Larangan Menyewakan Lahan Pertanian Dengan Emas Dan Perak (Telaah Kitab Muqaddimah ad-Dustur Pasal 135-Lanjutan)
Sebagian ulama yang membolehkan sewa lahan menyatakan bahwa bentuk sewa lahan yang dilarang di dalam hadis adalah sewa lahan yang terjadi saat itu. Adapun sewa lahan selain bentuk tersebut tidaklah haram.
Menurut mereka, bentuk sewa tanah yang dilarang di dalam riwayat-riwayat adalah: Pertama, pemilik menyewakan lahannya kepada penggarap. Penggarap mendapatkan bagian dari tanaman yang tumbuh di atas saluran air (wadiy) sebagai ujrah (upah) bagi dia, sedangkan pemilik lahan mendapatkan sisanya. Kedua, penggarap menggarap lahan dengan ujrah makanan tertentu, atau sebagian dari harganya. Menurut mereka, inilah bentuk sewa lahan yang diharamkan. Adapun selain bentuk sewa tersebut, tidak dilarang. Atas dasar itu, sewa lahan dengan dinar dan dirham tidak termasuk dalam larangan hadis.
Jawaban atas argumentasi di atas adalah, hadis-hadis yang melarang sewa lahan tidak hanya berlaku pada bentuk-bentuk sewa seperti di atas, tetapi datang dalam bentuk umum. Dengan kata lain, semua bentuk sewa lahan, baik dengan sebagian hasil tanaman yang tumbuh, makanan tertentu, dinar dan dirham, dan sebagainya, diharamkan. Nabi saw bersabda:
مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا أَوْ فَلْيُزْرِعْهَا أَخَاهُ وَلا يُكَارِيهَا بِثُلُثٍ وَلاَ بِرُبُعٍ وَلاَ بِطَعَامٍ مُسَمَّى
Siapa saja yang memiliki lahan, garaplah tanah itu atau saudaranya yang akan menggarapnya. Janganlah kamu menyewakan lahan dengan 1/3 atau 1/4 dari hasilnya, atau dengan makanan yang telah ditetapkan (HR Abu Dawud).
أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنِ الْمُخَابَرَة
Sungguh Rasulullah saw. telah melarang al-mukhabarah (HR Muslim).
Siapa saja yang memiliki tanah, garaplah tanah itu, atau ia memberikan tanah tersebut kepada orang lain, dan jika ia tidak melakukan hal itu, sitalah tanahnya (HR al-Bukhari).
نَهَى رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم أَنْ يُؤْخَذَ لِلأَرْضِ أَجْرٌ أَوْ حَظٌّ
Rasulullah saw. telah melarang mengambil sewa atau bagian atas lahan (HR Muslim).
Larangan menyewakan lahan dalam hadis-hadis di atas datang dalam bentuk umum. Bahkan pada saat para sahabat bertanya mengenai berbagai macam bentuk sewa lahan, jawaban Rasulullah saw. tidak hanya sebatas atas pertanyaan tersebut, tetapi datang dalam bentuk umum. Dari Usaid bin Zhuhair dituturkan:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كِرَاءِ الْأَرْضِ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِذًا نُكْرِيهَا بِشَيْءٍ مِنْ الْحَبِّ قَالَ لَا قَالَ وَكُنَّا نُكْرِيهَا بِالتِّبْنِ فَقَالَ لَا وَكُنَّا نُكْرِيهَا بِمَا عَلَى الرَّبِيعِ السَّاقِي قَالَ لَا ازْرَعْهَا أَوْ امْنَحْهَا أَخَاكَ
Rasulullah saw. telah melarang sewa tanah. Kami bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana jika kami menyewakannya dengan biji-bijian?” beliau menjawab, “Jangan.” Kata mereka, :kalua begitu kami akan menyewakannya dengan jerami.” Beliau menjawab, “Jangan.” Kata mereka, “Kalu begitu kami akan menyewakannya dengan tumbuhan yang tumbuh di saluran air.” Beliau menjawab, “Jangan. Garaplah tanah itu atau berikan (tanah itu) kepada saudaramu.” (HR an-Nasa’ai).
Dari Zhuhair bin Rafi’ ra. Juga dituturkan hadis:
دَعَانِي رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ مَا تَصْنَعُونَ بِمَحَاقِلِكُمْ قُلْتُ نُؤَاجِرُهَا عَلَى الرُّبُعِ وَعَلَى الْأَوْسُقِ مِنَ التَّمْرِ وَالشَّعِيرِ قَالَ لَا تَفْعَلُوا ازْرَعُوهَا أَوْ أَمْسِكُوهَا
Rasulullah saw. pernah memanggilku seraya bersabda, “Apa yang kalian lakukan dengan sawah ladang kalian.” Saya menjawab, “Kami menyewakannya dengan ¼ (dari hasil tanaman) atau dengan beberapa wasaq kurma dan gandum.” Beliau bersabda, “Janganlah kalian lakukan. Garaplah oleh kalian tanah itu, atau sitalah tanah itu.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Atas dasar itu, semua bentuk sewa lahan, termasuk di dalamnya sewa lahan dengan uang, dilarang.
