Bukti Kepastian Hari Kiamat
(QS al-Qiyamah [75]: 36-40)
أَيَحۡسَبُ ٱلۡإِنسَٰنُ أَن يُتۡرَكَ سُدًى ٣٦ أَلَمۡ يَكُ نُطۡفَةٗ مِّن مَّنِيّٖ يُمۡنَىٰ ٣٧ ثُمَّ كَانَ عَلَقَةٗ فَخَلَقَ فَسَوَّىٰ ٣٨ فَجَعَلَ مِنۡهُ ٱلزَّوۡجَيۡنِ ٱلذَّكَرَ وَٱلۡأُنثَىٰٓ ٣٩ أَلَيۡسَ ذَٰلِكَ بِقَٰدِرٍ عَلَىٰٓ أَن يُحۡـِۧيَ ٱلۡمَوۡتَىٰ ٤٠
Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)? Bukankah dia dulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim. Kemudian mani itu menjadi segumpal darah. Lalu Allah menciptakan dan menyempurnakannya. Kemudian Allah menjadikan darinya sepasang: laki-laki dan perempuan? Bukankah (Allah yang berbuat) demikian berkuasa (pula) menghidupkan orang mati? (QS al-Qiyamah [75]: 36-40)
Di awal surat ini disebutkan tentang adanya manusia yang mengira tidak akan dikumpulkan kembali oleh Allah SWT dalam firman-Nya: A yahsabu al-insân allan najma’u ‘izhâmahu (Apakah manusia mengira bahwa Kami tidak akan mengumpulkan [kembali] tulang-belulangnya?). Kemudian diulangi di akhir surat ini dengan firman-Nya: A yahsabu al-insânu an yutraka sudâ (Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja).
Ayat-ayat selanjutnya pun memberikan jawaban berupa hujjah tentang kekuasaan Allah SWT dalam menghidupkan kembali manusia yang sudah mati.
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: A yahsabu al-insân an yutraka suda[n] (Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja). Kata yahsabu bermakna yazhunnu (menyangka, mengira, menduga). Menurut al-Qurthubi, makna yahsabu al-insân adalah yazhunnu ibnu Âdam (manusia mengira atau menyangka).1
As-Sud[an] secara bahasa berarti al-muhmal (diabaikan dan dilalaikan).2 Dikatakan: Asdaytu ibilî isdâ’ (Aku benar-benar membiarkan untaku). Artinya: Ahmaltuhâ (Aku membiarkan atau mengabaikannya).3
Dalam konteks ayat ini, ada beberapa penjelasan dari para ulama. Sebagian mengatakan bahwa suda[n] di sini adalah manusia dibiarkan begitu saja tanpa diberi taklif hukum, baik berupa perintah maupun larangan. Di antara yang mengatakan demikian adalah Mujahid, Imam Syafi’i dan Ibnu Zaid bin Aslam. Maknanya, “Apakah manusia mengira bahwa dia tidak akan dikenai perintah dan larangan?”4
Menjelaskan ayat ini, Mujahid berkata, “Dia tidak diperintah dan tidak dilarang.”
As-Sudi berkata, “Yang tidak diwajibkan atas dirinya satu amal dan yang tidak dikerjakan.”5
Sebagian ahli tafsir lain mengatakan bahwa pengertian suda[n] di sini adalah tidak akan dibangkitkan, dimintai pertanggungjawaban, dihisab, dan diberi balasan. Begitu manusia mati, mereka dibiarkan begitu saja dan urusannya pun selesai.
Di antara yang berpendapat demikian adalah as-Sudi. Ahli tafsir itu mengatakan, maksud ayat ini adalah, “Apakah manusia mengira bahwa dirinya tidak dibangkitkan hidup kembali?”6
Ada pula yang mengambil semua makna itu. Ibnu Katsir berkata, “Makna lahiriah ayat ini menunjukkan pengertian umum yang mencakup kedua keadaan tersebut. Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa dia tidak dibiarkan begitu saja di dunia ini tanpa dikenai perintah dan larangan. Tidak dibiarkan pula di dalam kuburnya dengan sia-sia tanpa dibangkitkan kembali. Sebaliknya, dia diberi perintah dan larangan di dunia ini, lalu digiring kembali kepada Allah pada Hari Akhir setelah dibangkitkan.”7
Ibnu Jarir ath-Thabari juga berkata, “Apakah orang kafir itu mengira bahwa Allah akan membiarkan mereka tidak diperintah, tidak dilarang dan tidak diperintah beribadah dengan suatu ibadah?”8
Asy-Syaukani juga berkata, “Dibiarkan begitu saja. Tidak diperintah dan tidak dilarang. Tidak dihisab dan tidak dihukum.”9
Menurut Ibnu Katsir, ayat ini dimaksudkan untuk menguatkan adanya Hari Kebangkitan dan sekaligus menyanggah pendapat orang yang mengingkarinya dari kalangan orang-orang yang sesat, bodoh dan pengingkar kebenaran. Karena itulah dalam firman Allah selanjutnya disebutkan bukti yang menunjukkan adanya Hari Kebangkitan, dengan menyebutkan penciptaan manusia dari permulaannya.10
Kemudian Allah SWT berfirman: Alam yaku nuthfat[an] min maniyy yumnâ (Bukankah dia dulu setetes mani yang ditumpahkan). Ayat ini menegaskan bahwa manusia sebelumnya benar-benar merupakan nuthfah. Ayat ini mengingatkan manusia tentang asal-usulnya. Istifhâm atau kalimat tanya dalam ayat ini bermakna at-taqrîr (menetapkan). Artinya, manusia sebelumnya benar-benar adalah setetes mani yang ditumpahkan.
