Salah Urus Indonesia

Tujuh puluh empat tahun lebih telah negeri ini berdiri sejak proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Selama itu pula, telah silih berganti sebanyak 7 kali Kepala Negara yang memimpin negeri ini. Sistem Pemerintahan yang adopsi pun mengalami pergantian. Dari awalnya menggunakan sistem Pemerintahan Presidensial (1945-1949), Quasy Parlementer (1949-1950, Parlementer (1950-1959), kemudian sejak tahun 1959 sampai sekarang kembali mengadopsi sistem Pemerintahan Presidensial dengan bentuk Pemerintahan Republik Konstitusional.

Walaupun negeri ini mendapatkan sebutan negeri yang gemah ripah loh jinawi (kekayaan alam yang berlimpah), faktanya kita menyaksikan kehidupan yang jauh dari kesejahteraan. Bahkan kesejahteraan itu tidak terjadi pada provinsi yang memiliki sumberdaya alam yang melimpah di dalamnya.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Provinsi Papua menjadi wilayah dengan angka kemiskinan tertinggi di Indonesia pada Maret 2019 dengan 27,53%. Ironisnya, tambang emas Grasberg di Papua adalah termasuk tambang dengan cadangan emas terbesar di dunia. Presiden Direktur Freeport Indonesia, Tony Wenas, mengatakan bahwa setiap harinya Freeport memproduksi 240 kg!

Oleh karena itu, jika sejak diproklamasikan kemerdekaan hingga sekarang negeri ini belum sejahtera, tentu ada yang salah dalam pengeloaan negeri ini. Pertanyaanya, apakah yang salah? Kesalahan pihak yang diberi amanah untuk mengelola (pemimpinnya) atau kesalahan sistem yang digunakan untuk mengelola? Atau malah bisa jadi dua-duanya, yakni orang yang diberi kepercayaan tersebut tidak amanah dan sistem yang digunakan pun sistem yang salah.

Untuk itulah kiranya perlu kajian secara mendalam terkait konsep pengelolaan yang tengah berlangsung di negeri ini. Baik kajian terhadap sistem yang digunakan, juga kajian terhadap karakter manusia yang memimpin negeri ini.

 

Asas Kapitalisme

“Kita ini malu-malu kucing untuk mendeklarasikan Indonesia hari ini adalah negara kapitalis, yang liberal. Itulah Indonesia hari ini,” sebut Surya Paloh pada saat memberikan kuliah umum di Kampus Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat, yang bertajuk “Tantangan Bangsa Indonesia Kini dan Masa Depan” pada 14 Agustus 2019 yang lalu.

Benar. Negeri ini berdiri atas asas ideologi Kapitalisme. Ide-ide Kapitalisme seperti demokrasi, HAM dan sakulerisme kemudian menjadi mafahim (konsep), maqayis (standart) dan qana’ah (keyakinan). Semuanya ditanamkan oleh negara kepada masyarakat. Padahal semua ide-ide tadi jelas adalah sumber kerusakan.

Al-‘Allamah as-Syaikh Abdul Qadim Zallum di dalam bukunya, Demokrasi Sistem Kufur, mengatakan: “Di antara bencana paling mengerikan yang menimpa seluruh umat manusia ialah ide kebebasan individu yang dibawa oleh demokrasi. Ide ini telah mengakibatkan berbagai malapetaka secara universal serta memerosotkan harkat dan martabat masyarakat di negeri-negeri demokrasi sampai ke derajat yang lebih hina daripada derajat segerombolan binatang!”

Sebagaimana yang telah jamak diketahui, dalam demokrasi, ada 4 kebebasan (al-hurriyat, freedom) yang dijamin: (1) kebebasan beragama (hurriyah al-‘aqidah); (2) kebebasan berpendapat (hurriyah ar-ra`yi); (3) kebebasan kepemilikan (hurriyah ar-tamalluk); dan (4) kebebasan berperilaku (al-hurriyah asy-syakhshiyyah).

Kebebasan berperilaku, misalnya, telah menjadikan perempuan sebagai ajang eksploitasi Kapitalisme melalui perhelatan Miss Universe, Miss World dan sejenis-nya. Perempuan hanya dianggap sebagai komoditas dagang dan pemuas nafsu laki-laki semata. Kebebasan semacam ini sama artinya dengan meligitimasi kemaksiatan. Pacaran, misalnya, merupakan kebebasan berperilaku yang harus dilindungi.