Sebagian ulama yang membolehkan sewa lahan juga mengetengahkan hadis-hadis yang membolehkan sewa lahan pertanian. Hadis-hadis itu adalah sebagai berikut:
Pertama, hadis yang menyatakan:
نَهَى رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم عَنِ الْمُحَاقَلَةِ وَالْمُزَابَنَةِ وَقَالَ إِنَّمَا يَزْرَع ثَلاَثَةٌ رَجُلٌ لَهُ أَرْضٌ فَهُوَ يَزْرَعُهَا وَرَجُلٌ مُنِحَ أَرْضًا فَهُوَ يَزْرَعُ مَا مُنِحَ وَرَجُلٌ اسْتَكْرَى أَرْضًا بِذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ
Rasulullah saw. telah melarang al-muhaqalah (sewa ladang) dan al-muzabanah (ijon, yakni membeli buah yang belum matang dan belum dipetik). Rasulullah saw. bersabda, “Hanyalah tiga orang yang menggarap tanah, yakni seorang laki-laki yang memiliki lahan dan dia sendiri yang menggarapnya; atau seorang laki-laki yang diberi tanah, lalu ia menggarap tanah yang dihadiahkan itu; atau seorang laki-laki yang menyewa tanah dengan emas dan perak.” (HR Abu Dawud dan an-Nasa’i).
Kedua, hadis yang diketengahkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dari Saad bin Abi Waqqash, yang berkata:
كَانَ أَصْحَابُ الْمَزَارِعِ يُكْرُونَ فِي زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَزَارِعَهُمْ بِمَا يَكُونُ عَلَى السَّاقِي مِنْ الزَّرْعِ فَجَاءُوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاخْتَصَمُوا فِي بَعْضِ ذَلِكَ فَنَهَاهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُكْرُوا بِذَلِكَ وَقَالَ أَكْرُوا بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ
Para pemilik lahan pertanian bisa menyewakan lahannya pada masa Nabi saw. dengan hasil tanaman yang tumbuh di atas perairan. Lalu mereka mendatangi Rasulullah saw. dan mereka berselisih pada sebagian hal itu. Beliau lalu melarang mereka menyewakan tanah dengan bentuk semacam itu seraya bersabda, “Sewakanlah dengan emas dan perak.” (HR an-Nasa’i).
Ketiga, hadis yang dituturkan dari Sa’id bin al-Musayyib dari Saad yang berkata:
كُنَّا نُكْرِي اْلأَرْضَ بِمَا عَلَى السَّوَاقِيْ مِنَ الزَّرْعِ وَمَاسَعِدَ بِالْمَاءِ مِنْهَا، فَنَهَانَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ وَأَمَرَنَا أَنْ نُكْرِيَهَا بِذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ.
Kami bias menyewakan lahan dengan hasil tanaman yang tumbuh di atas perairan dan dari sebagian hasil tanaman yang diairi dengan air dari saluran air. Lalu Rasulullah saw. melarang kami dari hal itu dan memerintahkan kami untuk menyewakan lahan dengan emas dan perak (HR Abu Dawud).
Para ulama yang membolehkan menyewakan lahan pertanian dengan emas dan perak menyatakan bahwa tiga riwayat di atas menunjukkan kebolehan menyewakan lahan dengan emas dan perak.
Jawaban atas argumentasi di atas adalah sebagai berikut:
Hadis pertama, Imam an-Nasa’i menyatakan bahwa yang marfu‘ dari hadits tersebut adalah larangan al-muhaqalah dan al-muzabanah. Adapun matan sisanya adalah perkataan Sa’id bin al-Musayyib. Di dalam Sunan an-Nasa’i disebutkan, “Israil memilahkannya dari Thaariq. Lalu beliau me-mursal-kan perkataan pertama dan menetapkan perkataan terakhir sebagai perkataan dari Sa’id bin al-Musayyib.”
Dengan demikian redaksi yang memboleh-kan sewa menyewa tanah dengan emas dan perak tidak absah dijadikan sebagai dalil.
Hadis kedua dan ketiga juga tidak abash dijadikan sebagai dalil. Pasalnya, kedua hadits tersebut disandarkan kepada Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Labibah. Ada pula yang mengatakan Ibnu Abiy Labibah. Seluruh ulama hadis tidak menganggap ia tsiqqah, kecuali Ibnu Hibban. Ibnu Hajar mengomentari beliau, dalam At-Taqrib, “Dia itu lemah (dha’if) dan banyak mursal-nya.”
Di dalam Kitab Mizan al-I’tidal, Al-Hafidz adz-Dzahabi berkata: Yahya berkata, “Hadisnya tidak bernilai sama sekali.” Imam Daruquthni berkata, “Dia itu lemah (dha’if). Ulama lain mengatakan ia (Ibnu Abi Labibah) tidak kuat.
