Jangan Sia-siakan Usia Kita

Tak terasa, kita kembali ada di penghujung tahun. Tahun 2022 segera berakhir. Tahun baru, yakni Tahun 2023, segera tiba. Terkait itu, kita pantas merenungkan firman Allah SWT (yang artinya): Demi masa. Sungguh manusia benar-benar dalam kerugian, kecuali mereka yang beriman, mengerjakan amal shalih serta saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran (QS al-’Ashr [103]:1-3).

Jelas, waktu (baca: umur) adalah modal manusia yang terus berkurang. Inilah yang menjadikan manusia merugi, kecuali jika modal (waktu/umur)-nya digunakan utuk selalu taat kepada Allah SWT.

Karena itulah Rasulullah saw. mengingatkan kita agar kita tidak merugi. Sabda beliau, “Manfaatkanlah lima perkara sebelum datang lima perkara: masa muda (kekuatan)-mu sebelum datang masa tua (kelemahan)-mu; masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu; masa kaya (kecukupan)-mu sebelum datang masa kefakiran (kekurangan)-mu; waktu lapangmu sebelum datang masa sempitmu.” (HR al-Baihaqi, Al-Adab, 498; Al-Baghawi, Tafsiir al-Baghawi, 3/544; Al-Mundziri, At-Targhiib wa at-Tarhiib, 2/203).

Menguatkan sabda Rasulullah saw. di atas, Imam Ali ra. pernah memberi nasihat, “Dari sekian banyak nikmat dunia, cukuplah Islam sebagai nikmat bagimu. Dari sekian banyak kesibukan, cukuplah ketaatan menjadi kesibukanmu. Dari sekian banyak pelajaran, cukuplah kematian menjadi pelajaran bagimu.” (Imam an-Nawawi, Nashaa’ih al-’Ibaad, hlm. 18).

Sepanjang apapun umur manusia, tetap ia akan mati. Saat mati, lalu manusia menghadap Allah SWT di akhirat, ia akan dihisab. Hisab Allah SWT atas manusia di akhirat nanti bukanlah perkara ringan. Bahkan sekaliber Abu Bakar ash-Shiddiq ra. tetap merasa khawatir. Karena itu saat suatu ketika beliau pernah melewati seekor burung yang sedang hinggap di suatu pohon, beliau berkata, “Berbahagialah engkau, wahai burung. Engkau terbang, lalu hinggap di pohon, kemudian makan buahnya dan selanjutnya engkau terbang lagi; sementara engkau tidak akan dihisab dan diazab oleh Allah SWT. Duhai, andai saja aku seperti dirimu…” (Al-Baihaqi, Syu’ab al-Iimaan, 2/228; Ibnu Abi Syaibah, Al-Mushannaf, 7/91).

Abu Bakar ash-Shiddiq ra. adalah salah seorang Sahabat yang dijamin masuk surga sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah saw. (HR Ahmad dan at-Tirmidzi). Namun begitu, beliau memiliki rasa takut yang luar biasa terhadap hisab dan azab Allah SWT sehingga berangan-angan menjadi seekor burung saja agar tidak ada peluang untuk dihisab dan diazab di akhirat. Lalu bagaimana dengan kita yang tak dijamin masuk surga?! Tidakkah kita lebih takut akan hisab dan azab Allah SWT di akhirat nanti?!

Tentu saja kita takut. Rasa takut kita terhadap hisab dan azab Allah SWT sudah selayaknya mendorong kita untuk selalu taat kepada-Nya, sebelum kita menyesal di akhirat. Sebabnya, kata Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahulLah, “Sungguh kebanyakan orang-orang yang telah diwafatkan berangan-angan bisa hidup kembali meski hanya sesaat saja agar bisa bertobat dan bersungguh-sungguh melakukan ketaatan kepada Allah SWT. Padahal hal demikian adalah mustahil bagi mereka.” (Ibnu Rajab, Lathaa’if al-Ma’aarif, hlm. 727).