Kebebasan ini juga melahirkan perilaku seks menyimpang. Sekarang manusia sudah tidak malu lagi memperkenalkan dirinya di hadapan umum sebagai pasangan homo/lesbi dan juga waria yang merupakan perilaku lebih rendah dari binatang.

Demikian pula kerusakan akibat dari kebebasan kepemilikan. Hal ini memberikan hak kepada siapapun untuk memiliki dan mengembangkan harta (modal) dengan sarana dan cara apapun. Di Indonesia, pihak asing bahkan diberi kebasan untuk menguasai sumberdaya alam milik rakyat. “Sudah lama kita tak pernah jaya dengan hasil alam sendiri. Padahal kita kaya sumberdaya alam (SDA). Sedikitnya 69 persen SDA kita dikuasai oleh asing selama puluhan tahun. SDA itu seluruhnya berakhir dalam surat-surat kontrak (konsensus) dengan pihak asing. Itu sebabnya kita tetap miskin.” Demikian dikatakan Aktivis HAM Usman Hamid, ketika diwawancarai di USU, Sabtu (12/1/13).

Begitu pula dengan paham sekularisme. Saat menjabat sebagai presiden, SBY pernah berkata, “Indonesia adalah negara sekular dan itu merupakan warisan kita yang penting dari Soekarno dan para bapak pendiri Indonesia lainnya,” katanya dalam pidato penerimaannya di Soekarno Centre di Bali.

Inti dari paham sekularisme menurut Al-‘Allamah as-Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani (1953) adalah pemisahan agama dari kehidupan (faºlud-din ‘anil-hayah). Juga bisa disebut dengan istilah memisahkan agama dari negara (fashlud-din ‘anid-dawlah).

Akibatnya, di tengah-tengah sistem sekularistik itu lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama: tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku para politikus yang oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap beragama yang sinkretistik, serta sistem pendidikan yang penuh dengan materialistik.

 

Pemimpin Tidak Amanah

Sebaik apapun sistem yang digunakan dalam memimpin, jika yang menjadi pemimpin adalah sosok yang tidak amanah, yang orientasinya hanya jabatan untuk mendapatkan manfaat keduniaan semata, maka hal tersebut meniscayakan terjadinya kerusakan. Inilah yang juga sedang menimpa negeri ini.

Kini masyarakat seolah sudah terbiasa dengan adanya berita Pejabat yang terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal ini salah satunya disebabkan oleh mahalnya ongkos politik dalam sistem demokrasi.

Secara tidak langsung, munculnya para pemimpin yang tidak amanah tersebut tidak lain dikarenakan sistem yang diterapkan, yakni demokrasi. Korupsi dan demokrasi seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan karena praktik demokrasi yang mengagungkan popular vote membutuhkan dana yang sangat besar. Salah satu caranya dengan melakukan korupsi.

Faktor lain adalah kurangnya ketakwaan. Seorang yang benar-benar bertakwa, insya Allah akan amanah dalam menjalankan tugasnya. Tidak akan tergoda untuk melakukan hal-hal yang bisa mengkhianati amanah yang ia pegang. Dengan adanya ketakwaan, seseorang akan merasa takut untuk melakukan suatu kemaksiatan karena merasa diawasi oleh Allah SWT.

Oleh karena itu, untuk mewujudkan kepemimpinan yang baik mutlak diperlukan dua hal: sistem yang baik dan pemimpin yang baik (amanah). Inilah yang sebenarnya dibutuhkan oleh negara ini ke depan. Jika benar-benar ingin memberikan kesejahteraan kepada bangsa dan negara, maka harus ada perubahan secara mendasar. Sistem yang telah jelas-jelas merusak harus diganti dengan sistem yang telah terbukti pernah memberikan kesejahteraan. Harus juga ditempatkan para pemimpin yang terbukti amanah dalam menjalankan fungsi jabatannya.

 

Asas Islam

Islam adalah agama yang sempurna. Kesempurnaannya sebagai sebuah sistem hidup dan sistem hukum meliputi segala perkara. Allah SWT berfirman:

ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينٗاۚ ٣

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, telah Kucukupkan nikmat-Ku kepada kalian dan telah Kuridhai Islam menjadi agama bagi kalian (QS al-Maidah [5]: 3).

 

Allah SWT juga berfirman:

وَنَزَّلۡنَا عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ تِبۡيَٰنٗا لِّكُلِّ شَيۡءٖ ٨٩

Kami telah menurunkan kepada kamu al-Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu (QS an-Nahl [16]: 89).

