Motif Politik Di Balik Isu Rekontekstualisasi

Lord Curzon, Menteri Luar Negeri Inggris pada tahun 1924, saat mengomentari keruntuhan Khilafah, berkata: “The point at issue is that Turkey has been destroyed and shall never rise again, because we have destroyed her spiritual power: the Caliphate and Islam.”

Namun, Curzon juga memberikan peringatan, “Kita harus mengakhiri segala hal yang dapat membangkitkan kesatuan Islam pada anak-anak Islam.”

Charles Clarke, Menteri Dalam Negeri Inggris, tahun 2005, di hadapan Heritage Foundation mengatakan, “…there can be no negotiation about the re-creation of the Caliphate. There can be no negotiation about the imposition of Syariah (Islamic) law…”

Jadi jangan heran, saat George W Bush, Presiden Amerika pada 8 Oktober 2005, menyatakan, “The militants believe that controlling one country will rally the Muslim masses, enabling them to overthrow all moderate government in the region, and establish a radical islamic empire that span from Spain to Indonesia.”

Demikianlah penegasan penjajah Inggris, sebagaimana juga Amerika, ketika mengakhiri keberadaan Khilafah Islam sebagai pelaksana seluruh syariah Islam. Mereka telah bersumpah untuk melakukan segala apapun (tidak ada negosiasi, no negotiation) untuk menghalangi tegaknya kebangkitan Islam.

Barat menegaskan perang tidak akan pernah berhenti. Dari perang yang sifatnya fisik dan militer ke perang pemikiran. Semuanya bermakna satu. Perang terhadap Islam. Hanya berganti cara untuk memastikan bahwa Islam dan kaum Muslim tidak akan pernah bangkit, serta senantiasa dalam kondisi yang tercengkeram dalam dominasi dan penjajahan mereka.

Untuk itu di antara gagasan yang dilontarkan adalah rekontekstualisasi fikih Islam.

 

Di Balik Rekontekstualisasi

Ide rekontekstualisasi atau reaktualisasi fikih Islam pada hakikatnya bukan ide baru. Ini ide usang. Inti ide ini adalah upaya meletakkan fikih Islam pada fakta, konteks baru dan hal aktual. Konteks dan hal aktual yang dimaksud adalah gagasan Barat. Dengan demikin makna hakiki ide ini sebagaimana yang digagas para pelontarnya adalah menundukkan Islam pada paradigma Barat sekular.

Gagasan ini sebenarnya adalah bentuk sikap rendah diri (minder wardeg complex), inferior-complex, terhadap gagasan dan sistem hidup Barat. Lebih jauh gagasan ini adalah perwujudan diabolisme intelektual (pembangkangan terhadap syariah).

Sekularisme adalah paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Sebuah ide yang lahir dari pengalaman gelap dan berdarah dari Barat ketika mereka dipaksa mengkompromikan kekuasaan (kerajaan) dan agama (gereja katolik). Secara faktual, sekularisme menghasilkan kemajuan ilmu dan teknologi bagi Barat, tetapi tidak pada arah dan tujuan hidup yang hakiki. Mereka maju secara material, tetapi gagal dalam menjalani kehidupan yang sesuai dengan fitrah manusia, memuaskan akal dan menentramkan jiwa insani.

Sekularisme ini melahirkan sistem ekonomi kapitalistik yang meminggirkan peran negara. Lahirlah negara korporasi. Di bidang pemerintahan lahirlah demokrasi yang berbasis kedaulatan rakyat, menggantikan kedaulatan Tuhan (teokrasi). Pada praktikya, demokrasi ini selalu dibajak dan dikendalikan oleh segelintir penguasa modal atau kapital, membentuk kelompok oligarki yang mendiktekan agenda dan narasi penindasan kepada rakyat.

Ketika sekularisme ini diimplementasikan maka negara kapitalis menggunakan metode penjajahan (kolonialisme, imperialisme), penguasaan fisik dan militer. Namun, penjajahan fisik ini mendapatkan berbagai perlawanan di setiap koloni, termasuk di Dunia Islam.