Karena itu sepantasnya kita segera bertobat sebelum ajal mendekat. Selayaknya kita bersungguh-sungguh taat kepada Allah SWT mumpung masih hidup di dunia sebelum tobat dan taat itu tak ada gunanya lagi di akhirat. Janganlah kita merasa hidup kita bakal lama, lalu kita lengah dan lalai. Kita perlu berlajar kepada para Sahabat Rasulullah saw. Sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahulLaah, “Banyak Sahabat Nabi saw. menunaikan shalat witir pada awal malam (sebelum tidur, pen.). Di antara mereka adalah Abu Bakar ash-Shiddiq ra., Ustman bin ‘Affan ra., Abu Hurairah ra., Abu Dzarr dan Abu ad-Darda’ ra. Mereka melakukan demikian karena khawatir meninggal saat tidur (sehingga tidak sempat menunaikan shalat witir, pen.). Mereka benar-benar pendek angan-angan (tak pernah membayangkan esok-lusa masih tetap hidup, pen.). (Ibnu Hajar, Fath al-Baari, 9/161).

Di sinilah pentingnya kita untuk selalu istiqamah dalam ketaatan kepada Allah SWT sampai akhir hayat kita. Inilah juga nasihat Rasulullah saw. kepada seorang Sahabat saat dia meminta nasihat kepada beliau, “Wahai Rasulullah, ajarilah aku dari Islam ini suatu ucapan yang mana aku tidak perlu lagi bertanya tentang hal itu kepada orang lain setelah engkau.” Beliau menjawab, “Katakanlah, ‘Aku beriman kepada Allah,’ kemudian beristiqamahlah!” (HR Ahmad).

Menurut Imam Ibnu Rajab, “Wasiat Nabi saw. ini sudah mencakup wasiat dalam agama ini seluruhnya.” (Ibn Rajab al-Hanbali, Jaami’ al-‘Uluum wa al-Hikam, hlm. 246).

Istiqamah adalah menempuh jalan (agama) yang lurus (benar) tanpa berpaling ke kiri maupun ke kanan. Istiqamah mencakup pelaksanaan semua bentuk ketaatan kepada Allah SWT. Lahir dan batin. Meninggalkan semua bentuk larangan-Nya. Inilah pengertian istiqamah yang disebutkan oleh Ibnu Rajab al-Hanbali.

Imam an-Nawawi dalam Bahjah an-Nazhiriin, Syarh Riyaadh ash-Shaalihiin juga berkata, “Para ulama menafsirkan istiqâmah dengan luzuum thaa’atilLaah Artinya, tetap konsisten dalam ketaatan kepada Allah SWT.”

Sayangnya, untuk selalu istiqamah dalam ketaatan kepada Allah SWT tidaklah selalu mudah. Pasalnya, sering godaan nikmat duniawi memalingkan kita dari ketaatan kepada Allah SWT. Jika demikian keadaannya, kita mesti selalu menyadari bahwa kesenangan, kebahagiaan dan kenikmatan apapun di dunia ini sangat sedikit (HR Muslim). Selain amat sedikit, semua nikmat duniawi juga bersifat sementara dan fana. Kematian akan menghentikan semua itu. Cepat atau lambat.

Karena itu, yuk kita selalu berusaha istiqamah dalam ketaatan kepada Allah SWT. Apalagi, sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ibnu Katsir dan Imam as-Sa’adi serta ulama lainnya rahimahumulLaah, “Sungguh siapa saja yang hidup di atas suatu kebiasaan tertentu, ia pun akan diwafatkan di atas kebiasaan tersebut.” (Ibnu Katsir, Tafsiir al-Qur’aan al-’Azhiim, 2/101; As-Sa’adi, Taysiir al-Kariim ar-Rahmaan fii Tafsiir Kalaam al-Manaan, 1/130).

Artinya, jika kita hidup senantiasa dalam ketaatan kepada Allah SWT, insya Allah kita pun diwafatkan dalam keadaan yang sama.

Wa mâ tawfîqi illâ bilLâh. [ABI]

 

 

 

0 Comments

Leave a Comment

eighteen − eight =

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Lost Password