KUHP Baru Tetap Warisan Kolonial
Pengesahan Revisi-KUHP kerap dianggap bukti Indonesia bisa melepaskan diri dari belenggu hukum kolonial. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) atau Wetboek van Strafrecht memang diakui sebagai peninggalan kolonial dan dianggap tidak sesuai dengan cara hidup Indonesia yang merdeka. Tidak aneh sejak Orde Lama keinginan untuk menasionalisasi hukum kolonial ini mengemuka.
Namun demikian, KUHP lama maupun versi perubahan sesungguhnya sama-sama kolonial. Yang paling mendasar, kedua-duanya masih menjadikan akal dan hawa nafsu manusia menjadi sumber hukum. Masih sama-sama hukum jahiliah. Dalam Islam, secara mendasar, dilihat dari sumbernya, hukum itu dibedakan menjadi dua. Pertama: Syariah Islam, yang menjadikan kedaulatan hukum di tangan hukum syariah (as-siyadah lil syar’i). Berasal dari Allah SWT, dengan dua sumber hukum utama yaitu al-Quran dan as-Sunnah. Kedua: Hukum jahiliah yang bersumber dari hawa nafsu manusia.
Allah SWT telah memerintahkan kita untuk semata-mata berhukum pada hukum-Nya, bukan pada hawa nafsu manusia (Lihat: QS al-Maidah [5]: 49). Allah SWT juga menegaskan bahwa tidak pantas seorang yang mengaku beriman, tetapi tidak berhukum pada hukum-Nya (Lihat: QS al-Ahzab [33]: 36).
Dengan pradigma yang masih sama-sama kolonial, tidak mengherankan kalau dalam KUHP revisi ini masih terdapat banyak pertentangan dengan syariah Islam. Pandangan liberal, HAM maupun pluralisme masih sangat kental mendominasi KUHP ini. Contohnya terlihat dari pasal-pasal yang terkait zina dan kumpul kebo yang dibelenggu dengan delik aduan. Baru dianggap pelanggaran yang kemudian diproses hukum kalau ada yang mengadukan. Dalam perkara zina, tidak dilakukan penuntutan kecuali atas aduan suami/istri atau orangtua dan anak, berdasarkan pasal 411 ayat 2. Sama halnya dengan kumpul kebo, berdasarkan pasal 412 ayat 2 diatur, kumpul kebo tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan dari suami/istri atau orangtua. Sanksinya pun sangat ringan. Zina dikenakan hukuman 1 tahun. Kumpul kebo dikenakan hukuman enam bulan atau denda. Bukankah ini menjadi pintu lebar untuk melegalkan zina dan kumpul kebo dengan alasan tidak ada yang mengadukan?
Sebagaimana hukum kolonial yang memang didesain untuk melindungi kekuasaan kolonial, dalam revisi sekarang hal yang sama juga terlihat. Terdapat pasal-pasal karet yang bisa menjerat siapapun yang dianggap mengancam negara atau mengkritik kepala negara. Pasalnya, klaim mengancam negara kerap hanya sebagai alasan untuk memukul lawan politik. Hukum yang lebih ringan terhadap pelaku korupsi pun mengarah pada perlindungan terhadap para koruptor, yang biasanya pelakunya terkait dengan penguasa.
KUHP ini juga memberikan jalan bagi penguasa sekuler untuk mengkriminalisasi aktifitas dakwah dengan tudingan menyebarkan paham yang bertentangan dengan Pancasila. Dakwah mengajak umat untuk menerapkan seluruh syariah Islam dan menegakkan Khilafah bisa dikriminalisasi. Ini sangat ironis. Bagaimana hukum Islam yang bersumber dari Allah SWT, termasuk ajaran Islam Khilafah ‘alaa minhaaj an-nubuwwah, dikriminalkan di negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam?
Di sisi lain ideologi kapitalisme liberal yang secara de facto diterapkan di negeri ini tidak dianggap bertentangan dengan Pancasila. Padahal nyata-nyata kapitalisme liberal inilah yang menjadi biang kerok berbagai persoalan di Indonesia baik secara ekonomi maupun politik.
Apa yang disampaikan Ustadz Ismail Yusanto (UIY) pantas kita renungkan: Bagaimana bisa di negeri mayoritas Muslim dengan wakil rakyat yang juga mayoritas Muslim, dibuat sebuah aturan begitu rupa yang bisa menjerat orang-orang yang berusaha untuk menjelaskan ajaran agamanya kepada publik. Itu kan ironi sekali.”
Anehnya, menurut UIY, bagaimana bisa kapitalisme dan liberalisme tidak masalah. Padahal kapitalisme masalahnya sangat jelas, seperti pada instabilitas ekonomi pengolahan sumberdaya oleh pemilik modal kapitalis. Namun, hal itu seolah tidak masuk radar-radar sensitivitas para pembuatnya. Paham yang jelas-jelas berjalan hari ini, kapitalisme dan liberalism, seolah-olah tidak masalah. Padahal masalahnya sangat jelas.
KUHP lama sudah bisa kita saksikan kegagalannya dalam menyelesaikan persoalan kejahatan. Kabur dalam mendefinisikan apa kejahatan itu sesungguhnya karena paradigma liberalnya. Gagal pula menghentikan kejahatan itu sendiri. Alih-alih bisa dihentikan atau paling tidak dikurangi, tindakan kriminal justru semakin meningkat dari masa ke masa. Gagal pula untuk menghentikan apa yang kita sebut dalam Islam sebagai kejahatan kemaksiatan seperti zina, homoseksual, dan kumpul kebo. Bahkan kecenderungan yang ada semakin meningkat. Dengan demikian KUHP perubahan pun dipastikan kegagalannya, karena pradigmanya masih sama.
Bukankah Allah SWT telah memberikan pedoman yang jelas bagi kita, yaitu al-Quran dan as-Sunnah yang dipastikan kebenarannya. Selain sumbernya jelas, defenisi kejahatan (jariimah) juga jelas, yaitu segala sesuatu yang bertentangan dengan syariah Islam, seperti meninggalkan kewajiban dan melakukan perkara yang diharamkan Islam. Proses hukumnya juga jelas: wajib melalui pengadilan. Tidak ada satu pun yang boleh dihukum kecuali terbukti bersalah oleh pengadilan yang dilakukan lewat pembuktian (bayyinah). Pelaku zina, misalkan, baru bisa dihukum kalau ada empat orang saksi yang adil atau berdasarkan pengakuan pelakunya sendiri. Jenis sanksinya pun jelas. Pelaku zina yang sudah menikah (muhson) dirajam sampai mati. Pezina yang belum menikah (ghayru muhshan) dicambuk 100 kali. Penerapan hukum Islam pun telah terbukti bisa mencegah kejahatan (al-jawaazir) sekaligus menggugurkan dosa pelakunya (al-jawaabir).
Yang lebih penting lagi, dengan melaksanakan syariah Islam, kita mendapatkan ridha Allah SWT dan pahala yang melimpah. Lantas atas dasar apa kaum Muslim masih menolak hukum Allah SWT? Bukankah Allah SWT berfirman (yang artinya): Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin (TQS al-Maidah [5]: 50)? Renungkan!
Allahu Akbar! [Farid Wadjdi]
0 Comments