini. TPLF adalah pemimpin dari koalisi empat partai yang memerintah Ethiopia sejak 1991, ketika rezim militer digulingkan.
Di bawah koalisi ini, Ethiopia diklaim lebih makmur dan stabil. Namun, kekhawatiran akan hak asasi manusia dan level demokrasi di negara tersebut terus bermunculan. Pada akhirnya, ketidakpuasan ini berubah menjadi protes, yang mengarah pada reshuffle pemerintahan yang menobatkan Abiy menjadi perdana menteri. Abiy yang liberal membentuk partai baru (Partai Kemakmuran). Dia memecat para pemimpin pemerintahan dari Tigray yang dituduh melakukan korupsi dan penindasan.
Abiy berhasil menyelesaikan perselisihan wilayah yang berlarut-larut antara Ethiopia dan negara tetangganya, Eritrea. Ia diganjar penghargaan Nobel Perdamaian pada 2019.
Ini membuat Abiy semakin populer, namun menyebabkan kegelisahan bagi para pengkritiknya di Tigray. Para pemimpin Tigray memandang reformasi yang dilakukan Abiy sebagai usaha untuk memusatkan kekuasaan dan menghancurkan sistem federal Ethiopia. Perselisihan mereka mengemuka pada September. Tigray menentang keputusan pemerintah pusat dan menggelar pemilihan umum regional sendiri. Pemerintah pusat, yang memutuskan menunda pemilu nasional karena pandemi, berkata: pemilu regional Tigray ilegal.
Perpecahan mulai panas pada Oktober ketika pemerintah pusat menangguhkan pendanaan dan memutuskan hubungan dengan Tigray. Pemerintah daerah Tigray mengatakan sikap pemerintah pusat sama saja dengan “mendeklarasikan perang”. Tensi meningkat. Lantas, dalam apa yang disebut oleh lembaga International Crisis Group sebagai langkah “tiba-tiba dan dapat diprediksi” menciptakan konflik, Abiy berkata: Tigray telah melewati “batas”. Dia menuduh pasukan bersenjata Tigray menyerang pangkalan militer untuk mencuri senjata. “Oleh karena itu, pemerintah federal terpaksa melakukan konfrontasi militer,” kata Abiy.
Esensi Sejati
Konflik Tigray telah mengungkap esensi sejati dari sistem demokrasi sekular yang gagal. Itu adalah sistem yang tercela dan amburadul yang ada untuk mengamankan keuntungan dan kepentingan pribadi. Dalam prosesnya menyebabkan bencana yang tak terukur. Konflik terbaru ini bukanlah yang pertama atau terakhir yang terjadi di negara Ethiopia yang lebih luas, tetapi merupakan kelanjutan dari sifat tidak stabil dari politik demokrasi sekular yang telah diadopsi Ethiopia dalam pengelolaan urusan rakyatnya.
Ada pelajaran yang bisa dipetik dari konflik yang sedang berlangsung, yang meliputi:
Pertama dan terpenting, konflik tersebut bersifat internal dan dengan restu dari rezim Amerika dan sekutunya seperti UEA yang diduga memberikan bantuan drone kepada Pasukan Pertahanan Ethiopia. (theafrica report.com, 29 November 2020). Oleh karena itu, Perdana Menteri Abiy Ahmed Ali menjadi berani dan melancarkan serangan gencar untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya dan menghilangkan potensi oposisi terhadap pemilihan yang akan datang sesuai tanggal sementara 16 Agustus 2021 yang diberikan oleh Dewan Pemilihan Nasional Ethiopia. Hal itu menyusul penundaan pemilu sebelumnya akibat pandemi Covid-19 yang akan digelar pada 29 Agustus 2020. (allafrica.com, 9 Desember 2020).
Kedua, konflik melibatkan ‘persaingan saudara’ antara Partai Kemakmuran merek baru yang dipimpin oleh Abiy Ahmed yang bermaksud untuk mengkonsolidasikan kekuasaan dan Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF) yang berencana untuk memenangkan kembali kejayaan yang hilang yang mereka nikmati selama hampir 30 tahun berkuasa! Kedua belah pihak berusaha untuk mengeksploitasi balkanisasi etnis yang melemah di dalam negara untuk mencapai tujuan egois mereka melalui cara apapun. Tujuan menghalalkan segala cara! Kedua partai sebelumnya bersatu di bawah Front Demokrasi Revolusioner Rakyat Ethiopia/Ethiopian People’s Revolutionary Democratic Front (EPRDF).
