Wajib Memenuhi Kebutuhan Pokok Secara Makruf

وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Mereka (para istri) memiliki hak yang menjadi kewajiban kalian (para suami) berupa rezeki mereka dan pakaian mereka secara makruf (HR Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan al-Baihaqi).
Hadis ini diriwayatkan dari jalur Jabir bin Abdullah ra. Sabda Rasul saw. di atas merupakan penggalan dari riwayat yang panjang berupa khutbah Rasul saw pada Haji Wada di Arafah. Isinya menyatakan kewajiban nafkah bagi suami atas istrinya. Ash-Shanani di dalam Subul as-Salâm menyatakan, “Hadis ini adalah dalil atas kewajiban nafkah dan pakaian untuk istri sebagaimana yang ditunjukkan oleh ayat dan itu perkara yang disepakati oleh semua (mujma’ alayh).”
Imam an-Nawawi di dalam Syarh Shahîh Muslim menjelaskan sabda Rasul saw di atas dengan mengatakan, “Di dalamnya ada ketentuan kewajiban nafkah istri dan pakaiannya. Yang demikian ditetapkan dengan ijmak.”
Kewajiban ini juga telah dinyatakan di dalam al-Quran:
وَعَلَى ٱلۡمَوۡلُودِ لَهُۥ رِزۡقُهُنَّ وَكِسۡوَتُهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ لَا تُكَلَّفُ نَفۡسٌ إِلَّا وُسۡعَهَاۚ
Kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya (QS al-Baqarah [2]: 233).
Hadis di atas menyatakan “rizquhunna wa kiswatuhunna (rezeki dan pakaian mereka)”. Dalam hal ini, bukan berarti nafkah yang wajib itu hanya makanan, minuman dan pakaian. Abu Thayyib al-Abadi di dalam ‘Awn al-Mabûd menyatakan, rizquhunna yakni makanan dan minuman; dan di dalam maknanya tercakup pula tempat tinggal mereka. Tempat tinggal termasuk nafkah yang wajib juga ditegaskan dalam firman Allah SWT:
أَسۡكِنُوهُنَّ مِنۡ حَيۡثُ سَكَنتُم مِّن وُجۡدِكُمۡ ٦
Tempatkanlah mereka (para istri) di mana saja kalian bertempat tinggal menurut kemampuan kalian (QS ath-Thalaq [65]: 6).
Nafkah itu bukan hanya pangan, papan dan sandang saja, tetapi juga mencakup kebutuhan lainnya menurut kehidupan yang makruf di masyarakat. Hal itu ditunjukkan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah ra., bahwa Hindun binti Utbah istri Abu Sufyan berkata kepada Nabi saw. “Sungguh Abu Sufyan orang yang pelit. Dia tidak memberi aku harta yang mencukupiku dan anakku, kecuali apa yang aku ambil dari dia dan dia tidak tahu.” Dalam riwayat Abu Dawud, Hindun bertanya, “Apakah ada dosa atasku jika aku ambil sesuatu dari hartanya.” Rasul saw. bersabda kepada Hindun:
خُذِى مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
Ambillah harta yang mencukupimu dan anakmu secara makruf (HR al-Bukhari, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad).
Sabda Rasul saw., “harta yang mencukupi-mu dan anakmu secara makruf” itu bermakna mutlak dan bersifat umum; juga mencakup selain pangan, papan dan sandang. Hal itu menunjukkan bahwa apa yang mencukupi itu tidak terbatas pada kebutuhan pokok berupa pangan, papan dan sandang, tetapi juga kebutuhan-kebutuhan lainnya.
Sabda Rasul saw., “lahunna ‘alaykum (untuk mereka yang wajib bagi kalian),” ini menunjukkan bahwa nafkah itu adalah wajib. Untuk menegaskan itu, Rasul saw menyatakan menggunakan huruf al-lâm yang menyatakan milik dan disusul dengan lafal alâ. Kewajiban itu juga ditegaskan bahwa nafkah itu merupakan hak istri dan menjadi kewajiban suami. Hakim bin Muawiyah bin Haydah al-Qusyairi menuturkan dari bapaknya, Muawiyah bin Haydah yang berkata: Aku pernah bertanya kepada Rasulullah saw., “Apa hak istri salah seorang dari kami yang menjadi kewajibannya?” Beliau bersabda:
أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهِ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَتَهْجُرْ إِلاَّ فِي الْبَيْتِ
Engkau memberi dia makan jika engkau makan dan memberi dia pakaian jika engkau berpakaian; janganlah engkau memukul wajah, jangan mencela dan jangan meng-hijr kecuali di rumah (HR Abu Dawud, Ibnu Majah, an-Nasai, Ahmad, Ibnu Hibban, al-Hakim dan al-Baihaqi).
Amru bin al-Akhwash juga menuturkan bahwa di antara khutbah Rasul saw pada Haji Wada, beliau bersabda:
أَلاَ وَإِنَّ حَقَّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوا إِلَيْهِنَّ فِي كِسْوَتِهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ
Ingatlah, sungguh hak mereka (para istri) yang menjadi kewajiban kalian adalah kalian memperbagus untuk mereka pakaian dan makanan mereka (HR at-Tirmidzi, an-Nasai dan Ibnu Majah).
Juga ditegaskan bahwa cukup dianggap sebagai dosa jika kewajiban nafkah itu tidak dilaksanakan. Rasul saw bersabda:
وَكَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوْتُ
Cukuplah seseorang dianggap berdosa jika menelantarkan orang yang jadi tanggungannya (HR Abu Dawud, Ahmad, an-Nasai, Ibnu Hibban, al-Baihaqi, al-Hakim dan ath-Thabarani).
Pemenuhan nafkah yang wajib itu dibatasi dengan al-kifâyah (mencukupi) dan bi al-ma’rûf (secara makruf). Artinya, pemenuhannya dalam kadar yang mencukupi (al-kifâyah) seperti ditunjukkan dalam hadis Hindun. Kecukupan itu bermakna dua: yakni semua kebutuhan itu terpenuhi dan dengan kadar yang mencukupi. Kecukupan itu menurut apa yang makruf di tengah masyarakat.
Jadi pemenuhan kewajiban nafkah itu disyaratkan harus al-kifâyah (kecukupan). Kecukupan (al-kifâyah) itu harus bi al-marûf. Artinya, bukan kecukupan dengan yang paling minimal, tetapi kecukupan dengan apa yang makruf di negeri seseorang itu tinggal dan di tengah masyarakat di mana dia hidup, dan penunaiannya menurut kemampuan.
Ash-Shan’ani di dalam Subul as-Salâm menjelaskan: Makna sabda Rasul saw, ‘bi al-ma’rûf’ adalah pemberitahuan bahwa nafkah itu tidaklah wajib kecuali berupa infak (pembelanjaan) yang telah makruf atau menjadi ‘urf, masing-masing menurut kadar keadaannya (kemampuannya). Ini sesuai firman Allah SWT (yang artinya): Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepada dia. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa yang Allah berikan kepada dirinya (QS ath-Thalaq [65]: 7).
Adapun pemenuhan semua kebutuhan pokok secara penuh dan makruf bagi tiap individu, maka itu menjadi kewajiban negara untuk menjaminnya melalui hukum-hukum dan mekanisme yang telah ditetapkan oleh syariah.
WalLâh alam bi ash-shawwâb. [Yahya Abdurrahman]
0 Comments