Ragam Peristiwa Dahsyat Pada Hari Kiamat

QS al-Qiyamah [75]: 6-12

يَسۡئَلُ أَيَّانَ يَوۡمُ ٱلۡقِيَٰمَةِ ٦ فَإِذَا بَرِقَ ٱلۡبَصَرُ ٧ وَخَسَفَ ٱلۡقَمَرُ ٨ وَجُمِعَ ٱلشَّمۡسُ وَٱلۡقَمَرُ ٩ يَقُولُ ٱلۡإِنسَٰنُ يَوۡمَئِذٍ أَيۡنَ ٱلۡمَفَرُّ ١٠ كَلَّا لَا وَزَرَ ١١ إِلَىٰ رَبِّكَ يَوۡمَئِذٍ ٱلۡمُسۡتَقَرُّ ١٢

Ia berkata, “Bilakah Hari Kiamat itu?” Jika mata terbelalak (ketakutan), jika bulan telah hilang cahayanya, juga jika matahari dan bulan dikumpulkan. Pada hari itu manusia berkata, “Ke mana tempat berlari?” Sekali-kali tidak! Tidak ada tempat berlindung! Hanya kepada Tuhanmu sajalah pada hari itu tempat kembali (QS al-Qiyamah [75]: 6-12)

 

Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman: Yas‘alu ayyâna yawm al-qiyâmah (Ia berkata, “Bilakah Hari Kiamat itu?”). Kata ayyâna merupakan istifhâm atau kata tanya yang bermakna ayyu hînin (bilakah), yakni pertanyaan tentang waktu sebagaimana kata matâ (kapan).1 Dengan demikian ayat ini bermakna matâ yawm al-qiyâmah (Kapankah Hari Kiamat itu).2

Dalam ayat ini tidak disebutkan secara terang siapa orang yang menyampaikan pertanyaan tersebut. Untuk memahami ini, harus kembali pada ayat sebelumnya. Di ayat itu diberitakan tentang adanya manusia yang terus-menerus berbuat fujûr atau kemaksiatan. Menurut Ibnu Abbas, itulah orang yang mendustakan Hari Kebangkitan dan Hisab. Menurut Said bin Jubair, mereka adalah kaum yang berbuat dosa dan menunda tobat.3

Bertolak dari pendapat Ibnu Abbas tersebut, orang yang bertanya dalam ayat ini adalah orang kafir. Kesimpulan itu juga disampaikan oleh al-Khazin.4

Pertanyaan dalam ayat ini mengandung makna pengingkaran, pendustaan, menganggap mustahil dan cemoohan. Hal ini dijelaskan oleh banyak para mufassir. Menurut asy-Syaukani, pertanyaan dalam ayat ini merupakan pertanyaan yang menganggap mustahil dan cemoohan untuk menyatakan ketidakpercayaan dan cemoohan.5 Syihabuddin al-Alusi dan Wahbah az-Zuhaili menyebutnya su’âl istihzâ‘ wa takdzîb (pertanyaan cemoohan dan pendustaan).6

Pertanyaan tersebut mengandung ketidakpercayaan terhadap Hari Kiamat dan mendustakan keberadaannya sebagaimana disebutkan QS Saba’ [34]: 29-30.7

Pertanyaan kemudian dijawab ayat berikutnya: Fa idzâ bariqa al-basharu (Jika mata terbelalak [ketakutan]). Ini adalah jawaban pertanyaan mereka. Hanya saja tidak memberikan jawaban kapan terjadinya. Yang disebutkan hanya berbagai peristiwa yang mengiringinya. Menurut Ibnu Jarir ath-Thabari, makna fa ‘idzâ bariqa adalah sangat takut, lalu terbelalak dan terbuka matanya karena dahsyatnya Kiamat dan ketakutan mereka terhadap kematian.8

Mata mereka terbelalak karena merasa ngeri lantaran menyaksikan pemandangan Hari Kiamat. Mata mereka terbelalak ke sana kemari tidak tentu karena dicekam oleh rasa takut yang sangat dahsyat.9

Dari penjelasan para mufassir itu dapat dipahami bahwa ketika Hari Kiamat tiba, mereka sangat takut sehingga mata mereka terbelalak dan tak berkedip menyaksikan berbagai kejadian yang menyeramkan.