Secara bahasa, kata an-nuthfah awalnya bermakna al-mâ‘ al-qalîl (air yang sedikit). Kemudian kata tersebut digunakan untuk menyebut air mani yang sedikit dari tulang sulbi laki-laki.11
Disebutkan bahwa tetesan air mani itu yumnâ (ditumpahkan), yakni ditumpahkan dari tulang sulbi laki-laki ke dalam rahim wanita. Itulah asal-usul manusia. Ibnu Katsir berkata, “Tidakkah manusia ingat bahwa asal dirinya adalah nutfah yang lemah dari air yang hina, yang dipancarkan dari tulang sulbi laki-laki ke dalam rahim wanita.”12
Tentang air mani dipancarkan atau ditumpahkan juga disebutkan dalam beberapa ayat lainnya, seperti dalam QS an-Najm [53]: 46 dan al-Waqi’ah [56]: 58.
Kemudian dilanjutkan: Tsumma kâna ‘alaqah fakhalaqa fasawwâ (Kemudian mani itu menjadi segumpal darah. Lalu Allah menciptakan dan menyempurnakannya).
Setelah sebelumnya hanya berupa air mani yang ditumpahkan ke dalam rahim wanita, kemudian air mani itu berubah menjadi ‘alaqah (gumpalan darah). Lalu Allah SWT menciptakan dan menyempurnakannya. Pengertian fakhalaqa (Lalu Dia menciptakan) adalah meniupkan ruh. Fasawwâ (dan menyempurnakannya), berarti menyempurnakan organ-organ tubuhnya. Menurut Fakhruddin ar-Razi, ini merupakan pendapat Ibnu Abbas dan Muqatil.13
Kemudian Allah SWT berfirman: Faja’ala minhu al-zawjayni adz-dzakara wa al-untsâ (Lalu Allah menjadikan darinya sepasang: laki-laki dan perempuan). Dhamîr al-hâ‘ pada kata minhu (darinya) kembali kepada al-insân (manusia). Artinya, dari manusia.14 Dengan demikian ayat ini memberitahukan bahwa dari manusia itu dijadikan dua jenis yang berpasangan. Dua jenis itu adalah adz-dzakara wa al-untsâ, yang berarti ar-rajul wa al-mar‘ah (laki-laki dan manusia).15
Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Allah menjadikan dari manusia itu—setelah Dia sempurnakan—makhluk sempurna yang memiliki anak-anak laki-laki dan perempuan.”16
Realitas itu merupakan bukti tak terbantahkan tentang kekuaasaan Allah SWT. Bukti itu pun dijadikan sebagai bukti kekuasaan Allah SWT untuk menghidupkan manusia kembali sesudah kematiannya sebagaimana disebutkan dalam ayat berikutnya: Alaysa dzâlika biqâdir[in] an yuhyiya al-mawtâ (Bukankah [Allah yang berbuat] demikian berkuasa [pula] menghidupkan orang mati). Huruf hamzah di awal ayat ini merupakan istifhâm (kalimat tanya). Susunan pertanyaan demikian menggiring pihak yang ditanya untuk membenarkan dan menetapkan kalimat yang disebutkan sesudahnya.
