Jaminan Keberlangsungan Produktivitas Tanah

عَنْ عَمْرُو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ الله صلى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقْطَعَ لِأُنَاسٍ مِنْ مُزَيْنَةَ أَوْ جُهَيْنَةَ أَرضًا؛ فَلم يعرموها فَجَاءَ قَوْمٌ فَعَمَرُوهَا فَخَاصَمَهُمُ الْجَهْنِيّوْنَ أَوِ الْمُزَنِيُّونَ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ الله تَعَالَى عَنْهُ؛ فَقَالَ: لَوْ كَانَتْ مِنِّي أَوْ مِنْ أَبِي بَكْرٍ لَرَدَدْتُهَا؛ وَلَكِنَّهَا قَطِيعَةٌ مِنْ رَسُولِ الله صَلَّى االله عَلَيْهِ وَسَلَّم. ثُمَّ قَالَ : مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ ثُمَّ تَرَكَهَا ثلَاثَ سِنِينَ فَلَمْ يَعْمُرَهَا فعمرها قوم آخَرُونَ فَهُمْ أَحَقُّ بِهَا

Dari Amru bin Syu’aib, dari bapaknya bahwa Rasulullah saw. pernah memberikan tanah kepada orang-orang dari Muzainah atau Juhainah dan mereka tidak memakmurkan tanah tersebut. Lalu datang kaum lainnya dan mereka makmurkan tanah tersebut. Kemudian orang-orang Juhainah atau Muzainah memperkarakannya kepada Umar bin al-Khaththab ra. Umar berkata, “Andai tanah itu pemberian dariku atau dari Abu Bakar, niscaya aku kembalikan, tetapi tanah itu pemberian dari Rasulullah saw.”. Kemudian Umar berkata, “Siapa saja yang memiliki, tanah kemudian dia biarkan tiga tahun dan tidak dia makmurkan, lalu kaum lainnya memakmurkan tanah itu, maka kaum yang lain itu lebih berhak atas tanah tersebut.” (HR Abu Yusuf, Ibnu Zanjawayh dan Yahya bin Adam).

 

Hadis ini menurut redaksi Abu Yusuf (w. 182 H) di dalam Al-Kharâj. Redaksi yang hampir sama juga diriwayatkan oleh Ibnu Zanjawayh (w. 251 H) hadis nomor 1062 di dalam Al-Amwâl li Ibni Zanjawayh.

Adapun Yahya bin Adam (w. 203 H) mengeluarkan hadis ini di kitabnya, Al-Kharâj, hadis nomor 287, dengan redaksi: Ismail telah memberitahu kami, ia berkata: Al-Hasan telah menceritakan kepada kami, ia berkata: Yahya telah menceritakan kepada kami, ia berkata: Sufyan bin ‘Uyainah telah menceritakan kepada kami dari Ibnu Abiy Nujaih, dari Amru bin Syuaib atau yang lainnya, ia berkata:

أَقْطَعَ رَسُولُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أناسًا مِنْ مُزَيْنَةَ أَوْ جُهَيْنَة أَرْضًا، فَعَطَّلُوهَا، فَجَاء قَوْمٌ فَأَحْيَوْهَا، فَقَالَ عُمَرُ: لَوْ كَانَتْ قَطِيعَة مِنِّي، أَوْ مِنْ أَبِي بَكْرٍ لَرَدَدْتها، وَلَكِنْ مِنْ رَسُول الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَال: وَقَالَ عُمَر مَنْ عَطَّلَ أَرْضًا: ثَلَاثَ سِنِينَ لَمْ يُعُمِّرْهَا فَجَاءَ غَيْرهُ فَعَمَّرَهَا فَهِيَ لَه

Rasulullah saw. pernah memberikan tanah kepada orang-orang dari Muzainah atau Juhainah dan mereka telantarkan. Lalu datang kaum lain dan mereka hidupkan tanah tersebut. Kemduian Umar berkata, “Andai tanah itu pemberian dariku atau dari Abu Bakar, niscaya aku kembalikan, tetapi ia dari Rasulullah saw.” Amru bin Syu’aib berkata: Umar berkata, “Siapa saja yang menelantarkan tanah tiga tahun, tidak dia makmurkan, lalu datang orang lainnya dan memakmurkanya, maka tanah itu menjadi miliknya.”