Kemudian dilanjutkan dengan firman-Nya: wa khasafa al-qamar (jika bulan telah hilang cahayanya). Ini adalah peristiwa lainnya yang terjadi pada Hari Kiamat. Ayat ini bermakna cahaya bulan lenyap. Demikian menurut penjelasan banyak mufassir.10 Menurut al-Qurthubi, jika al-khusûf atau hilangnya cahaya bulan di dunia bisa kembali lagi, hilangnya cahaya bulan pada Hari Kiamat tidak akan kembali.11 Bisa juga bermakna: bulan itu ghâba atau tidak terlihat.12

Lalu dilanjutkan dengan firman-Nya: wa jumi’a al-syams wa al-qamar ([jika] matahari dan bulan dikumpulkan). Selain bulan, peristiwa yang sama juga terjadi pada bulan. Dalam ayat ini diberitakan bahwa matahari dan bulan dikumpulkan.

Ada beberapa penjelasan tentang makna ayat ini. Menurut al-Farra’ dan al-Zajjaj, matahari dan bulan dikumpulkan dalam hal hilangnya cahaya keduanya. Ketika itu matahari tidak bercahaya sebagaimana bulan.13 Dengan kata lain, keduanya sama-sama tidak bercahaya. Penjelasan ini dikemukakan banyak mufassir, seperti Ibnu Jarir ath-Thabari, asy-Syaukani, al-Jazairi, az-Zuhaili dan lain-lain.14

Menurut Mujahid, ayat tersebut bermakna matahari dan bulan kuwwirâ (digulung). Ini sebagaimana diberitakan dalam firman-Nya QS at-Takwir [81]: 1).15

Ada juga menafsirkan bahwa kedua benda angkasa itu benar-benar berkumpul. Jika dalam ayat lain diberitakan keduanya tidak saling bertemu, sebagaimama disebutkan dalam QS Yasin [36]: 40), maka pada Hari Kiamat keduanya akan saling bertemu dan berkumpul.16

Menurut al-Farra‘, kata al-mafarru bermakna mawdhi’ al-firâr (tempat lari, tempat berlindung).17 Pendapat senada dikatakan Ibnu Katsir. Menurut Ibnu Katsir, ayat ini bermakna: Apakah ada malja‘ atau maw‘il (tempat berlindung)?18

Menurut al-Mawardi, ada dua pengertian. Pertama, ke mana tempat lari dari Allah SWT lantaran malu kepada-Nya. Kedua, ke mana tempat lari dari neraka lantaran takut siksanya.19

Masih menurut al-Mawardi, terdapat perbedaan pendapat tentang manusia yang bertanya tersebut. Pertama, itu adalah perkataan orang-orang kafir pada Hari Kiamat. Kaum Mukmin tidak menanyakan hal ini karena meyakini berita gembira dari Tuhan mereka.20 Kedua, itu merupakan perkataan manusia secara umum, baik orang Mukmin maupun orang kafir, pada Hari Kiamat lantaran dahsyatnya Hari Kiamat yang mereka saksikan itu.21

Pertanyaan itu lalu dijawab dalam ayat berikutnya: Kallâ lâ wazara (Sekali-kali tidak! Tidak ada tempat berlindung!). Kata Kallâ (Sekali-kali tidak!). Ini merupakan radd[un] atau bantahan dari Allah SWT.22 Dengan kata lain, itu merupakan penolakan atas permintaan tempat berlindung.23

Lalu ditandaskan lagi pada firman-Nya: Lâ wazara (Tidak ada tempat berlindung!). Secara bahasa, kata al-wazar adalah segala sesuatu yang dijadikan sebagai tempat berlindung baik benteng, gunung, atau lainnya.24