Perlawanan fisik di negara koloni memaksa para penjajah Barat mengubah pendekatan dengan penjajahan gaya baru (neo-imperialisme) melalui pengendalian ekonomi, pemikiran dan budaya. Menjelmalah perang baru yang sering tidak disadari oleh banyak kalangan, sebagai perang pemikiran dan budaya (ghazwul fikri wa tsaqafi). Dalam berbagai varian, disebut juga perang istilah (harbul musthalahat), juga disebut perang proksi (proxy war) atau perang asimetris (menggunakan pihak ketiga dalam melumpuhkan lawan).

 

Siapa Sponsornya?

Sponsor dari ide rekontekstualisasi ini adalah : (1) Penjajah Barat; (2) penguasa yang menjadi kepanjangan tangan (proxy) Barat.

Penjajah kafir Barat berusaha melanggengkan penjajahan gaya baru ke Dunia Islam, melalui hutang luar negeri yang menjadi jebakan hutang (debt-trap) dan perampokan sumber daya alam (kasus Freeport).

Para penguasa yang menjadi boneka Barat, di dalam negeri didukung oleh: (1) para intelektual (termasuk birokrat) didikan Barat yang menjadi penentu kebijakan politik dan ekonomi; (2) kekuatan para pengusaha hitam; (3) militer.

Semua itu menjadikan mereka leluasa memaksakan narasi-narasi kebencian terhadap Islam, juga narasi rekontekstualisasi-reaktualisasi Islam dengan dalih pendekatan ilmiah melalui konferensi internasional.

Mereka mengalami kekhawatiran melihat kebangkitan Islam di seluruh dunia yang ini terlihat dari berbagai hasil survei dunia. Karena itu upaya membendung kebangkitan Islam ini adalah dengan adanya upaya memetakan kekuatan yang berkembang. Merangkul yang akan dijadikan sebagai teman (pendekatan carrot) dan memukul yang dijadikan sebagai musuh (pendekatan stick).

 

Motif Politik Busuk

Ada setidaknya tiga kepentingan politik di balik ide rekontekstualisasi (baca: sekularisasi) ini. Pertama: Dominasi (domination). Dominasi adalah penguasaan secara paksa oleh pihak yang lebih kuat terhadap yang lebih lemah (dalam bidang politik, militer, ekonomi, dll.). Dominasi atas pemahaman fikih Islam yang sesuai keinginan Barat akan membuat umat Islam lemah, minder, tunduk dan kehilangan nalar kritis dalam memberikan solusi permasalahan dengan perspektif Islam.

Kedua: Hegemoni (hegemony). Makna hegemoni adalah pengaruh kepemimpinan, kekuasaan dan sebagainya dari suatu negara atas negara lain (atau negara bagian), dalam bentuk kooptasi institusional, manipulasi sistematis atas teks dan tafsirnya. Hegemoni akan membuat arah politik dari penguasa Muslim dan para intelektual pembebeknya akan bergantung pada Barat. Tidak pernah mandiri dalam bersikap dan bertindak.

Ketiga: Pelanggengan penjajahan gaya baru (neo imperialism) di semua bidang. Termasuk di bidang pemikiran (hukum Islam). Penjajahan gaya baru akan membuat kaum Muslim senantiasa menjadi objek (maf’ul) dan ada dalam relasi subordinasi dalam menentukan masa depannya dan mengelola semua potensinya.

 

Inilah tokoh-tokohnya

Sejak masuknya Prancis ke Mesir pada 1798 dan Inggris pada 1802, maka tidak sampai seratus tahun, muncul upaya pembaruan ala Barat dari Rifa’ah ath-Thahthawi (1801-1873 M), Qasim Amin (1863-1908), Thaha Husein (1889-1976), Ali Abdur Raziq(1925) di Mesir.

Kemudian disusul Mustafa Kemal Pasha (Turki) yang didukung Inggris. Dia menjadi tokoh utama penghancuran khilafah Islam di Istanbul pada 3 Maret 1924. Setelah itu seruan untuk menghilangkan ciri keislaman, yang kemudian dikenal dengan “Kemalisme”, menjelma menjadi sangat anti Islam.