 

Hal serupa juga dituturkan oleh Abdullah bin Abu Bakar: Bilal bin al-Harits al-Muzani pernah datang kepada Rasulullah saw. dan meminta diberi tanah. Lalu beliau memberi dia tanah yang luas. Ketika Umar diangkat menjadi khalifah, ia berkata kepada Bilal: “Bilal, sungguh kamu telah meminta tanah yang luas kepada Rasulullah saw., lalu beliau memberikan tanah kepadamu. Sungguh beliau tidak menahan sesuatu yang diminta dari beliau, sedangkan kamu tidak mampu menggarap apa (tanah) yang ada di tanganmu.” Dia berkata: “Baiklah”. Lalu Umar berkata, “Lihatlah dari tanah itu. Yang mampu kamu garap, pertahankanlah, dan yang tiak mampu kamu garap, serahkan kepada kami. (Tanah itu) akan kami bagi di antara kaum Muslim.” Bilal berkata, “Aku tidak mau melakukan itu, Demi Allah, itu sesuatu yang telah Rasululllah berikan kepadaku.” Umar berkata, “Demi Allah, sungguh kamu harus melakukannya.” Lalu Umar mengambil bagian tanah yang tidak mampu dimakmurkan oleh Bilal dan Umar membagikan bagian tanah tersebut di antara kaum Muslim (HR Yahya bin Adam hadis no. 294 di dalam al-Kharâj; Ibnu Syabbah di dalam Târîkh al-Madînah li Ibni Syabbah; Al-Baihaqi no. 11825 di dalam Sunan al-Kubrâ).

Tampak peristiwa dalam hadis di atas terjadi satu tahun atau lebih sejak Umar menjadi khalifah. Ucapan Umar, “Andai tanah itu pemberian dariku atau dari Abu Bakar, niscaya aku kembalikan, tetapi dari Rasulullah saw.,” menunjukkan bahwa tanah itu telah ditelantarkan lebih dari tiga tahun berturut-turut sehingga Umar tidak dapat mengembalikan tanah itu kepada orang Juhainah atau Muzainah. Hal itu karena ketentuan hukum yang disebutkan dalam ucapan Umar selanjutnya, yakni bahwa orang yang menelantarkan tanahnya tiga tahun berturut-turut hilang kepemilikannya atas tanah itu. Lalu jika ada orang lain yang memakmurkan tanah itu maka tanah itu menjadi milik orang itu.

Tanah yang ditelantarkan oleh pemiliknya tiga tahun berturut-turut atau lebih itu diambil oleh Khalifah, yakni oleh Negara (Khilafah). Khilafah memberikan tanah itu kepada orang lain yang sanggup memakmurkannya. Ini ditegaskan dalam hadis Bilal bin Haris al-Muzani di atas. Peristiwa itu diketahui oleh para Sahabat dan tidak ada yang mengingkari. Dengan demikian ketentuan itu menjadi Ijmak Sahabat dalam bentuk ijmak sukûti.

Hadis ini mengisyaratkan bahwa tanah itu hukum asalnya harus dimakmurkan, yakni dimanfaatkan atau diproduktifkan. Tidak boleh ditelantarkan. Bahkan penelantaran tanah tiga tahun berturut-turut atau lebih menjadi sebab atau ‘illat hilangnya kepemilikan atas tanah.

Hadis di atas juga mengisyaratkan bahwa Negara harus menjamin agar tanah-tanah yang ada tidak ditelantarkan. Caranya dengan mengambil tanah terlantar dan memberikan tanah tersebut kepada orang yang sanggup memakmurkannya. Itu juga menuntut hal-hal lain agar ketentuan itu dapat dilaksanakan termasuk perkara administratif seperti pencatatan, dokumentasi, data kepemilikan tanah, dsb.

Selain itu, Negara dapat memberikan bantuan kepada para pemilik tanah agar dapat memakmurkan atau memproduktifkan tanahnya, termasuk untuk pertanian dan produksi pangan. Hal itu seperti yang dilakukan Umar bin al-Khaththab kepada para petani di Irak, Beliau memberi—dalam satu riwayat meminjami—mereka harta dari Baitul Mal untuk modal bercocok tanam. Hal itu diketahui oleh para Sahabat dan tidak ada seorang pun yang mengingkari. Dengan demikian ini pun menjadi Ijmak Sahabat atas kebolehan hal itu dilakukan oleh Khalifah atau Negara.

Dengan ketentuan ini, tanah-tanah yang ada tidak akan terlantar dan sebaliknya akan dimanfaatkan dan diproduktifkan, termasuk untuk pertanian dan produksi pangan. Dengan itu keberlangsungan produktivitas tanah dapat dijamin dan ketahanan pangan juga dapat diwujudkan.

WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]

 

 

 

 

 

0 Comments

Leave a Comment

9 − 5 =

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Lost Password