Ibnu Jarir ath-Thabari memaknai ayat ini: “Tidak ada pelarian yang memberikan manfaat bagi pelakunya karena pelariannya tidak menyelamatkan dirinya. Juga, tidak ada satu pun yang bisa dijadikan tempat perlindungan, baik benteng maupun gunung, dari keputusan Allah SWT yang telah tiba. Itulah al-wazar.”25

Tak jauh berbeda, Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini: Tiada tempat bagimu untuk berlindung.26

Kemudian dilanjutkan dengan firman-Nya: Ilâ Rabbika yawma’idzin al-mustaqarra (Hanya kepada Tuhanmu sajalah pada hari itu tempat kembali). Ayat ini menandaskan ayat sebelumnya, bahwa tempat kembali manusia itu hanya kepada-Nya. Kata al-mustaqarr berarti al-marji’ wa al-mashîr (tempat kembali).27 Qatadah menafsirkan ayat ini dengan al-muntahâ (tempat akhir). Ini semakna dengan firman-Nya: Wa inna ilâ Rabbika al-muntahâ (Kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu) (QS an-Najm [53]: 42).28

Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Hanya kepada Tuhanmu, wahai manusia, pada hari itu tempat kembali. Dialah Zat Yang mengembalikan semua makhluk ciptaan-Nya ke tempat kembalinya.”29

 

Beberapa Pelajaran Penting

Terdapat banyak pelajaran penting dalam ayat-ayat ini. Di antaranya: Pertama, adanya manusia yang mengingkari dan menganggap mustahil Hari Kiamat. Hal senada juga diberitakan dalam QS Yunus [10]: 48, al-Anbiya‘ [21]: 38, al-Naml [17]: 71).30

Patut dicatat, untuk meyakini adanya Hari Kiamat bukan perkara sulit. Amat mudah bagi akal manusia untuk memahani dan meyakininya. Ketika Hari Kiamat telah Allah beritakan, maka pasti kebenarannya. Sebab, Dia tak mungkin berdusta. Dia pun pasti berkuasa mendatangkannya sekalipun akal manusia sulit untuk memahaminya.

Oleh karena itu, ketika ada yang mengingkarinya, dengan mudah membantah-nya, yakni ketika semua itu dikembalikan pada kekuasaan Allah SWT. Jika Allah SWT berkuasa untuk menciptakan manusia dari air yang hina, maka menghidupkannya kembali setelah kematiannya tentulah lebih mudah bagi-Nya. Tatkala mereka masih bersikukuh untuk mengingkarinya, berarti bukan didasarkan oleh akal dan argumentasi yang sahih. Namun didasarkan pada hawa nafsu.

Inilah yang terjadi pada orang yang mengingkari Hari Kiamat. Menurut Fakhruddin ar-Razi, pertanyaan yang diberitakan dalam ayat muncul dari nafsu syahwat. Ini dapat dipahami dari ayat sebelumnya: Bahkan manusia itu hendak membuat maksiat terus-menerus (TQS al-Qiyamah [3]: 6). Maknanya, orang yang tabiatnya cenderung mengumbar hawa nafsunya dan banyak mereguk kesenangan, nyaris tidak mau mengakui Hari Kiamat dan Kebangkitan agar tidak mengurangi kesenangannya. Lalu dia pun ingkar seraya menyatakan ejekan dan cemoohan, “Kapan Hari Kiamat?”31

Kedua, misteri waktu terjadinya Hari Kiamat. Dalam ayat al-Quran amat banyak diberitakan kepastian terjadinya Hari Kiamat. Akan tetapi, tak ada satu pun ayat dan hadis yang menjelaskan kapan terjadinya. Yang diberitakan adalah tanda-tanda akan terjadinya, berbagai peristiwa yang menyertainya, dan gambaran kehidupan akhirat.