Di Indonesia, sejak zaman Belanda upaya untuk mengkerdilkan Islam sudah berlangsung di bawah arahan Snouck Hurgronje. Belanda mendukung pengembangan agama dalam bidang ritual, tetapi mencegahnya untuk berperan dalam bidang politik. Disusul dengan penghilangan tujuh kata dalam piagam Jakarta pada awal kemerdekaan, 18 Agustus 1945. Orde Lama di bawah Sukarno menjadi condong ke Nasakom (nasionalis, agama (ritual), komunisme). Setelah Orde Lama ditumbangkan, masa Orde Baru di bawah Suharto melahirkan narasi kebencian pada Islam, mulai dari penggabungan partai Islam, seruan sekularisasi Nurcholis Madjid, dengan slogan “Islam Yes, Partai Islam No”, kemudian gagasan reorientasi pendidikan agama zaman Menteri agama Mukti Ali (1971-1978). Pengiriman dosen IAIN ke luar negeri, khususnya Kanada dan Amerika pada masa Munawir Sjadzali menjadi Menteri Agama (1983-1993) diklaim untuk memperluas wawasan keilmuan dan mempelajari metode kritis dalam mengkaji agama. Namun, hal itu juga untuk mengimbangi maraknya kajian agama di kampus umum. Lontaran ide rekontekstualisasi dan reaktualisasi Islam oleh Munawir Sjadzali sendiri mendapatkan penolakan keras dari berbagai tokoh Muslim.

 

Terkait Agenda Politik Global Barat

Semua upaya rekontekstualisasi Islam ini sejalan dan terkait dengan agenda politik global Barat. Hal itu terlihat pasca peledakan Gedung WTC Amerika 11 September 2001(dikenal dengan peristiwa 9/11). Barat melancarkan perang melawan terorisme. Bush menabuh genderang dengan semangat perang (salib), dengan pernyataan, “Either you are with us or with terrorist”. Lalu AS menginvasi Afganistan dan Irak. Secara fisik, tujuan perang ini adalah untuk melumpuhkan kelompok militant, namun untuk jangka panjang adalah untuk modernisasi Islam.

Pada 2004, Daniel Pipes, pendiri Middle East Forum, yang juga dikenal sebagai dalang gerakan Islamophobia, menulis sebuah artikel berjudul “Rand Corporation and Fixing Islam”. Harapan Pipes untuk memodifikasi Islam kemudian diterjemahkan dalam sebuah strategi oleh peneliti Rand Corporation, Cheryl Benard dalam buku Civil Democatic Islam: Partner, Resourses, Strategies. Benard menyebut misi ini dengan istilah religious building, upaya untuk membangun agama Islam alternatif (yang tunduk pada Barat), jauh lebih menakutkan dibandingkan dengan misi nation building.

Pada tahun 2007, dalam buku Building Moderate Muslim Network, Benard memaparkan strategi untuk membangun jaringan Muslim moderat pro-Barat di seluruh dunia. Strategi ini disusun atas pembiayaan Smith Foundation dan Rand Corporation yang berafiliasi ke Zionisme Internasional.

Apa agenda dan strategi utama, dalam kedua buku dari Rand Corp tersebut? Secara singkat ada tiga poin utama. Pertama: Upaya umat Islam untuk kembali pada kemurnian ajaran setelah periode keterbelakangan dan ketidakberdayaan Dunia Islam yang panjang dipandang sebagai suatu ancaman bagi Barat, terhadap peradaban dunia modern dan bisa mengantarkan pada benturan peradaban (clash of civilization).

Kedua: Agar tidak menjadi ancaman, Dunia Islam harus dibuat ramah terhadap demokrasi dan modernitas (termasuk reorientasi, reaktualisasi, dan rekontekstualisasi Islam) serta mematuhi aturan-aturan internasional untuk menciptakan perdamaian global.

