Menangkal Resesi Secara Islami

Kekhawatiran terhadap resesi di AS meningkat dalam beberapa bulan terakhir akibat perang perdagangan AS-Cina yang belum memperlihatkan tanda-tanda perbaikan yang meyakinkan. Beberapa negara yang memiliki keterkaitan dengan kedua negara itu juga mulai merasakan dampaknya. Pembicaraan antara Washington dan Beijing memang telah menunjukkan kemajuan meskipun, sebagaimana sebelumnya, hal itu bukan jaminan akan mencapai akhir yang positif. Apalagi menjelang pemilihan presiden AS tahun 2020, isu ini akan menjadi bahan kampanye kesuksesan Trump—presiden pertama AS yang berani melawan kedigdayaan Cina di bidang perdagangan. Namun yang pasti, industri manufaktur AS kini telah mengalami pertumbuhan negatif selama tiga bulan berturut-turut.

 

Indikasi Resesi

NBER, sebuah organisasi riset ekonomi swasta berbasis di Amerika Serikat, mendefinisikan resesi ekonomi sebagai penurunan signifikan dalam aktivitas ekonomi yang tersebar di seluruh ekonomi, yang berlangsung lebih dari beberapa bulan. Biasanya terlihat dalam PDB riil, pendapatan riil, lapangan kerja, produksi industri serta penjualan grosir dan eceran. Di Inggris dan negara-negara Uni Eropa, resesi didefinisikan dengan pertumbuhan negatif ekonomi dalam dua kuartal secara berturut-turut. Resesi yang parah seperti pertumbuhan ekonomi yang turun 10 persen atau lebih atau berkepanjangan selama tiga atau empat tahun dapat disebut sebagai depresi ekonomi.

Menurut IMF, resesi global merupakan siklus yang berlangsung setiap delapan hingga 10 tahun sekali. IMF menyatakan bahwa pertumbuhan PDB global sebesar tiga persen pertahun atau kurang dapat dikategorikan sebagai resesi global. Dengan demikian, sejak 1970 beberapa yang masuk kategori ini adalah: 1974–1975, 1980–1983, 1990–1993, 1998, 2001–2002 dan 2008–2009. Meskipun demikian, jumlah tersebut adalah yang berskala global, bukan resesi yang terjadi dalam skala negara. Di AS saja, sejak tahun 1929 hingga 2009, telah terjadi 14 kali resesi dengan magnitude yang bervariasi.

Adapun dampak resesi di antaranya pengangguran meningkat tajam, produktivitas bisnis turun, yang ditandai dengan bangkrutnya perusahaan-perusahaan yang lemah, serta menurunnya pendapatan masyarakat yang berdampak pada turunnya tingkat kesejahteraan masyarakat.

 

Pemicu Resesi

Penyebab resesi sangat beragam. Di antaranya adalah turunnya kepercayaan investor dalam berinvestasi akibat risiko yang semakin tinggi. Merosotnya kepercayaan investasi tersebut mendorong turunnya kepercayaan konsumen dalam berbelanja. Mereka kemudian mengurangi porsi belanja mereka. Penjualan retail akhirnya ikut melambat. Pada akhirnya, pelaku bisnis mengurangi penyerapan tenaga kerja mereka.

Penyebab lainnya adalah suku bunga yang naik tinggi. Likuiditas atau uang yang tersedia untuk diinvestasikan menjadi semakin terbatas. Bank-bank sentral lazimnya menerapkan suku bunga tinggi untuk menjaga agar nilai tukar mata uang tidak melemah lebih dalam. Pada tahun 1980, misalnya, The Fed telah menaikkan suku bunga untuk mengatasi inflasi yang tinggi dan mengungkit stagnasi ekonomi (stagflasi), serta menjaga nilai tukar dolar AS. Namun, kebijakan itu justru menyebabkan resesi bahkan dampak yang lebih buruk: depresi.

Gelembung aset finansial yang meledak juga menjadi penyebab terjadinya resesi. Bentuknya adalah harga aset yang menjadi objek spekulasi, seperti saham dan properti, naik berlipat-lipat. Contohnya adalah resesi yang terjadi akibat meledaknya saham-saham internet pada tahun 2000. Krisis 2008 yang kemudian menyebabkan resesi juga disebabkan oleh penurunan aset secara tajam, yakni turunnya harga surat-surat berharga terutama yang berasal dari kredit perumahan kelas bawah (subprime mortgage). Harga aset yang turun tajam tersebut membuat para investor merugi terutama perbankan, perusahaan asuransi, dan pihak-pihak yang menginvestasikan modal mereka pada aset tersebut. Dampaknya, perusahaan-perusahaan berguguran, pengangguran naik dan pendapatan masyarakat turun tajam.