Di dalam Kitab At-Tadzyil ‘ala at-Tahdzib disebutkan: Ibnu Abi Hatim berkata: Telah meriwayatkan kepada kami, Hammaad, telah meriwayatkan kepada kami, Basyar, yakni Ibnu ‘Umar, bahwa ia berkata, “Saya bertanya kepada Malik tentang Muhammad bin ‘Abdirrahman yang meriwayatkan hadits dari Sa’id bin al-Musayyib, dia menjawab, ‘Dia itu tidak tsiqqah.’
Adapun orang-orang yang menghasankan Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Labibah, seperti Al-Albani, maka peng-hasan-an mereka itu tidaklah mendalam. Sebabnya, mereka meng-hasan-kan dengan bersandar pada sejumlah penyaksi (syawahid).
Kelemahan itu tidak terjadi kecuali matannya memang bertentangan dengan riwayat yang sahih. Di akhir dua hadis di atas dituturkan bahwa Rasulullah saw. memerintahkan para Sahabat untuk menyewakan lahan dengan emas dan perak. Padahal di dalam hadis riwayat Imam al-Bukhari dari Rafi‘bin al-Khudaij ra disebutkan bahwa sewa lahan dengan emas dan perak belum terjadi pada saat itu (masa Nabi saw.).
Dengan kata lain, praktek sewa menyewa lahan dengan emas dan perak belum pernah terjadi di masa Nabi saw. Seandainya Nabi saw memang memerintahkan sewa lahan pertanian dengan emas dan perak, niscaya praktik itu pasti berlangsung, dan pasti diriwayatkan oleh para Sahabat. Akan tetapi, ternyata tak seorang pun Sahabat meriwayatkan praktek tersebut. Justru mereka menuturkan bahwa praktik tersebut belum pernah terjadi pada era Nabi saw.
Para ulama yang membolehkan praktik sewa lahan pertanian juga berdalil dengan praktek yang dilakukan masyarakat dan Ijmak Sahabat. Adapun praktik yang dilakukan masyarakat diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwa Ibnu Umar pernah menyewakan lahan pertanian pada masa Nabi saw., Abu Bakar, ‘Umar, dan ‘Utsman hingga era kekuasaan Muawiyah. Imam Ibnu al-‘Arabiy al-Maliki meriwayatkan adanya Ijmak Sahabat atas kebolehan sewa lahan tanah. Ini menunjukkan kebolehan menyewakan lahan pertanian.
Jawaban atas argumentasi ini adalah, sesungguhnya praktik yang dilakukan masyarakat bukanlah dalil syariah. Dalil syariah adalah nas syariah yang bersumber dari al-Quran dan Sunnah Nabi saw. Lagi pula riwayat mereka yang berasal dari Ibnu ‘Umar, bahwa beliau menyewakan lahan pertanian, tidak layak dijadikan sebagai dalil. Sebabnya, Ibnu ‘Umar, setelah mendengar hadis yang melarang penyewaan lahan pertanian, meninggalkan penyewaan lahan. Hal ini ditunjukkan oleh dua riwayat yang berasal dari beliau ra. Riwayat pertama dari Rafi` dari pamannya, bahwa Ibnu ‘Umar meninggalkan praktik menyewakan lahan. Riwayat kedua dituturkan dari Ibnu ‘Umar sendiri bahwa ia berkata, “Kami pernah memandang tidak mengapa melakukan al-muzara’ah (menyewakan lahan pertanian) hingga kami mendengar Rafi’ bin Khudaij mengatakan hadits (larangan menyewakan lahan).”
Dengan demikian, gugurlah berdalil dengan praktik masyarakat dan juga praktik sewa lahan yang dilakukan oleh Ibnu ‘Umar ra.
Adapun Ijmak Sahabat yang mereka klaim atas kebolehan sewa lahan, sesungguhnya yang terjadi adalah Ijmak Sahabat atas kebolehan al-musaqah (mengairi lahan pertanian), bukan atas sewa lahan pertanian. Kesimpulan ini didasarkan pada perilaku Rasulullah saw. yang mempekerjakan penduduk Yahudi Khaibar untuk mengairi lahan pertanian di Khaibar (musaqah). Ijmak Sahabat hanya berlaku atas kebolehan musaqah, bukan menyewakan lahan pertanian (muzara’ah). Sebabnya, Imam Ibnu al-‘Arabi—salah seorang perawi yang menuturkan adanya Ijmak tersebut—menuturkan di dalam syarh hadis itu, bahwa Nabi saw. mempekerjakan penduduk Khaibar, dan para Sahabat bersepakat atas kebolehan kontrak kerja tersebut (al-ijarah). Ijmak Sahabat yang mereka tuturkan sesungguhnya terjadi pada praktik musaqah. Bukan muzara’ah. Oleh karena itu, riwayat yang dituturkan Imam Ibnu al-‘Arabi tidak layak dijadikan dalil untuk menetapkan adanya Ijmak Sahabat atas kebolehan muzara’ah (sewa lahan pertanian). [Gus Syams, bersambung]
0 Comments