Ketiga: Karena itu diperlukan pemetaan kekuatan dan pemilahan kelompok Islam untuk mengetahui siapa kawan dan lawan bagi Barat, mana yang ingin diperkuat, siapa akan dijadikan anak didik, siapa yang akan dihantam, dan pengaturan strategi dengan pengolahan sumber daya yang ada di Dunia Islam.

Bagaimana detail strategi Barat menghalangi tegaknya Islam dan Khilafah menurut Rand Corporation ini? Mereka melakukan upaya memecah-belah umat dengan melakukan klasifikasi terhadap umat Islam berdasarkan kecenderungan dan sikap politik mereka terhadap Barat dan nilai-nilai demokrasi.

Umat Islam dibagi ke dalam empat kelompok. Pertama: Kelompok Fundamentalis, yang menolak nilai-nilai demokrasi dan kebudayaan Barat kontemporer. Menginginkan sebuah negara otoriter yang puritan yang akan dapat menerapkan hukum Islam yang ekstrem dan moralitas.

Kedua: Kelompok Tradisionalis, yang menginginkan suatu masyarakat yang konservatif. Mereka mencurigai modernitas, inovasi, dan perubahan.

Ketiga, Kelompok Modernis, yang ingin Dunia Islam menjadi bagian modernitas global. Mereka ingin memodernkan dan mereformasi Islam dan menyesuaikannya dengan zaman.

Keempat, Kelompok Sekularis, yang ingin Dunia Islam dapat menerima pemisahan antara agama dan negara dengan cara seperti yang dilakukan negara-negara demokrasi industri Barat, dengan agama dibatasi pada lingkup pribadi.

Setelah membagi-bagi umat Islam atas empat kelompok itu, langkah berikutnya yang direkomendasi Rand Corporation adalah politik belah bambu. Mendukung satu pihak dan menjatuhkan pihak lain, lalu membentrokkan antar kelompok tersebut. Pertama, mendukung kelompok modernis. Kedua, mendukung kelompok tradisionalis melawan kelompok fundamentalis. Ketiga, menghadapi dan melawan kelompok fundamentalis. Keempat, secara selektif mendukung kaum sekular.

Intinya mereka ingin membentuk ’‘Islam ala Rand Corp”, yang tunduk kepada Barat dan dalam kendali Barat. Melumpuhkan konsep kunci dalam Islam, seperti jihad dan khilafah. Menafsirkan ulang (rekontekstualisasi atau reaktulisasi) fikih islam. Mendorong moderasi beragama yang pada hakikatnya adalah sekuleristik dalam beragama. Mengokohkan sekulerisme Barat. Menurut mereka, agama hanya menjadi insipirasi bukan aspirasi. Agama tidak relevan untuk mengatur kehidupan. Semua ini adalah konsepsi yang rapuh, serapuh sarang laba-laba.

Inilah secara politik yang disebut dominasi, hegemoni dan penjajahan gaya baru dari Barat di dunia Islam.

 

Bagaimana Umat Harus Bersikap?

Umat Islam harus terus waspada, bersikap kritis dan menolak tegas ide rekontekstualisasi atau reaktualisasi (apapun nama dan jenisnya), yang sebenarnya adalah perwujudan sekularisme dalam menghancurkan fikih Islam. Umat Islam harus terus berjuang secara kolektif secara pemikiran dan politik. Mereka harus memfokuskan dakwahnya dalam rangka melanjutkan kehidupan Islam (isti’naful hayatil Islam), melalui tegaknya syariah Islam secara kaffah di bawah naungan Khilafah Islamiyah.

Pada waktunya Islam dan umat Islam akan mampu menggantikan dominasi Barat yang destruktif dengan peradaban Islam yang mulia, menjadi rahmatan lil ‘alamin, menjadi umat terbaik (khairu ummah) dan umat yang adil (ummatan wasatha). Bukan umat yang moderat. [Dr. Riyan, M.Ag.; (Pengamat Politik Islam dan Militer)]

 

 

0 Comments

Leave a Comment

16 − eleven =

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Lost Password