Ini pula yang diberitakan ayat ini. Ketika ditanyakan kapan Hari Kiamat tiba, ayat-ayat ini hanya menjelaskan berbagai kejadian yang mengiringinya. Hal ini diberitakan mulai ayat enam hingga lima belas.

Peristiwa pertama yang diberitakan adalah terbelalaknya mata manusia. Ayat ini menggambarkan ketakutan manusia yang luar biasa tatkala menyaksikan dahsyatnya Hari Kiamat. Bagaimana tidak. Hari Kiamat yang diingkari itu benar-benar terjadi dangan amat menyeramkan. Apalagi keburukannya akan segera menimpa mereka. Wajarlah jika matanya terbelalak karena sangat kaget, panik dan takut. Peristiwa terbelalaknya mata manusia pada Hari Kiamat juga diberitakan dalam QS Ibrahim [14]: 42.

Peristiwa lainnya adalah hilangnya cahaya bulan. Berbeda halnya dengan hilangnya cahaya bulan ketika di dunia yang sifatnya hanya sementara sebagaimana pada gerhana, hilangnya cahaya di Hari Kiamat bersifat permanen, selamanya. Terjadi pula peristiwa matahari dan bulan dikumpulkan.

Ketiga, reaksi manusia ketika Hari Kiamat tiba. Dahsyatnya Hari Kiamat membuat manusia kebingungan dan panik mencari perlindungan. Mereka pun bertanya-tanya, ke mana mereka harus berlari untuk menyelamatkan diri keadaan yang sangat menyeramkan itu? Keinginan untuk mendapatkan perlindungan itu pun ditolak.

Kekuasaan, kekayaan dan keturunan yang dikejar mati-matian dan dibangga-banggakan selama di dunia, pada hari itu sama sekali tidak dapat melindungi mereka (lihat QS al-Mumtahanah [60]: 3 dan al-Haqqah [69]: 28-29).

Keempat, kesudahan nasib manusia. Ayat ini menjelaskan bahwa kematian bukan akhir kehidupan manusia. Setelah dimatikan, manusia akan dihidupkan lagi dan dikembalikan kepada Allah SWT. Kepada Dia tempat kembali seluruh manusia. Dia pun menetapkan tempat tinggal manusia di akhirat, di surga atau neraka.

Semua manusia akan dikembalikan kepada Allah. Hal ini banyak diberitakan di dalam al-Quran, seperti dalam QS al-Baqarah [2]: 28.

Setelah dikembalikan kepada Allah SWT, manusia diberi balasan atas semua perbuatan yang dia kerjakan (lihat: QS al-Baqarah [2]: 281). Demikianlah.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]

 

Catatan kaki:

1 Zainuddin al-Razi, Mukhtâr al-Shihhah (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 1999), 27

2 Ath-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24 (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 54; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19 (Kairo: al-Maktabah al-Mishriyyah, 1992), 95. Lihat juga Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 276-277; Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, vol. 10 (Beirut: Dar al-Kitab, 1420 H), 345

3 Ibnu al-Qayyim al-Jauzi, Zâd al-Mashîr, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 369

4 Al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl wa fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 371

5 Asy-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 404

6 Az-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29 (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1998), 252; al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 153.Penjelasan senada juga dikemukakan Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, vol. 10, 345; Ibnu Athiyah, al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 403

7 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 276

8 Ath-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 55

9 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 277

10 Ath-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 56. Lihat juga al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 96; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 277; al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 724

11 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 96; al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 405

12 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 96

13 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 96

14 Ath-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 57; al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 405; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 476; al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 252

15 Ath-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 57; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 277

16 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 725

17 Asy-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 405

18 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 277

19 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 97; al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 405

20 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 97. Di antara yang berpendapat demikian adalah al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 256; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 476

21 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 97

22 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 98

23 Al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15, 155; Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, vol. 10, 345

24 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 98

25 Ath-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 58

26 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 277

27 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 277

28 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 98

29 Ath-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 60

30 Az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1987), 660; al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30 (Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 723

31 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 730

 


0 Comments

Leave a Comment

17 + two =

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Lost Password