Rezim Gagal, Jualan ‘Radikalisme Islam’

Tampak rezim Jokowi menjadikan ‘radikalisme Islam’ sebagai jualan utama dalam kampanye menjelang Pilpres 2019. Apalagi tidak ada keberhasilan lain yang bisa dibanggakan di bidang-bidang yang justru sangat penting seperti ekonomi. Rezim Jokowi, menurut banyak pihak, telah gagal mensejahterakan rakyat. Beban ekonomi rakyat makin berat. Harga-harga makin mahal. Lapangan pekerjaan makin susah.

Hingga saat ini, menurut data BPS, pada bulan Maret 2018, masih terdapat 25,95 juta orang penduduk miskin (9,82 persen). Itu pun dengan definisi kemiskinan yang dipakai kurang dari Rp 14 ribu perhari, atau Rp 420.000 perbulan. Jika menggunakan standar kemiskinan menurut Bank Dunia, 2 US dolar perhari, atau sekitar Rp 27.234 untuk sehari, angka kemiskinan jauh lebih tinggi lagi. Puluhan juta rakyat miskin tentu merupakan jumlah yang besar di tengah kekayaan berlimpah negeri ini.

Rezim ini juga tercatat menjadi pengutang yang besar. Utang luar negerinya lebih dari Rp 5.000 triliun. BPS mencatat neraca perdagangan sepanjang 2018 juga mengalami defisit sebesar US$ 8,57 miliar. Rapor merah transaksi perdagangan sekaligus menjadi rekor defisit terbesar sepanjang sejarah, sejak Indonesia merdeka.

Dalam keadaan gagal di banyak sektor, rezim Jokowi berharap isu radikalisme menjadi hal penting yang bisa dijual. Sebagai petahana, dalam berbagai kesempatan Jokowi menyebut beberapa ideologi kini mengancam persatuan dan keamanan negara karena bertentangan dengan Pancasila. Seperti yang diberitakan oleh BBC online (16/1), Juru Bicara pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin, Arya Sinulingga, mengklaim selama ini Jokowi telah mengambil langkah nyata terhadap ‘ideologi radikal’ tersebut. Pada 2017 Jokowi membubarkan enam ormas yang dianggap radikal. Salah satunya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Guna memuluskan pembubaran itu, Jokowi meneken Perppu untuk mengubah UU 17/2013 tentang Ormas.

Pihak Jokowi sering mengklaim pembubaran gerakan dakwah HTI sebagai nilai plus dari rezim ini. Namun, perlu dicatat, ‘jualan’ isu radikalisme Islam, bukannya tanpa risiko. Alih-alih membangun citra positif, jualan ini bisa memperkuat anggapan umat Islam, bahwa rezim sekarang benar-benar rezim anti Islam. Pasalnya, ajaran ‘radikalisme Islam’ yang dimaksud adalah Khilafah Islam. Rezim Jokowi dengan segenap perangkat negaranya terus-menerus membangun narasi untuk mengkriminalkan bahkan melakukan monsterisasi terhadap ajaran Khilafah Islam. Mengkriminalkan kewajiban Khilafah Islam jelas merupakan bentuk kriminalisasi ajaran Islam.

Padahal sangat jelas, Khilafah Islam merupakan bagian dari ajaran Islam. Khilafah sesungguhnya bukanlah istilah asing dalam khasanah keilmuwan Islam. Menurut Wahbah az-Zuhaili, “Khilafah, Imamah Kubra dan Imarah al-Mu’minin merupakan istilah-istilah yang sinonim dengan makna yang sama.” (Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, 9/881).

Para imam mazhab (yang empat) telah bersepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah wajib (Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al-Madzâhib al-Arba’ah, 5/416).

Hal senada ditegaskan oleh Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, “Para ulama telah sepakat bahwa wajib mengangkat seorang khalifah dan bahwa kewajiban itu adalah berdasarkan syariah, bukan berdasarkan akal (Ibn Hajar, Fath al-Bâri, 12/205).

Karena merupakan istilah Islam, Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam sebagaimana shalat, puasa, zakat, haji, dan lainnya. Apalagi menegakkan Khilafah adalah wajib menurut syariah Islam. Bahkan Khilafah merupakan “tâj al-furûd (mahkota kewajiban)”. Pasalnya, tanpa Khilafah—sebagaimana saat ini—sebagian besar syariah Islam di bidang pendidikan, ekonomi, sosial, pemerintahan, politik, politik luar negeri, hukum/peradilan, dsb terabaikan.

Membubarkan ormas Islam seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang konsisten memperjuangkan tegaknya Khilafah jelas bukanlah suatu kebanggaan. Justru tindakan Jokowi ini berarti menghalangi dakwah Islam. Sebab yang dilakukan oleh HTI adalah berdakwah mengajak pada penerapan seluruh syariah Islam yang diwajibkan Allah SWT. Apalagi rezim Jokowi membangun narasi bahwa HTI seolah-olah sama dengan PKI. Padahal yang dilakukan oleh HTI adalah memuliakan agama Islam. Sebaliknya, sementara PKI merupakan partai komunis yang tidak percaya pada Tuhan, bahkan anti agama. Ini bisa menjadi blunder bagi PDIP yang selama ini dituding membela PKI.

Selain itu, pembubaran HTI bisa memperkuat anggapan pemerintahan Jokowi merupakan rezim represif. Pasalnya, pembubaran HTI tanpa proses pengadilan, tetapi penilaian sepihak penguasa. Pakar Politik Islam Australian National University (ANU) Greg Fealy dalam wawancara dengan Tirto.id (28/12) menyatakan hal buruk yang dilakukan Jokowi adalah membubarkan HTI. Menurut dia, hal itu merupakan perkara buruk bagi demokrasi Indonesia. Jokowi telah menggunakan negara untuk melarang dan menindas oposisi Islam. Menurut dia pula, pembubaran itu adalah langkah politis dan direkayasa. Dia mengungkap ada mobilisasi dari NU untuk melawan HTI untuk memberikan dalih kepada Pemerintah guna menindak tegas HTI. Dengan bahasa lain, rezim Jokowi mengadu domba sesama elemen Islam. Ini tentu adalah kejahatan yang busuk.

Terus-menerus membangun narasi bahwa pendukung Khilafah adalah pendukung ISIS jelas merupakan kebohongan yang berulang. Padahal Juru Bicara HTI, Ismail Yusanto, sudah berulang-ulang menegaskan, Hizbut Tahrir menolak pendeklarasian Khilafah yang dilakukan ISIS. Hizbut Tahrir juga dalam langkah perjuangangannya sudah sangat dikenal, tidak dengan cara angkat senjata, tetapi dakwah pemikiran dan politik. Kalaupun ada yang mengklaim mantan HTI mendukung ISIS, tentu tidak mencerminkan kebijakan HTI. Sebab mantan HTI artinya telah keluar dari HTI.

Kebohongan demi kebohongan yang dilakukan rezim Jokowi, justru memperkuat anggapan rezim sekarang adalah rezim bohong! [Farid Wadjdi]


0 Comments

Leave a Comment

12 − twelve =

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Lost Password