Kerapuhan sektor finansial, yang rentan terkena krisis dan berujung resesi tersebut, juga diperburuk oleh perilaku curang para pengelola investasi di sektor tersebut. Krisis Tabungan dan Pinjaman yang menyebabkan resesi tahun 1990 disebabkan oleh pengelola investasi menanam dana yang mereka kelola pada aset-aset yang ilegal, pinjaman fiktif dan investasi yang melanggar hukum. Saat itu, lebih dari 1.000 bank, yang memiliki total aset $ 500 miliar, rugi besar.

Peran pemerintah dan legislator juga mendukung terjadinya resesi dengan mencabut aturan yang membatasi para investor untuk berinvestasi. Salah satu contohnya adalah penghapusan Glass-Steagall Act. Undang-undang ini melarang penggabungan bank komersial dan bank investasi, yang dibuat untuk mencegah berulangnya depresi tahun 1929. Namun, tahun 2000 regulasi itu dicabut atas inisiatif para pelaku di sektor keuangan. Benar saja, investasi perbankan tumbuh tak terbendung. Hulunya adalah krisis keuangan yang menyebabkan resesi global tahun 2008.

Penyebab resesi lainnya adalah penciptaan uang besar-besaran dalam waktu singkat. Seperti diketahui, selain diproduksi oleh bank sentral, uang juga diciptakan oleh sektor perbankan. Jumlah yang diciptakan oleh sektor perbankan bahkan jumlahnya berlipat-lipat dari uang kertas dan giral yang diciptakan oleh bank sentral. Sebagai catatan, di Indonesia, jumlah uang kertas dan koin yang dicetak oleh Bank Indonesia hanya sekitar 13 persen dari total yang beredar (M2). Sisanya diciptakan oleh sektor perbankan melalui pemberian kredit (credit money). Penciptaan uang cepat tersebut, khususnya di saat booming, sebagian besar justru digunakan untuk berspekulasi di pasar keuangan termasuk di sektor properti. Pada periode tahun 2000-2007, bank-bank di AS berebutan memberikan kredit investasi di sektor properti.

Booming di sektor tersebut menyulut keserakahan investor untuk membeli surat-surat berharga yang berbasis perumahan (subprime mortgage) dan produk-produk turunannya hingga tinggi menjulang. Gelembung tersebut akhirnya meledak. Harga turun tajam. Bank-bank lalu memangkas pinjaman mereka secara drastis sehingga menyebabkan resesi ekonomi. Sementara itu, debitur tetap menanggung utang yang semakin berlipat nilainya. Uang kemudian dipompa oleh bank sentral dalam jumlah besar untuk mengatasi resesi. Celakanya, perbankan malah menggunakan likuiditas tersebut untuk berspekulasi di pasar komoditas. Harga minyak, pangan, hingga logam membumbung tinggi. Rakyat di negara-negara importir menjerit-jerit akibat harga naik tinggi.

Sebagai tambahan, meskipun sebagian besar resesi berhulu di sektor keuangan, sebagian resesi juga timbul dari kegiatan di sektor riil yang dipompa berlebihan. Contohnya adalah resesi setelah Perang Dunia II tahun 1945 dan resesi yang terjadi pasca Perang Korea tahun 1953. Resesi yang menimpa Hong Kong saat ini terjadi akibat demonstrasi yang berlarut-larut yang membekukan kegiatan ekonomi di negara itu, di samping dampak dari eskalasi perang dagang AS-Cina.

 

Mencegah Resesi

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa resesi merupakan persoalan tipikal dalam sistem kapitalisme, terutama yang berasal dari sistem keuangannya. Sistem keuangan tersebut telah menjadi sarana spekulasi untuk mengejar profit dari investasi pada deposito dan surat-surat berharga di pasar modal. Sistem tersebut juga ditopang oleh kemudahan dalam memproduksi mata uang, baik oleh bank sentral (currency) ataupun perbankan (credit money), yang dapat diciptakan dengan mudah, dengan jumlah gigantik, dan dalam waktu singkat.

Fenomena tersebut tentu tidak akan dijumpai di dalam Islam. Pasalnya, karakter sistem ekonomi Ismam sangat kontras dengan sistem kapitalisme. Dengan demikian, potensi resesi dalam negara yang menerapkan Islam secara paripurna akan sangat kecil.