Menurut al-Qurthubi, firman-Nya: Alaysaa dzâlika biqâdir[in] maksudnya: Bukankan Zat Yang berkuasa menciptakan gumpalan darah dari tetesan air itu, biqâdir[in] an yuhyiya al-mawtâ, maksudnya: berkuasa pula mengembalikan tubuh tubuh ini seperti semula pada Hari Kebangkitan setelah hancur.17
Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Maksudnya, bukankah yang bisa melaksanakan hal itu—yang telah menciptakan manusia dari air mani, kemudian menjadi gumpalan darah, hingga berubah menjadi manusia yang memiliki keturunan, baik laki-laki maupun perempuan—memiliki kemampuan untuk menghidupkan orang yang telah meninggal dari kematian mereka; membuat mereka sebagaimana mereka sebelum kematian mereka.”18
Ditegaskan juga, “Telah dipahami bahwa yang mampu menciptakan manusia dari air mani yang dipancarkan, hingga mengubahnya menjadi manusia yang sempurna, tidak akan kesulitan untuk menghidupkan yang sudah mati.”19
Ibnu Katsir berkata, “Artinya, bukankah Tuhan yang menciptakan makhluk yang sempurna ini dari nutfah yang lemah berkuasa pula untuk mengembalikannya hidup seperti semula ketika Dia menciptakannya?”20
Bahkan Allah SWT berfirman:
وَهُوَ ٱلَّذِي يَبۡدَؤُاْ ٱلۡخَلۡقَ ثُمَّ يُعِيدُهُۥ وَهُوَ أَهۡوَنُ عَلَيۡهِۚ ٢٧
Dialah Yang menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian mengembalikan (menghidupkan)-nya kembali, dan menghidupkan kembali itu adalah lebih mudah bagi Dia (QS ar-Rum [30]: 27).21
Beberapa Pelajaran Penting
Dalam ayat-ayat ini terdapat banyak pelajaran penting. Di antaranya: Pertama, manusia tidak dibiarkan sia-sia begitu saja. Sebagaimana telah dijelaskan, ayat ini merupakan bantahan dan celaan bagi orang yang menganggap manusia dibiarkan terabaikan. Maksudnya, manusia tidak diberi taklif hukum ketika di dunia serta tidak dimintai pertanggungjawaban dan diberikan balasan di akhirat. Mahasuci Allah SWT dari segala kesia-siaan (Lihat juga QS al-Mukminun [23]: 115).
Yang terjadi justru sebaliknya. Setelah diciptakan, manusia diberi taklif hukum yang wajib ditaati selama hidup di dunia. Setelah mati, manusia akan dibangkitkan dan dihidupkan lagi pada Hari Kiamat untuk dihisab, dimintai pertanggungjawaban serta diberi balasan atas keterikatakan dengan hukum yang ditaklifkan ketika hidup di dunia.
Kedua, ayat ini mengingatkan asal-muasal manusia. Sebelumnya manusia hanyalah tetesan air mani yang ditumpahkan ke dalam rahim. Kemudian dijadikan segumpal darah. Lalu diciptakan dan disempurnakan menjadi manusia yang memiliki nyawa. Juga, bisa mendengar, melihat, berbicara dan memiliki akal. Semua itu tidak terjadi dengan sendiri. Juga bukan atas kehendak dan kekuasaan dia atau orangtuanya. Semuanya itu adalah kehendak dan kekuasaan Allah SWT. Karena itu sungguh keterlaluan jika ada manusia yang mengingkari Allah, apalagi menjadi musuh-Nya (Lihat: QS Yasin [36]: 77).
Ketiga, jenis manusia: laki-laki dan perempuan. Hal ini juga dijelaskan dalam beberapa ayat lainnya (Lihat, misalnya, QS al-Lail [92]: 3; QS al-Naba [78]: 8).
Dengan demikian jelas, manusia yang diciptakan Allah SWT hanya terdiri dari dua jenis. Tidak ada jenis yang lain.
Keempat, bukti kekuasaan Allah SWT dalam menghidupkan manusia kembali sesudah mati. Jika Allah SWT mampu menciptakan manusia dan menghidupkan manusia dari tetesan air mani, maka untuk menghidupkannya kembali tentu jauh lebih mampu (Lihat: QS ar-Rum [30]: 27).
Ini adalah sesuatu yang amat diterima oleh akal sehat. Karena itu tidak ada alasan sama sekali bagi manusia menolak dan mengingkari adanya Hari Kebangkitan dan Hari Kiamat.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]
Catatan kaki:
1 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19 (Kairo: al-Maktabah al-Mishriyyah, 1992), 116
2 Abu Bakar al-Razi, Mukhtâr al-Shihhah (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 1999), 145; Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, 14 (Beirut: Dar Shadir, 1994), 374; al-Syaukani, Fat-ha al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibn Katsir, 1994), 411; al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30 (Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 737
3 al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 737
4 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 283. Lihat juga al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 116
5 al-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24 (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 83
6 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 283
7 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 283
8 al-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 82
9 al-Syaukani, Fat-ha al-Qadîr, vol. 5, 411
10 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 283
11 al-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 83
12 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 283
13 al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 737
14 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 117
15 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 117
16 al-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 83
17 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 117
18 al-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 83
19 al-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 84
20 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 283
21 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 283
0 Comments