 

Ini berarti, problematika apa saja, atau apapun tantangan yang dihadapi, akan dapat dipecahkan dan dijawab oleh Dinul Islam. Termasuk dalam hal kenegaraan. Sebabnya, Islam dirumuskan dengan kalimat, “Al-Islam din wa minhu ad-dawlah (Islam adalah agama, termasuk di antaranya adalah ajaran tentang bernegara). Ini berbeda dengan konsep sekularisme dari Barat yang memisahkan agama dan negara (fashlud-din ‘an ad-dawlah).

Oleh karena itu, jelas agama tidak bisa dipisahkan dari negara, sebagai pemilik kekuasaan. Imam al-Ghazali mengungkapkan pentingnya agama dan negara. Beliau mengungkapkan:

اَلدِّيْنُ وَالسُّلْطَانُ تَوْأَمَانِ, اَلدِّيْنُ أُسٌّ وَالسُّلْطَانُ حَارِسٌ وَمَا لاَ أُسَّ لَهُ فَمَهْدُوْمٌ وَمَا لاَ حَارِسَ لَهُ فَضَائِعٌ

Agama dan kekuasaan (ibarat) saudara kembar. Agama adalah pondasi dan kekuasaan adalah penjaga. Sesuatu yang tanpa pondasi niscaya runtuh dan sesuatu tanpa penjaga niscaya lenyap (Al-Ghazali, Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd).

 

Syariah dan Khilafah

Sistem yang baik tentu harus bersumber dari Zat Yang Mahabaik, yakni Allah SWT. Itulah sistem Islam: syariah dan khilafah.

Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw. untuk seluruh manusia. Islam mengatur hubungan manusia dengan Penciptanya dalam masalah akidah dan ibadah. Islam mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri dalam masalah akhlak, pakaian, makanan dan minuman. Islam pun mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dalam masalah muamalah dan ‘uqubat. Inilah ruang lingkup syariah Islam.

Syariah Islam tidak akan bisa diterapkan secara kaffah (menyeluruh) tanpa adanya institusi pelaksananya. Itulah yang disebut dengan Khilafah. Sebuah sistem Pemerintahan di dalam Islam. Warisan dari Rasulullah saw.

Sistem ini bukan sekadar teori, namun telah terbukti pernah ada. Bahkan keberadaannya diakui oleh Barat sendiri.

Sebagaimana pengakuan Will Durrant:

 

Para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang bagi siapapun yang memerlukan dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam keluasan wilayah yang belum pernah tercatat lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka. Kegigihan dan kerja keras mereka menjadikan pendidikan menyebar luas sehingga berbagai ilmu, sastra, falsafah dan seni mengalami kejayaan luar biasa; yang menjadikan Asia Barat sebagai bagian dunia yang paling maju peradabannya selama lima abad (Will Durant – The Story of Civilization).

 

Ia juga menambahkan:

 

Pada masa pemerintahan Abdurrahman III diperoleh pendapatan sebesar 12,045,000 dinar emas. Diduga kuat bahwa jumlah tersebut melebihi pendapatan pemerintahan negeri-negeri Masehi Latin jika digabungkan. Sumber pendapatan yang besar tersebut bukan berasal dari pajak yang tinggi, melainkan salah satu pengaruh dari pemerintahan yang baik serta kemajuan pertanian, industri dan pesatnya aktivitas perdagangan (Will Durant – The Story of Civilization).

 

Pemimpin Amanah

Selain sistem yang baik, diperlukan sosok pemimpin yang baik. Dialah sosok yang sadar dan paham bahwa jabatan adalah amanah, yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Ia paham sabda Rasulullah saw., “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Ia juga paham bahwa hakikat kepemimpinannya adalah sebagai pelayan, bukan pemimpin yang merasa punya kuasa untuk melakukan segala sesuatu terhadap yang ia pimpin. Hakikat kepemimpinan tercermin seperti ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw., “Sayyid al-qawm khadimuhum (Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka).” (HR Abu Nu‘aim).

Oleh karena itu, untuk mewujudkan terciptanya kehidupan yang penuh dengan keadilan dan kesejateraan, haruslah menggunakan sistem yang baik. Itulah sistem Islam dengan syariah dan khilafahnya, yang dipimpin oleh seorang yang memang amanah dan bertakwa, yang disebut sebagai Imam atau Khalifah.

WalLahu a’lam. [Adi Victoria; (Penulis & Aktivis Dakwah)]

0 Comments

Leave a Comment

two × two =

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Lost Password