Secara singkat, terdapat beberapa pilar ajaran Islam yang menutup celah munculnya resesi terutama yang bersumber dari sistem keuangan. Di antaranya:

  1. Islam mengharamkan transaksi riba. Riba merupakan transaksi yang tidak sehat secara ekonomi. Alasannya, antara lain terciptanya kezaliman dalam masyarakat. Pasalnya, pemilik modal baik individu, institusi seperti bank, dan negara, mendapatkan pendapatan secara pasti tanpa harus menanggung risiko, Sebaliknya, peminjam harus membayar bunga meskipun mengalami kerugian dari uang pinjamannya. Ini berarti terjadi hubungan yang tidak seimbang. Dalam Islam, pinjaman dikategorikan sebagai aktivitas sosial (tabarru’at), yang ditujukan untuk membantu orang-orang yang membutuhkan. Bahkan Islam mendorong pihak kreditor untuk memberikan tempo penundaan pembayaran dan bahkan penghapusan kredit jika debitur mengalami kesulitan. Pada level negara, Baitul Mal menyediakan pos khusus untuk memberikan bantuan modal bagi pihak yang membutuhkan, seperti para petani dan pedagang.
  2. Islam mengharamkan pasar modal, keuangan, komoditas berjangka yang dibangun atas transaksi-transaksi yang bertentangan dengan Islam. Di dalam Islam, misalnya, transaksi di pasar komoditas dilarang. Alasannya, transaksi penjualan komoditas dapat berpindah tangan dalam waktu singkat sebelum dikuasai oleh penjualnya dan bahkan belum dimiliki oleh penjual tersebut. Selain itu, haram pula memperdagangkan surat-surat berharga yang melibatkan transaksi yang batil, seperti obligasi berbunga, produk keuangan multi akad, dan saham-saham yang diterbitkan oleh perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT). Islam juga mengharamkan semua sarana perjudian dan manipulasi keuangan.
  3. Islam menjadikan mata uang emas dan perak sebagai standar moneter. Mata uang yang beredar adalah emas dan perak atau mata uang kertas atau logam yang nilainya ditopang oleh emas dan perak. Dengan demikian kestabilan uang negara ditentukan oleh nilai emas dan perak yang sepanjang sejarahnya sangat stabil. Di tambah lagi, nilai tukar mata uang akan stabil karena basis transaksinya adalah emas dan perak yang nilainya stabil. Transaksi perdagangan, transfer modal dan biaya perjalanan lintas negara pun akan lebih lancar dan stabil. Saat yang sama, sistem mata uang tersebut menegasikan peran perbankan dalam menciptakan dan melipatgandakan uang (deposit money) melalui kredit dan pembelian surat-surat berharga, seperti pada perbankan yang tumbuh dalam sistem kapitalisme, baik yang konvensional ataupun yang bermerek syariah.
  4. Islam mengharamkan konsep liberalisme ekonomi, termasuk dalam aspek kebebasan memiliki dan pasar bebas (free market). Kebebasan memiliki dalam kapitalisme berarti tiap individu bebas untuk menguasai atau menjual komoditas apa saja yang dianggap sebagai barang ekonomi. Akibatnya, saham-saham perusahaan yang memproduksi migas dan mineral seperti emas dan tembaga, misalnya, dapat dengan mudah dikuasai dan diperjualbelikan oleh para investor, termasuk asing. Dampak lainnya, indeks saham dan nilai tukar bergerak liar. Di dalam Islam, konsep kepemilikan diatur tegas. Secara ringkas, kepemilikan dibagi menjadi: kepemilikan swasta, publik dan negara. Barang-barang yang masuk kategori milik publik, seperti minyak, tambang, energi dan listrik hanya boleh dikuasai negara, yang hasilnya didistribusikan kepada rakyat yang menjadi pemiliknya. Dengan demikian, haram memperjualbelikan barang-barang milik umum kepada swasta.
  5. Islam mewajibkan pemerintah untuk menjamin pemenuhan hak-hak dasar rakyat, yaitu pangan, pakaian dan perumahan; termasuk menyediakan layanan pendidikan, kesehatan dan keamanan secara gratis. Termasuk pula menciptakan lapangan pekerjaan bagi rakyat yang menganggur. Dengan demikian, ketika terjadi kontraksi ekonomi yang disebabkan, misalnya, oleh kekeringan yang berkepanjangan atau bencana dalam skala besar, pemerintah tetap wajib menjamin agar kebutuhan dasar masyarakat di atas tetap terpenuhi. Ini berbeda dengan sikap pemerintah dalam sistem kapitalisme yang membiarkan rakyat mereka menggelandang dan mengemis, termasuk di saat ekonomi mereka diterpa resesi.

 

Alhasil, negara-negara yang tetap kukuh menerapkan sistem kapitalisme mustahil selamat dari bencana ekonomi yang menyebabkan resesi. Oleh sebab itu, satu-satunya cara untuk menangkal terjadinya hal tersebut adalah menerapkan ajaran Islam secara paripurna dalam sebuah sistem pemerintahan, yaitu Khilafah Islam—konsep yang telah disepakati kewajibannya oleh para sahabat Nabi dan para ulama-ulama terdahulu.

WalLâhu a’lam bis-shawâb. [Muis]

0 Comments

Leave a Comment

5 × one =

Login

Welcome! Login in to your account

Remember me Lost your password?

Lost Password