Ketiga, para pemimpin Afrika tidak lain adalah manajer kolonial yang patuh yang bertindak dan menahan diri berdasarkan perintah tuannya. Oleh karena itu, kesetiaan mereka bukan kepada bangsa mereka atau negara tetangga, tetapi pada kepentingan dan posisi tuan kolonial Barat mereka. Hal itu diperkuat dengan sikap diam total mereka dan kadang menawarkan pernyataan retorika yang menyerukan penyelesaian damai untuk konflik tanpa inisiatif yang berarti untuk mewujudkan hal yang sama. Selain institusi mereka seperti Persatuan Afrika/African Union (AU), yang slogannya adalah “Silencing the guns by 2020” (Membungkam Senjata pada tahun 2020) berkantor pusat di Ethiopia di mana senjata dilepaskan secara serempak dan pada tahun 2020! Permohonan AU untuk menghentikan perang justru sepenuhnya diabaikan oleh tuan rumahnya (Ethiopia). Selanjutnya, ia dipaksa untuk memenuhi tuntutan tuan rumahnya termasuk pemecatan pejabat militer senior yang terkait dengan AU yang dianggap condong ke TPLF. (Daily Nation, 16 November 2020).
Keempat, jelas bahwa Hadiah Nobel Perdamaian bukan hanya hadiah politik, tetapi juga lisensi bagi penerima untuk melakukan kejahatan keji secara langsung atau tidak langsung. Abiy Ahmed yang memenangkan hadiah pada tahun 2019, mengikuti jejak mantan master Amerika-nya, Barack Obama, yang diberi penghargaan pada tahun 2009. Padahal rezim Obama pada masa pemerintahannya mencetak rekor jumlah pertama menjatuhkan bom dan memusnahkan menggunakan drone! (The Washington Post, 5 Mei 2016). Selain itu, pemerintahannya (Obama) dikenal sebagai ahli strategi melawan Islam dan Muslim di Suriah yang terus berlanjut hingga saat ini, yang telah menyebabkan korban ribuan orang terbunuh dan jutaan mengungsi! (National Review, 14 Maret 2018).
Konflik Suriah akibat intervensi Barat, terutama Amerika dan Rusia, hingga kini masih berlangsung. Menurut data yang dikeluarkan Syrian Network for Human Rights (SNHR), sepanjang tahun 2020 sudah lebih dari 1000 warga sipil yang terbunuh. Terutama terbunuh akibat kekejaman rezim Bashar. Hingga akhir 2019, delapan tahun Perang Suriah telah menyebabkan 370 ribu orang terbunuh. Laporan tersebut disampaikan oleh Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR), dengan menyebut sebanyak 1.120.000 korban merupakan warga sipil, termasuk lebih dari 21.000 anak-anak dan 13.000 perempuan.
Kelima, lembaga internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) hanyalah alat Barat untuk mewujudkan agenda Amerika. Sebab, Amerika adalah pemain dominan global yang menggunakan kekerasan, konflik dan perang dalam menjalankan kebijakannya. Untuk selanjutnya, kebijakan transaksionalnya menunjukkan kepeduliannya hanya terhadap keuntungan dan kepentingannya sendiri. Jadi, Amerika mendorong sekutunya untuk bertem-pur atau berdamai di bawah perintah mereka seperti yang dilakukan Ethiopia dan Eritrea pada tahun 2018. Saat itu pemimpin dari kedua negara menandatangani deklarasi bersama kesepakatan perdamaian dan persahabatan.
Selama ini PBB berada di pinggiran dan menyaksikan terungkapnya krisis kemanusiaan yang tak terbayangkan! Namun, mencoba menyelamatkan wajahnya dengan menyerukan akses tanpa hambatan ke wilayah Tigray untuk mengirimkan bantuan kemanusiaan, sementara pembunuhan yang tidak masuk akal terus berlanjut di bawah pengawasannya! Selain itu, perwira militer PBB asal Tigrayan yang dikerahkan untuk misi perdamaian menghadapi penyiksaan atau eksekusi (Kebijakan Luar Negeri, 23 November 2020).
Sebagai kesimpulan, uraian di atas menyingkapkan gambaran suram tentang keadaan negara-negara kapitalis sekular yang sakit-sakitan di seluruh dunia. Beberapa mungkin tampak stabil pada permukaan, tetapi pada kenyataannya hampir semuanya retak dari dalam, hanya masalah kapan retakan akan terlihat?!
Manusia kehilangan nilai pada saat dia mengadopsi ideologi kapitalis sekular atau menerima untuk dieksploitasi oleh broker sistem politik yang demokratis. Selain itu, manusia dalam sistem kapitalisme direduksi hanya sebagai faktor produksi, dihargai sesuai sudut pandang sekular.
Dunia saat ini membutuhkan ideologi pembebas yang menyelamatkan manusia. Pilihannya tidak lain adalah Islam dengan institusi politik Khilafah yang akan menerapkan seluruh syariah Islam. [AF]
0 Comments